Mohon tunggu...
TRI HANDOYO
TRI HANDOYO Mohon Tunggu... Novelis - Novelis

Penulis esai, puisi, cerpen dan novel

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Ikrar Sang Pendekar (21): Yang Tak Tergantikan

3 Juli 2024   07:22 Diperbarui: 3 Juli 2024   07:28 367
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Prabu Hayam Wuruk menyadari bahwa kebesaran Majapahit tidak bisa dipisahkan dari kebesaran Gajah Mada. Kemasyuran Hayam Wuruk pun tidak terlepas dari jerih payah Sang Patih Mangkubumi ulung itu.

Di India yang saat itu masih dalam keadaan terpecah-pecah, ada seorang biku bernama Seri Budhatiya yang mengagung-agungkan Prabu Hayam Wuruk lewat karangan kitabnya yang disebut Bhogawali. Ini salah satu bukti yang menunjukkan kemasyuran Kerajaan Majapahit.

Majapahit yang wilayahnya membentang seluas wilayah negara-negara Asia Tenggara, yang begitu ditakuti dan disegani di dunia, hanya tinggal kenangan. Sepeninggal Gajah Mada, Kerajaan Majapahit bagaikan terjun bebas dari puncak ketinggian ke jurang kehancuran. Lambat laun namun pasti.

***

Mpu Prapanca, yang bernama asli Dhang Acarya Nadendra, sebagaimana yang tercantum dalam Prasasti Canggu 1358 Masehi, adalah seorang yang berkedudukan sebagai Dharmadyaksa Ring Kasogatan. Sementara Prapanca adalah nama samaran yang digunakan sewaktu ia menulis Kakawin Nagaraketagama, kitab yang ditulis setelah pensiun dan menepi di desa yang bernama Kamalasana.

Mpu Prapanca hidup di era awal hingga Majapahit mencapi puncak kejayaannya. Dalam kitab gubahannya ia menguraikan kebesaran dan kemakmuran Majapahit. 

Ia tahu betul bagaimana Majapahit mengikuti haluan politik ekspansif Kertanegara yang dilancarkan oleh Mahapatih Gajah Mada, yakni melakukan penyatuan seluruh wilayah-wilayah di luar Jawa. Mpu Prapanca juga menguraikan bagaimana jalinan hubungan birokrasi antara pusat dan daerah, dan hubungan dengan luar negeri.

Setelah terjadinya tragedi Bubat, Mahapati Gajah Mada kemudian melepaskan semua jabatannya dan mengasingkan diri. Tidak berselang lama kemudian Dang Acarya Nadendra sendiri juga kehilangan kedudukannya, maka ia menggunakan nama Prapanca yang berarti keprihatinan. 

Pada waktu menyusun kitab Nagarakrtagama, hidupnya memang sedang diliputi keprihatinan luar biasa. Prihatin karena kehilangan sosok Gajah Mada, sebagai seorang sahabat dekat dan pilar kokoh Majapahit.  Prihatin karena membayangkan keruntuhan Majapahit sudah di depan mata, sebagaimana yang telah diramalkan oleh beberapa tokoh spiritual selama ini.

Mpu Prapanca merupakan pribadi yang unik. Gelar mpu menunjukan bahwa beliau seorang yang arif, bijak dan cerdas. Ia memang dikenal sebagai seorang cendekiawan istana. Namun, ia memakai nama Prapanca, yang juga memiliki makna akan sosok yang kurang ajar, terlalu bodoh, tidak menganut ajaran yang luhur, dan tak pantas dijadikan suritauladan. 

Nama yang layak dihukum dengan dipukul berulang kali. Seolah-olah dia merasa tidak pantas menyandang nama Nadendra, pantasnya bernama Winada, yang artinya orang yang tercela dan cacat. Sebetulnya itu dipakai sebagai sindiran untuk para pejabat yang mulai kehilangan jati dirinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun