Mohon tunggu...
TRI HANDOYO
TRI HANDOYO Mohon Tunggu... Novelis - Novelis

Penulis esai, puisi, cerpen dan novel

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Ikrar Sang Pendekar (8): Masa Akil Balig

13 Juni 2024   08:18 Diperbarui: 13 Juni 2024   11:22 538
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Maafkan saya mbah!" Suara lirih Mada seperti hembusan angin, sambil menguap menahan kantuk.

"Ayo cepat tidur. Ini sudah larut malam!" bisik nenek yang sabar itu.

Sebagai anak desa, Mada menjalani hidup yang serba kekurangan. Ia dibesarkan dalam kemelaratan. Hari-harinya lebih banyak terisi dengan bekerja sebagai penggembala kambing milik orang terkaya di desa itu.

Setelah menginjak usia sepuluh tahun, ia diantar ke Bedander, Jombang, untuk belajar bela diri kepada kakek angkatnya, Ki Wonokerto. Ki Wonokerto adalah seorang pendekar yang kemudian memilih hidup mengasingkan diri sebagai spiritualis. Banyak pemuda-pemuda dari berbagai desa sekitar yang menuntut ilmu kepadanya.

Sejak di Bedander, bocah dari Desa Mada itu lebih suka memperkenalkan dirinya dengan nama Gajah Mada. Anak yatim piatu itu adalah anak yang periang dan ramah, sehingga mudah sekali untuk disukai banyak orang. Termasuk Kakek Wonokerto, yang menyayangi dan merawatnya seperti cucu kandungnya sendiri.

Gajah Mada banyak mendapat pelajaran tentang budi pekerti, tentang tujuan hakiki dari kehidupan, di samping tentu tentang ilmu bela diri. Ketika memasuki usia akil baliq, entah kenapa Guru Wonokerto semakin sering menempah bocah itu dengan ilmu kebatinan. Kakek itu, dalam pandangan mata batinnya, dapat merasakan bahwa ada sesuatu yang akan membuat bocah itu kelak memiliki urusan besar dalam kehidupan.

"Kakek ingin kamu mendengar cerita ini," Kakek Wonokerto mengawali sebuah kisah, "Dahulu kala, diduga pernah berdiri sebuah kedaton di sekitar wilayah ini!"

Berdasarkan Prasasti Kusambyan (Prasasti Kusambyan, Desa Katemas, Kudu, Jombang), yang diperkirakan dibuat oleh Raja Airlangga saat bertahta di Kerajaan Kahuripan. Prasasti itu sebagai bentuk penghargaan kepada warga di sekitar gunung Pucangan dan Sendang Made, yang menerimanya saat Airlangga bersembunyi dari kejaran bala tentara Wura Wari.

Pada Prasasti Kusambyan itu disebutkan adanya kedaton Madander dan pemberian 'Pardhikan' oleh Airlangga untuk daerah Kusambyan. Jarak antara Prasasti Kusambyan dengan Bedander kurang lebih sekitar 5 kilometer.

Salah satu isi Prasasti Kusambyan yang penting adalah menyebutkan bahwa Madander sebagai keraton yang tidak ditemukan pada prasasti-prasasti Airlangga lainnya. Penulisan 'Molah madwal makadatwan i madander' tidak lazim, sebagaimana umumya ditulis 'Sri maharaja makadatwan i tamwlan' (Sri maharaja berkeraton di Tamwlang) seperti yang tertulis di Prasasti Turyyan (829 M).

"Kemungkinan besar keraton di sini dihancurkan oleh serangan musuh!" papar Kakek Wonokerto, "Hal yang sangat mungkin terjadi, karena pada awal Prabu Airlangga membangun kembali kerajaan, ia banyak melakukan peperangan dan mengalami beberapa kali kekalahan!"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun