Mohon tunggu...
TRI HANDOYO
TRI HANDOYO Mohon Tunggu... Novelis - Novelis

Penulis esai, puisi, cerpen dan novel

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Ikrar Sang Pendekar (8): Masa Akil Balig

13 Juni 2024   08:18 Diperbarui: 13 Juni 2024   11:22 730
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Gayung bersambut, murid sekaligus cucu angkat itu begitu antusias untuk mengetahui sejarah kerajaan-kerajaan di Nusantara. Wawasan itu di kemudian hari sangat berguna bagi karirnya. Anak yatim piatu yang istimewa itu berada dalam tempaan tangan guru yang istimewa pula.

***

Pada tahun 1309 Masehi, terjadi musibah besar bagi Majapahit, raja yang baru memimpin sekitar enam belas tahun itu, yakni Prabu Kertarajasa Jayawardhana alias Wijaya, meninggal dunia. Seluruh masyarakat berkabung selama empat puluh hari.

Untuk mengenang jasa-jasanya, dibuatkan dua makam. Yang pertama secara agama Budha, bertempat di Antapura. Yang kedua secara agama Hindu, bertempat di Simping, yaitu Candi Sumberjati, yang terletak di sebelah selatan Blitar. Di lokasi itu ditempatkan patung Kertarajasa. Patung itu sebagai Harihara, perpaduan antara Siwa dan Wisnu.

Prabu Kertarajasa memiliki tiga orang anak. Dua orang perempuan dari istri Gayatri dan seorang laki-laki dari istri Dara Petak. Anak perempuan yang sulung, bernama Dyah Gitarja, diangkat jadi Raja Kahuripan (Jiwana), dan anak kedua, bernama Dyah Wiyat, diangkat menjadi raja Jenggala, serta yang ketiga, Jayanegara, diangkat menjadi raja Majapahit.

Jayanegara naik tahta menggantikan ayahnya saat ia baru menginjak usia belum genap 16 tahun. Usia akil baliq yang berarti sangat belia untuk mengurus sebuah kerajaan besar seperti Majapahit. Meskipun ada para penasehat istana, namun Jayanegara tetap dianggap sebagai seorang raja yang tidak cakap memimpin.

Di samping faktor usia, Jayanegara sepertinya juga kurang memiliki minat di dalam urusan pemerintahan. Tapi ia cukup peduli dengan kedudukannya sebagai pewaris mahkota, sehingga semasa pemerintahannya, ia paling takut jika ada pemberontak yang akan merebut singgasana.

Ironisnya, pemberontakan demi pemberontakan justru muncul silih berganti. Tentu saja soal isu kesukuan, bahwa Jayanegara adalah anak dari seorang ibu bukan keturunan Jawa. Primordialisme inilah faktor utama pemicunya.

Halayudha, bangsawan istana kerabat dekat Raden Wijaya, adalah orang yang jeli melihat peluang besar untuk menyingkirkan Raja Jayanegara. Halayudha yang leluasa berhubungan dengan orang-orang penting, mulai menyebarkan racun-racun hasutannya.

Peristiwa besar yang pertama mengguncang Majapahit di era raja baru, yang dikenal dengan pemberontakan Nambi, terjadi pada tahun 1316. Kisahnya disinggung dalam Nagarakertagama dan Pararaton, serta diuraikan panjang lebar dalam Kidung Sorandaka.

Di dalam pemerintahan, Patih Nambi adalah salah seorang pendukung setia Wijaya, sehingga ketika Prabu Jayanagara dari istri selir naik tahta dan menyingkirkan Tribuwana Tunggadewi, Nambilah yang berada di garda depan untuk menentangnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun