Mohon tunggu...
TRI HANDOYO
TRI HANDOYO Mohon Tunggu... Novelis - Novelis

Penulis esai, puisi, cerpen dan novel

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pusaka Rabu Legi

9 Juni 2024   06:58 Diperbarui: 16 Juni 2024   07:10 807
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumen Tri Handoyo

Oleh: Tri Handoyo

Sebelumnya aku tidak pernah berniat memelihara kucing, gara-gara ditawari oleh seorang teman, akhirnya aku terima. Kebetulan kucingnya baru melahirkan lima ekor. Aku diajak melihat ke rumahnya untuk memilih. Yang satu rencananya dia rawat sendiri. Yang tiga sudah ada yang pesan, tapi diambil nanti kalau sudah tidak lagi menyusu ke induknya. Tinggal satu, jadi bukan memilih namanya.

Aku segera jatuh cinta ke anak kucing ras campuran Bengali-Jawa itu. Badannya berbulu loreng, mirip macan, tapi lucu. Ekornya Panjang dan berbulu hitam di ujungnya.

Langsung aku minta untuk aku bawa pulang saat itu juga, dengan syarat bersedia memberi susu dengan dot. Aku dengan sabar menerima kuliah tujuh menit dari pemiliknya, yakni tips-tips bagaimana merawat anak kucing. Aku simak dengan seksama, karena aku belum pernah punya kucing sebelumnya.

Aku panggil dia Bogi. Nama lengkapnya 'Pus Bogi', singkatan dari Pusaka Rebo Legi. Pemiliknya pernah bilang kalau Bogi dan saudara-saudaranya itu lahir pada hari Rabu Legi. Aku taruh tempat tidur Bogi di tempat jemuran yang jadi satu dengan gudang. Tempat yang terpisah dari bangunan utama, tapi tertutup dan cukup luas untuk bermain.

Sudah hampir sebulan, hanya Bogi yang menemaniku di rumah. Ia sering nunggu di depan pintu ketika aku baru pulang. Sambil mengeong-ngeong, seolah menuturkan semua pengalamannya bermain hari itu. Ia suka mengikuti langkah kakiku ke mana pun aku beraktifitas.

Bogi berkelamin jantan, tetapi sangat lembut dan manja. Setiap ketemu dia akan menyambut dengan rebahan di kaki. Aku biarkan beberapa saat sebelum memintanya bangun. Ia lalu meloncat ke atas kursi, mengawasi aku saat mengisi mangkuk wadah makanannya. Setelah aku sodorkan mangkuk itu, dia langsung asyik menikmati makan siangnya.

Setelah selesai makan, aku berikan vitamin berbentuk pasta rasa tuna. Tiga jam kemudian, sebelum makan malam, aku beri lima atau tujuh snack bentuk kotak rasa tuna favoritnya. Itu semua sebagai balasan kesalahanku karena telah terlalu dini merenggutnya dari induk dan saudara-saudaranya.

Enam bulan berlalu. Bogi tumbuh sehat, lincah dan tampak sudah seperti kucing dewasa. Ketika itu aku mulai ada kesibukan sebagai seorang petugas pemilu di bagian data, maka sering meninggalkannya sendirian di rumah. Aku tidak lagi punya banyak waktu untuk bermain dengannya, paling hanya sempat membelai kepalanya beberapa saat sebelum kembali melanjutkan aktifitas.

Akhirnya aku coba membawa Bogi keluar rumah. Aku biarkan dia beberapa saat bermain menjelajah halaman di luar. Dengan mangkuk makanan penuh yang aku taruh di pojok teras, sebagai persediaan jika sewaktu-waktu dia lapar. Biar dia tidak kesepian saat aku sibuk di luar, yang kadang sampai malam hari baru kembali ke rumah.

Ketika pulang, Bogi biasanya sudah menunggu di teras. Aku tahu ia jarang pergi jauh. Makanya ketika malam itu aku tidak menjumpainya, menyelinap sedikit rasa was-was. Aku lihat mangkuknya sudah kosong. 'Apa dia lapar dan mencoba mencari makan?' Namun ia bukan kucing liar yang bisa berburu mangsa. Ia terbiasa dengan makanan pabrikan. Jadi aku yakin dia mungkin sedang bermain jauh dan lupa waktu. Malam itu aku biarkan pintu terbuka, biar nanti ketika pulang dia bisa langsung masuk rumah. Tapi ternyata dia tidak pulang malam itu.

'Bogi, apakah kamu sudah mulai kenal kasmaran, dan di luar sana sedang asyik berpacaran? Baiklah, selamat ya! Kamu sudah jadi kucing dewasa!'

Keesokan harinya dia belum pulang. terpaksa aku mencarinya dan bertanya-tanya ke anak-anak yang main sepedaan.

"Aku pernah lihat, Bogi berkelahi sama Budel, Om!" tutur seorang anak tetangga.

Si Budel, kucing tak memiliki ekor itu adalah kucing preman yang sudah bertahun-tahun berkuasa di wilayah perumahan. Aku sempat mengkhawatirkan nasib Bogi. Dia tidak seliar dan sebrutal Budel, yang punya perawakan kekar dan sangar untuk modal bertarung. Bogi adalah kucing yang masih belia, murah hati dan terlalu lembut untuk berhadapan dengan preman garang itu.

Setelah dua hari, pagi-pagi Bogi mendadak pulang dengan sebelah kaki kiri depan pincang. Wajahnya kuyuh, seolah-olah habis melakukan perjalanan jauh. Mungkin dia takut aku akan memarahinya, jadi langsung merebahkan tubuhnya di kaki, seperti kebiasaannya ketika bertemu.

Aku tunggu dia mengeong minta makan, baru aku bawa ke belakang dan memberinya makanan. Ia tampak sangat lapar. Aku periksa kakinya yang sedikit bengkak, dan beberapa tempat di punggung dan leher yang bulunya lepas. Ada luka bekas cakaran. Jelas menunjukkan bahwa ia telah mengalami pertarungan sengit.

"Maafkan aku yang membuatmu harus mengalami ini, Bogi!" Akhirnya aku memutuskan untuk tidak lagi membiarkannya di luar rumah. Aku tidak ingin dia nanti salah pergaulan. "Kamu masih terlalu muda untuk menghadapi preman kawakan itu!"

Setelah sekitar lima hari, ia mulai bisa berjalan normal. Meskipun bengkaknya masih tinggal sedikit. Bulu-bulu baru juga tumbuh menutupi luka yang mengering. Tapi menurutku ia tidak selincah dulu.

Suatu ketika aku sedang memperhatikan dia makan, tiba-tiba dia menegakkan kepala, lalu dengan cepat berlari ke jendela, memandang ke luar dari kaca. Ia tahu tidak ada jalan untuk bisa keluar rumah.

"Pus Bogi, kamu masih sakit!" kataku, "Tidak boleh keluar!"

Rupanya dia sedang mendengar suara kucing yang mengeong di luar. Sehingga bergegas lari meninggalkan makanannya yang belum habis.

"Apa dia pacarmu?" tanyaku penasaran, dan tidak mendapat tanggapan darinya. Dia tetap terpaku di depan kaca. "Kamu marah sama aku?"

Suatu hari aku sedang tidak enak badan, jadi aku minta ijin rekan-rekan untuk mengerjakan tugas di rumah. Saat itu aku banyak habiskan waktu bermain dengan Bogi. Tubuhnya memang besar, tapi sesungguhnya dia masih anak-anak yang suka bermain. Ia berlari, melompat dan tiba-tiba bergulingan menangkap entah apa. Pikirku dia sedang berlatih silat.

Sebelum tidur malam, aku mendengar suara anak kecil di depan rumah. Di halaman samping depan memang ada kolam, tidak begitu besar, tapi sering membuat anak-anak kecil terpikat untuk berlama-lama menikmati ikan-ikan koi yang sedang berenang. Aku biarkan anak-anak bebas keluar masuk halaman, meskipun aku sedang tidak di rumah.

'Anak siapa jam segini masih main di luar?' batinku. Aku keluar untuk melihatnya. Tapi di sekitar kolam ternyata sepi. Tidak tampak ada seorang pun anak. Pintu pagar masih tertutup, dan tidak terdengar ada yang membukanya.

Aku kembali masuk, ke kamar tidur, dengan pikiran masih berkecamuk. 'Ah, mungkin saja suara di rumah tetangga, yang terdengar seakan-akan di depan rumah!'

Di malam hari, aku terbangun, karena tiba-tiba mendengar air kran terbuka. Cukup deras. Aku perhatikan sepertinya dari tempat jemuran. Aku bangun dan lihat jam. Pukul tiga tepat.

Masih dengan rasa kantuk, aku beranjak menuju tempat jemuran. Benar juga. Sempat merinding, karena tidak mungkin Bogi bisa membuka kran yang setinggi satu meter dari lantai. Pikirku, 'Barangkali ia sedang mengejar cicak dan tanpa sengaja membuat kran terbuka'.

Aku buka pintu dan menunggu Bogi muncul menghampiri. Tempat jemuran itu memang aku biarkan gelap. Tombol lampu ada di sisi dalam kamar kosong. Bogi tidak muncul. Akhirnya aku berjalan menyusuri mesin cuci dan mematikan kran.

"Pus!" panggilku. "Bog!" Seandainya dia tidur pun biasanya akan bangun dan segera menghampiriku. Aku sangat hafal sifatnya.

Tiba-tiba aku mendengar suara erangan. Seperti suara kucing yang akan bertengkar. Aku cari sumber suara, ternyata Bogi sedang menghadap pojokan yang gelap, di samping tumpukan kursi. Di depannya seperti ada sosok hitam, lebih hitam dari gelapnya tempat itu.

"Bogi!" panggilku ulang. Sambil tetap manatap bayangan hitam itu.

Daarr..! Tiba-tiba seperti ada letusan kecil saat Bogi meloncat menerjang sosok hitam itu. Bogi tampak terpental ke belakang.

Sosok hitam itu bergoyang-goyang. Mengecil, dari bagian kepala lebih dulu, kemudian diikuti tubuhnya. Semakin mengecil perlahan sebelum akhirnya lenyap seperti asap.

Apakah itu tadi? Aku amati Bogi masih menghadap ke arah pojokan. Seandainya dia akan bertarung dengan sosok hitam itu, aku pun tidak akan tinggal diam.

"Bismillah! Jangan takut, Bog! Aku akan membantumu menghadapi setan itu!" seruku, sambil diam-diam meraih gagang sapu. Aku membaca Ayat Kursi dalam hati.

Bogi lalu menghampiriku. Seperti biasanya dia merebahkan tubuhnya di lantai, dengan kepala berbantal kakiku. Berarti keadaan sudah kembali normal. Dia baik-baik saja.

Tapi tidak berselang lama dia bangun lagi. Tampak gelisah. Lalu melompat ke atas rak buku. Berbaring di atasnya. Aneh. Aku belum pernah lihat ia tidur di tempat itu.

Keesokan harinya ketika aku ke tempat jemuran. Aku lihat Bogi masih tidur di tempat yang sama, di atas rak buku. Aku panggil sambil mengisi makanan di wadah khusus untuknya. Biasanya jam segitu waktunya ia sarapan.

Ia tidak bangun. Ketika aku hampiri dan mengelus tubuhnya. Ia diam saja. Aku coba angkat, ternyata tubuhnya telah kaku. Ia mati. Apakah lukanya mengakibatkan infeksi? Kenapa ia mendadak mati?

Pusaka Bogi telah pergi untuk selama-lamanya. Aku baru bisa menagkap makna dari tatapan matanya belakangan, bahwa ia seolah-olah ingin mengucapkan perpisahan. Maafkan aku yang tidak mampu merawatmu dengan baik. Tunggu aku di pintu akhirat ya! Aku akan biarkan kamu berlama-lama bersandar di kakiku! Aku janji! Selamat jalan Bogiku!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun