Oleh: Tri Handoyo
Peristiwa Bubat memang tidak membuat Kerajaan Sunda Galuh merasa wajib melampiaskan dendam dengan cara menggempur Majapahit. Mereka menyadari betul bahwa Majapahit adalah kerajaan besar, memiliki pasukan terbanyak dan terkuat di Nusantara, sehingga menyerangnya sama saja dengan membenturkan diri ke batu karang. Saat itu mustahil membangun kekuatan militer untuk mengimbangi kekuatan Majapahit, namun demikian, mereka tetap menyusun sebuah rencana untuk balas dendam.
Beberapa bangsawan pendukung setia raja Sunda Galuh yang terbantai di lapangan Bubat, memutuskan untuk membentuk satu kelompok penari tayub, yang nantinya akan diberangkatkan ke Majapahit dengan sasaran bidik yang sudah jelas, yaitu Sang Mahapati Gajah Mada. Itulah salah satu jalan keluar yang paling logis untuk dijalankan.
Persiapan yang sangat matang dan teliti adalah kunci utama keberhasilan operasi tersebut. Setiap anggota kelompok sudah pasti harus mahir berbahasa Jawa dan menguasai kesenian Tayub. Seiring berjalannya waktu, kelompok khusus tersebut telah siap beraksi. Operasi senyap yang mereka lakukan akan langsung menusuk ke dalam lingkungan istana.
Pagelaran tari tayub diselenggarakan beberapa hari di dekat markas prajurit Majapahit, dengan tujuan selain untuk mencari prajurit pilihan, membujuk dan jika perlu menyuap mereka demi memperoleh informasi penting. Jika memungkinkan, juga mengubahnya untuk dijadikan eksekutor cadangan yang bertugas membunuh Gajah Mada. Tentu dengan iming-iming imbalan yang lumayan menggiurkan.
Di suatu pagi yang sejuk, seorang penari yang mengaku bernama Palupi Wungu bertanya tentang Mahapatih Gajah Mada kepada seorang prajurit. Dijawab oleh prajurit berpangkat bekel itu dengan senyum getir dan untuk beberapa saat sinar matanya yang biasanya berseri-seri itu tiba-tiba menjadi suram.
"Ada apa kangmas?" tanya Palupi dengan suara manja.
"Sudah dua bulan lebih kami semua tidak ada yang mengetahui di mana keberadaan beliau. Ini tidak pernah terjadi sebelumnya. Mungkin hanya Prabu Hayam Wuruk dan keluarga istana saja yang mengetahuinya!"
"Ah, kangmas, kalau kamu tidak suka menceritakan riwayat hidup mahapatih hebat itu padaku, ya sudahlah. Nah, sekarang bagaimana kalau kamu cerita mengenai sang utusan yang terkenal itu?"
"Sang utusan siapa maksudnya, Nyimas?"
"Kalau gak salah namanya Suto! Aku hanya pernah dengar bahwa dia adalah utusan sang mahapatih ketika terjadi peristiwa Bubat!"
Prajurit itu kembali tersenyum dan lenyaplah kesuramannya tadi. Dijawabnya pertanyaan itu dengan terus terang, "Oh maksudnya Raden Suto Gumilar!" Lalu ia dengan singkat menceritakan riwayatnya.
Raden Suto sebenarnya bernama Sutosoma, anak bungsu dari Tumenggung Gumilar yang sangat termasyur karena kepandaian ilmu silatnya. Gumilar yang juga dijuluki Pendekar Tangan Seribu adalah salah seorang tokoh yang berjasa besar dalam masa pengusiran tentara Mongol dan masa perpindahan pusat pemerintahan kerajaan Majapahit. Sayangnya beliau meninggal dunia ketika Raden Suto baru menginjak usia remaja.
Akan tetapi, lantaran didikan seorang prajurit yang telah tertanam kuat di dalam kepala, prajurit itu sama sekali tidak mau menyebutkan hal-hal detil mengenai Suto Gumilar. Misalnya mengenai kedudukan, tugas, tempat tinggal, kebiasaan-kebiasaan, atau mengenai keluarganya. Ia teringat akan larangan yang mengungkap hal pribadi atasan kepada orang luar, apalagi kepada orang asing.
"Ayo tambah lagi minumnya, Kangmas!" bujuk rayu Palupi sambil menuangkan tuak ke dalam mangkuk batok kelapa. Sebagai seorang 'telik sandi' terlatih, ia sangat paham bahwa prajurit itu pasti masih menyembunyikan banyak cerita. "Ayo tambah minumnya, biar ceritanya semakin seru!"
Di dalam kondisi setengah terbuai dan mabuk, prajurit yang baik hati itu melanjutkan ceritanya. Ternyata pernah tersiar kabar bahwa Ki Gumilar yang kemudian diangkat menjadi tumenggung sempat mencuri sebagian harta rampasan dari tentara Mongol. Harta berupa emas-emasan sebanyak lima gerobak itu diperoleh tentara Mongol dari hasil menjarah kekayaan Kerajaan Daha yang dihancurkannya.
Seperempat gerobak emas dalam berbagai bentuk perhiasan berhasil disembunyikan Ki Gumilar beserta komplotannya. Harta curian itu disimpan di sebuah rumah kuno di daerah Jombang. Namun hal itu ternyata diketahui oleh seorang pejabat daerah, yang kemudian berusaha merampasnya untuk kepetingannya sendiri. Dari situ akhirnya terbongkarlah harta haram itu.
Orang-orang yang masih setia kepada Raja Majapahit melaporkan mengenai hal itu, sehingga pemerintah dengan cepat mengamankan harta dan membawanya ke pusat pemerintahan.
Akan tetapi, musuh yang lebih berbahaya lagi, yaitu orang-orang persilatan seperti Ki Blandotan Kobra dan Nini Jailangnak, karena mereka ini pun mempunyai telinga yang tajam hingga mendengar pula tentang harta karun itu dan berusaha pula merampasnya.
Kecantikan dan gemulai gerakan para penari Sunda adalah senjata utama mereka. Tujuan tersebut sudah hampir berhasil mereka capai, namun satu hal yang membuat rencana itu gagal total, yakni Gajah Mada sudah tidak berada di pusat ibu kota. Karena tidak mendapatkan sasaran utamanya, maka mereka beralih ke sasaran lain, yakni Raden Suto Gumilar.
***
Ia terbangun di tengah malam karena mendengar teriakan seorang perempuan di luar. Ia segera membuka pintu dan menemukan perempuan muda yang tadi berteriak itu berada di teras depan rumahnya.
"Ada apa?" tanya Suto Gumilar keheranan. Perempuan itu tampak terluka dan meringis menahan sakit. "Apa yang terjadi dengan anda?"
"Maaf, Raden? Saya tadi mau diperkosa oleh seorang prajurit penjaga Istana!"
"Apa? Siapa namanya? Ceritakan bagaimana..." Sebelum Suto selesai berbicara, tiba-tiba terasa sambaran angin dan tahu-tahu ada sosok bayangan dari arah belakang menerjang menggunakan pisau. Suto berhasil menangkis, tapi disusul serangan berikutnya dari perempuan muda di depannya.
Kedua tangan perempuan itu kelihatannya seperti akan memeluk leher Suto, tetapi sebenarnya ini adalah sebuah serangan berbahaya, karena jari-jari tangan itu bergerak dengan jurus Cengkeraman Kuku Rajawali, yang jika sampai mengenai sasaran, maka kulit leher itu pasti akan terkoyak, juga dagingnya.
Kedua serangan kilat itu bisa dipatahkan, namun tanpa diduga sama sekali, seorang berpakain serba hitam yang tadi menyerang dari belakang berkata, "Hei Suto, kau harus dihukum mati seperti ayahmu, karena dosa-dosa kalian sebagai pengkhianat hanya bisa ditebus dengan kematian!"
Si perempuan menambahkan, "Namamu akan diabadikan oleh sejarah sebagai pengkhianat jahanam!"
Hal itu membuat Suto tersentak dan untuk sesaat dia menjadi kurang waspada. Ketika menengok ke belakang, tiba-tiba lengan tangan kirinya dicengkeram dengan kuat sekali dan sebilah pisau ditancapkan ke punggung.Â
Ia masih berusaha berkelit namun serangan berikutnya berupa tendangan keras ke dada membuat ia terbanting di lantai batu. Penyerang perempuan yang masih penasaran itu mengakhiri dengan mencabut pisau di punggung dan kemudian menancapkannya ke leher Suto, hingga tembus.
Bagaikan tidak terjadi sesuatu, kedua penyerang itu ke luar dari halaman rumah dengan cepat. Sementara itu, di teras rumah, tampak tuan rumah yang berkelojotan menghadapi kematian. Istrinya yang tengah hamil lari keluar dan menangis di dekat tubuh sekarat itu.
Di pos jaga dekat pintu gerbang, tampak dua orang prajurit yang masih dalam keadaan tidak sadarkan diri, pingsan akibat serangan yang merupakan bagian dari operasi senyap.
bersambung...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H