"Mulai saat ini juga, saya minta tempat ini dikosongkan. Kalian tidak berhak menempati rumah ini!" Setelah berkata demikian, Japa lalu meraih sebuah kursi jati, mengangkat hanya dengan sebelah tangan dan melemparkannya ke halaman melalui jendela. Jendela itu ambrol dan kursi hancur berserakan di halaman. "Atau terpaksa kalian akan aku keluarkan seperti kursi tadi!"
Guru Mahasura mendengar penuturan Japa Dananjaya dengan dada panas hampir meledak. Sakit, marah, malu, kecewa, sedih, campur aduk menjadi satu.
Di luar rumah tampak beberapa warga kampung berkerumun karena mendengar adanya keributan. Belasan orang anggota Mahasura, sambil menundukan kepala, berbaris keluar pagar melewati kerumunan. Yang lebih memalukan, Ki Mahasura dalam keadaan dibopong oleh beberapa anak buahnya.
Warga terheran-heran menyaksikan betapa seorang pemuda belia bisa mengusir keluar perguruan yang selama belasan tahun berkuasa di wilayah itu.
Tiba-tiba di antara kerumunan warga ada suara orang membentak lantang, "Hei anak muda!"
Warga kampung pun berebut menjauh dari tempat itu, menyisahkan dua orang pendekar yang berdiri dengan sikap gagah. Dua orang itu tidak lain adalah Ki Gong Wojo dan gurunya Ki Gardapati Geni.
"Iya ada apa tuan-tuan pendekar?" tanya Japa mengenali mereka berdua. Sementara mereka rupanya sama sekali tidak mengenalinya.
"Kau jangan besar kepala dulu karena bisa mengalahkan Mahasura!" seru Ki Gong.
"Terus?"
"Aku dengar kau menyimpan kitab pusaka, berikan kepada kami, maka aku biarkan nyawamu selamat!"
"Kitab pusaka?"