Oleh: Tri Handoyo
Raden Tulus Pangestu atau yang oleh warga dikenal dengan Joko Tulus, mendapat perintah penting dari Mpu Naga Neraka. Perintah dari sosok yang merupakan guru sekaligus majikannya itu adalah menyerahkan keris pusaka pesanan Adipati Kanjeng Joyo Pangumboro, salah seorang petinggi yang berada di Trowulan. Pusaka yang dalam proses pembuatannya memakan waktu setengah tahun itu ia terima dari gurunya pada saat hari sudah menjelang malam, sehingga ia berniat ke Trowulan pada keesokan harinya.
Keris itu disimpan dalam kotak kayu jati penuh ukiran cantik. Terlintas dalam pikiran Tulus untuk melihat-lihat pusaka itu sebentar. Ia benar-benar mengagumi energi pusaka itu dan berandai-andai bisa memilikinya. Di pagi buta, setelah selesai mempersiapkan segala keperluan untuk perjalanan jauh, ia membuka kotak tempat pusaka, karena rasanya ada yang ganjil. Kotak itu terasa lebih ringan dibanding sewaktu diterimanya semalam.
Alangkah terkejutnya, setelah dibuka ternyata kotak itu kosong. Keris pusaka itu lenyap. Antara sedih, bingung dan takut, campur aduk menjadi satu. Terlintas bayangan wajah Mpu Naga Neraka dan wajah Kanjeng Joyo Pangumboro silih berganti, dan itu membuat kepalanya terasa begitu berat.
Entah apa yang memengaruhinya, Tulus kemudian secara tiba-tiba berniat menghabiskan waktu di Langgar Al Akbar yang berjarak sekitar dua kilometer dari rumahnya. Langgar di wilayah Candimulyo itu adalah satu-satunya tempat ibadah umat islam yang ada di kota. Setelah hari mulai gelap dan lampu-lampu minyak mulai dinyalakan, ia keluar dari langgar untuk mencari makan buat buka puasa. Seperti biasanya ketika kembali ke langgar ia juga membungkuskan makanan buat Mbah Kucing.
"Raden tampaknya sedang menghadapi masalah berat?" tanya Mbah Kucing.
Dengan berat hati Tulus akhirnya menceritakan kejadian yang menimpahnya. "Saya tidak tahu harus berbuat apa, Mbah. Saya yakin pasti makhluk halus yang mencurinya. Tidak mungkin pelakunya manusia. Jika Mpu Naga atau Kanjeng Joyo tahu bahwa saya menghilangkan keris pusakanya, mungkin saya akan dihukum mati!"
Hening beberapa saat. "Saya ada jalan keluar! Tapi apakah Raden bersedia mengikuti saran saya?" tanya Mbah Kucing.
"Mau, Mbah!" jawab Tulus tanpa menimbang lama. "Saya bersedia!" Saat itu saran apapun akan dilakukannya asal bisa mendapatkan keris pusaka itu kembali.
"Pergilah Raden malam ini ke bukit Tunggorono. Sampai di sana buatlah garis lingkaran mengelilingi anda, sambil membaca 'Ayat Kursi' tanpa bernapas. Itu akan membentengi anda dari gangguan makhluk halus. Dan nanti jika penguasa bukit itu mendatangi anda, tunjukan cincin saya ini!" Mbah Kucing menyodorkan sebuah cincin Pirus tua.
Malam itu juga Tulus pergi melaksanakan anjuran Mbah Kucing. Ia mencari tempat yang tinggi sesuai petunjuk, membuat lingkaran, dan kemudian duduk bersila menghadap ke arah selatan. Sunyi begitu mencekam, kecuali desis angin bukit yang menghempas hamparan ilalang. Rasa dingin menusuk.
Beberapa jam kemudian, sekelompok bangsa jin dengan beragam wujud yang menyeramkan melintas. Wajah bengis mereka tampak tidak ramah melihat ada manusia di situ. Mereka awalnya berusaha mendekat, tapi tidak mampu mencapai lingkaran yang telah ia buat, dan mereka pun pergi dengan suara semacam omelan kejengkelan.
Pada saat tengah malam, ada makhluk yang menunggangi ular raksasa datang. Makhluk yang hadir bersama hempasan angin kencang itu menatap dengan sorot mata penuh ancaman. Entah apa maunya, dia hanya datang dan pergi berulang kali. Kemudian di sepertiga malam, datanglah seorang jin perempuan duduk di atas singgasana yang ditandu empat punggawa dan dikawal oleh ribuan pasukan jin.
Tandu Ratu Jin berhenti dua langkah dari lingkaran yang dibuat Tulus. Ia bertanya dengan suara dingin, "Ada keperluan apa kamu di sini?"
"Sa..sa.. saya..!" suara Tulus serak dan terbata-bata. Ia berusaha keras menyembunyikan degup jantungnya yang berpacu kencang. Kerongkongannya terasa kering.
Ratu Jin tampak menanti jawaban dengan tenang. Semua pasukannya diam tak bergerak.
"Saya diperintah Mbah Kucing!" Tiba-tiba itu kalimat yang meluncur keluar dari bibirnya. Ia kemudian dengan tergesa-gesa merogoh saku untuk mengambil cincin pirus dan menunjukkannya kepada Ratu Jin. "Ini cincin Mbah Kucing!"
Begitu melihat cincin itu, Pirus Kendit Buntel Mayit, Ratu Jin memerintahkan pengawalnya untuk menurunkan tandu. Ia turun dari singgasana dan langsung duduk bersila mengambang di atas tanah, di luar lingkaran. Semua pasukannya kemudian mengikuti untuk duduk bersila.
Kini Tulus melihat cincin pirus jelek milik Mbah Kucing itu dengan penuh rasa takjub.
Ratu Jin kemudian bertanya singkat. "Katakan, apa yang bisa saya bantu?"
Tulus segera menceritakan persoalan yang sedang dihadapinya.
Setelah mendengar cerita itu, Ratu Jin berseru lantang ditujukan kepada para pasukannya, "Siapa yang mencuri keris pusaka manusia ini" Tidak ada satupun jawaban. "Siapa yang mencuri?" serunya lebih keras. Suasana semakin mencekam.
Tak lama kemudian muncul salah satu jin dengan membawa keris pusaka berlari cepat ke depan. Seolah jangan sampai ia kalah cepat dengan pertanyaan ratu untuk ketiga kalinya. Ia kemudian meletakan keris itu di tanah di luar lingkaran.
"Apa yang membuatmu berani mencuri barang milik manusia yang berada di bawah naungan Maha Guru Dhara?" bentak ratu jin dengan suara murka. Ia lantas memerintahkan pasukannya untuk mengikat jin pencuri itu dan memenjarakannya. "Sampaikan kepada Guru Dhara permohonan maaf kami!" ucap Ratu Jin.
"Terima kasih atas bantuan Kanjeng Ratu!" jawab Tulus seraya mengambil keris pusaka di depannya. "Maaf, kalau boleh tahu siapa sebenarnya Guru Dhara itu?"
"Semua raja jin di nusantara ini mengenal Maha Guru Dhara. Beliau pernah menaklukkan raja-raja bangsa jin yang berkhianat dan berbuat durhaka serta melanggar perjanjian di antara kami. Saya dilarang menceritakan lebih dari ini!" pungkas Ratu.
***
Raden Tulus tiba di langgar tepat saat adzan subuh berkumandang. Mbah Kucing meminta pemuda itu menunda membicarakan urusan keris sampai tidak ada satu orang pun di antara mereka. Selepas subuh dan ketika langgar mulai sepi, Tulus langsung menyerahkan cincin pirus kepada Mbah Kucing dan mengeluarkan keris dari balik bajunya. Ia berkali-kali mengucapkan terima kasih.
Mbah Kucing ikut merasa lega. Ia menerima cincinnya kembali dan berpesan, "Tolong rahasiakan apa yang telah anda alami tadi malam! Raden mau berjanji?"
"Saya berjanji, Tuan Guru!"
"Jangan panggil saya seperti itu!"
"Tapi..," Tulus kemudian bersimpuh di kaki Mbah Kucing dan berkata, "Saya mohon sudi kiranya, Mbah, menerima saya sebagai murid!"
Setelah hening beberapa saat. "Asal Raden berjanji untuk merahasiakannya!"
"Saya berjanji, Guru!" serunya tanpa berpikir panjang. ""Saya siap mengabdi, dan jangan panggil saya raden!"
"Dan jangan panggil saya 'guru'! Kotak wadah keris itu sebetulnya sudah diberi pagar gaib, tapi pagar itu rusak saat kamu membukanya!" urai Mbah Kucing, "Itulah kenapa akhirnya ada jin yang bisa mencurinya!"
"Oh...!"
Sejak peristiwa tiga tahun yang lalu itu, Joko Tulus belajar secara rahasia dari Mbah Kucing. Belajar segala ilmu, terutama ilmu silat. Sebelumnya, sejak masih kanak-kanak ia sudah belajar silat di padepokan milik Mpu Naga Neraka. Oleh karena itu ia mampu menyerap dengan cepat semua pelajaran dari Mbah Kucing tanpa menemui kesulitan yang berarti, di samping ia memang pemuda yang rajin dan cerdas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H