Oleh: Tri Handoyo
Beberapa tahun yang lalu aku bekerja di sebuah perusahaan dan ditempatkan di sebuah daerah yang cukup jauh dari kantor pusat. Perjalanan yang harus ditempuh memakan waktu sekitar delapan jam. Travel yang mengantar berangkat jam sepuluh malam. Melintasi perbukitan dengan medan berkelok-kelok, naik turun, dan pemandangan yang serba hitam. Cukup menjemukan dan melelahkan.
Travel sampai di tempat tujuan tepat jam tujuh pagi. Shalat shubuh sudah pasti terlewatkan. Pertama yang harus aku lakukan adalah mencari tempat kos. Aku butuh segera ke kamar mandi, shalat kalau masih ada sisa tenaga, dan tidur.
Dengan memanggul tas ransel dan tas selempang yang rasanya jauh lebih berat dibanding saat sebelum berangkat, aku berjalan tertati-tati menuju alamat sebuah tempat yang direkomendasikan oleh supir travel.
Alamat rumah yang kudatangi ternyata jauh dari apa yang ada dalam bayanganku. Rumah itu terkesan sudah lama diabaikan oleh pemiliknya. Banyak cat dinding yang terkelupas dan kaca jendelanya buram berdebu.
"Ada enam orang yang kos di sini!" kata ibu kos ramah sambil memberikan kunci kamar.
"Semua karyawan tambang," sahut bapak kos, "Tapi mereka semua masih pulang, karena sekarang tambang sedang libur!"
"Libur?"
"Iya, setelah terjadi demo minggu lalu. Jadi diliburkan, sementara menunggu keputusan tentang tuntutan kenaikan upah!"
"Oh..!" aku sudah ingin mengakhiri basa-basi dengan pemilik rumah itu, tapi rupanya bapak kos masih terus ingin berbicara.