"Langsung mati, Mbah!"
"Biayanya seharga sepuluh gram emas!" kata Mbah Gering singkat dan tegas.
'Sepuluh gram,' batin Ricky, 'Seratus gram pun akan aku bayar!' Ia langsung mengeluarkan empat gepok uang ratusan ribu yang segepoknya senilai 5 juta Rupiah. "Saya akan berikan bonus kalau sudah berhasil, Mbah!"
Mbah Gering melempar senyum aneh. Tampaknya ia belum pernah melihat uang sebanyak itu. "Bonus?"
"Benar, Mbah! Jangan khawatir, pasti akan saya bayar! Sekarang pun sudah saya bawa uangnya!"
Tanpa panjang lebar lagi, Mbah Gering segera mempersiapkan segala keperluan buat sesajen. Membakar kemenyan di atas tungku kecil, mengambil lombok-lombok dari keranjang. Lombok merah besar yang sudah mengering itu diikat benang merah dan kemudian digantungkan di tulang tengkorak di dekat tungku.
Ricky hanya membisu memperhatikan semua itu. Mbah Gering kembali duduk bersila menggadapnya. "Sekarang aku minta darahmu. Karena darah adalah media terbaik untuk menyantet, apalagi ditujukan ke anak keturunanmu. Pasti ces pleng. Tidak banyak, hanya tujuh tetes."
"Baik, silakan, Mbah!" jawab Ricky seraya mengulurkan tangan, "Apakah saya harus menunggu sampai ritualnya selesai, Mbah?"
"Iya betul! Setiap praktik santet yang tujuannya untuk menyakiti atau menyebabkan kematian pasti memiliki konsekuensi baik bagi si klien maupun dukunnya. Itulah kenapa kita harus tetap jaga-jaga jika santet gagal. Itu akan menjadi bumerang, balik menyerang kita!"
"Sampai berapa lama jaganya?"
"Tidak lama. Karena ini santet istimewa, super kilat. Setelah ada tanda bahwa santet itu sudah masuk dan mengenai sasaran, kamu boleh tinggalkan tempat ini. Paling lama satu jam, kamu sudah bisa melihat hasilnya!"