Mohon tunggu...
TRI HANDOYO
TRI HANDOYO Mohon Tunggu... Novelis - Novelis

Penulis esai, puisi, cerpen dan novel

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Ikrar Sang Pendekar (24): Pendekar Muda

10 Juli 2024   05:32 Diperbarui: 10 Juli 2024   09:36 541
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumen Tri Handoyo

Oleh: Tri Handoyo

Di kala Ki Sujana dan semua anak buahnya nyaris menyerah, tiba-tiba tampak berkelebat bayangan seseorang dari luar ruangan, langsung menyerang Japa. Setelah jelas bahwa yang menyerang itu adalah Ki Mahasura, sang guru besar, maka serentak semua anggota perguruan berteriak girang dan tampak sangat menaruh harapan besar kepada sosok yang baru datang itu.

"Guru!!" Mereka minggir semua dan kini bisa menghembuskan nafas lega.

Melihat keadaan beberapa muridnya yang terkapar tak berdaya, Ki Mahasura berkata keras demi meredam rasa malu yang diderita murid-muridnya. "Hei  setan, kau harus menebus semua kekurang-ajaranmu ini dengan nyawamu!"

Japa Dananjaya menjawab dengan menjatuhkan lagi dua orang pengeroyok yang berada dalam jangkauannya. Sangat cepat. Orang-orang lalu seperti mendapat perintah, secara bersamaan bergegas mundur dan berlindung di belakang Ki Mahasura.

Dengan murka Ki Mahasura terbang dengan tendangan beruntun ke arah kepala, secepat kilat Japa menggeser tubuh dengan gerakan salto lalu menjejakan kaki ke dinding dan mendarat di atas meja. Ki Mahasura mengejar dengan tendangan kaki mautnya, tapi Japa sudah melejit ke tempat lain, dan yang menjadi sasaran amukan guru besar itu adalah meja. Meja kayu itu langsung hancur berantakan dengan suara mengerikan.

Sebelum guru yang murka itu sempat mengirim serangan berikutnya, tanpa dapat diduga olehnya, Japa lebih dulu menyarangkan kaki kirinya ke dada, tapi pada saat bersamaan kedua tangan Ki Mahasura berhasil menangkap pergelangan kaki Japa. "Hm.., rasakan ini setan kecil!" geramnya sambil matanya melotot, ia mengerahkan tenaga dalam hendak meremukan tulang-tulang kaki dalam genggamannya.

Sekali lagi tanpa diduga, Japa memutar tubuh dan kini kaki kanannya secepat kilat menendang wajah Ki Mahasura dengan sangat telak. Maka tidak ampun lagi, guru itu roboh terguling dengan mulut memuntahkan darah segar. Semua murid Mahasura terbelalak menyaksikan kenyataan yang sulit dipercaya itu.

"Guru!" Ki Sujana menghampiri hendak membantu gurunya berdiri.

Ki Mahasura mengayunkan tangan menolak. Ia lalu mencoba loncat untuk berdiri, tetapi sebelum posisinya benar-benar tegak, ia dibuat terjatuh lagi oleh tendangan Japa. Kali ini tendangan ke arah perut, yang membuat tubuh guru besar itu terlempar membentur dinding, lalu tanpa ampun jatuh dalam posisi terduduk. Isi perutnya terasa diaduk-aduk dengan rasa nyeri luar biasa. Untuk beberapa saat suasana menjadi hening.

"Mulai saat ini juga, saya minta tempat ini dikosongkan. Kalian tidak berhak menempati rumah ini!" Setelah berkata demikian, Japa lalu meraih sebuah kursi jati, mengangkat hanya dengan sebelah tangan dan melemparkannya ke halaman melalui jendela. Jendela itu ambrol dan kursi hancur berserakan di halaman. "Atau terpaksa kalian akan aku keluarkan seperti kursi tadi!"

Guru Mahasura mendengar penuturan Japa Dananjaya dengan dada panas hampir meledak. Sakit, marah, malu, kecewa, sedih, campur aduk menjadi satu.

Di luar rumah tampak beberapa warga kampung berkerumun karena mendengar adanya keributan. Belasan orang anggota Mahasura, sambil menundukan kepala, berbaris keluar pagar melewati kerumunan. Yang lebih memalukan, Ki Mahasura dalam keadaan dibopong oleh beberapa anak buahnya.

Warga terheran-heran menyaksikan betapa seorang pemuda belia bisa mengusir keluar perguruan yang selama belasan tahun berkuasa di wilayah itu.

Tiba-tiba di antara kerumunan warga ada suara orang membentak lantang, "Hei anak muda!"

Warga kampung pun berebut menjauh dari tempat itu, menyisahkan dua orang pendekar yang berdiri dengan sikap gagah. Dua orang itu tidak lain adalah Ki Gong Wojo dan gurunya Ki Gardapati Geni.

"Iya ada apa tuan-tuan pendekar?" tanya Japa mengenali mereka berdua. Sementara mereka rupanya sama sekali tidak mengenalinya.

"Kau jangan besar kepala dulu karena bisa mengalahkan Mahasura!" seru Ki Gong.

"Terus?"

"Aku dengar kau menyimpan kitab pusaka, berikan kepada kami, maka aku biarkan nyawamu selamat!"

"Kitab pusaka?"

"Eit..eit.., jangan coba-coba berkelit! Kami sudah tahu semuanya!"

"Maaf Ki Geni dan Ki Gong..."

"Hmm..bagus!" potong Ki Geni, "Rupanya kau mengenali kami! Ha..ha..ha..!"

"Iya, apakah kalian sudah lupa peristiwa di sebuah pasar, kalian mengeroyok seorang bocah yang akibatnya tangan Ki Gong patah dan gigi Ki Geni rontok?"

Ki Geni dan Ki Gong saling bertatap pandang satu sama lain. Dengan mimik muka menyimpan rasa penasaran, Ki Gong melontarkan pertanyaan, "Apa urusannya dengan kamu?"

"Rupanya anda lupa, aku adalah bocah itu!"

Mendengar itu Ki Geni dan Ki Gong kembali saling bertukar pandang dengan wajah berubah pucat. Tentu peristiwa itu tidak akan pernah terlupakan di sepanjang sisa kehidupan mereka.

"Ya, akulah anak yang kalian keroyok itu!"

"Hei anak muda!" kata Ki Geni melunak, "Kami hanya meminta dengan baik-baik, tapi jika kamu tidak mengijinkan, maka kami tidak akan memaksa!" Selesai berkata demikian, kedua orang pendekar itu pun memilih secepatnya pergi.

Seorang sesepuh kampung mendekati Japa dan melontarkan pertanyaan dengan penuh kekaguman, "Maaf anak muda, siapakah anda dan siapa guru anda?"

"Nama saya Japa, pak. Saya murid seorang kakek yang bukan siapa-siapa!" jawab Japa lirih.

Sesepuh itu menyangka bahwa Japa adalah seorang pendekar yang telah dipesan oleh gurunya untuk merahasiakan nama sang guru, maka ia tidak berniat bertanya lebih jauh lagi, hanya menyisakan decak penuh kekaguman. Yang jelas, kesaktian guru itu pasti sulit dicarikan tandingannya. Terbukti muridnya yang masih belia saja sudah memiliki ilmu yang demikian hebat.

Japa Dananjaya memperkenalkan diri kepada warga sebagai Japa Mada, putra Raden Suto Gumilar. Dia mengutarakan maksud kedatangannya adalah untuk menelusuri jejak ayahnya, dan tentu saja untuk meluruskan sejarah bahwa ayahnya bukanlah pengkhianat seperti yang selama ini dituduhkan.

Dengan kepandaiannya, walaupun ia baru saja mempelajari setengah bagian dari ilmu yang dimiliki Eyang Dhara, namun itu sudah cukup membuat namanya menjadi sangat terkenal. Dunia persilatan Nusantara digemparkan dengan munculnya nama pendekar pendatang baru, Japa Mada. Nama Mada sengaja ia gunakan untuk mengingatkan masyarakat luas akan sosok mahapatih tersohor itu.

Tak dapat dipungkiri, memiliki ilmu beladiri yang tinggi berarti akan menjadi incaran banyak pendekar papan atas. Di antara mereka pasti akan ada yang tertarik untuk menguji ilmunya. Sebagian lagi ada yang dengki dan bernafsu untuk menyingkirkannya. Mulai sekarang, ia berada dalam wilayah yang akrab dengan kekerasan, dan maut bisa menjemput di setiap saat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun