"Bogi!" panggilku ulang. Sambil tetap manatap bayangan hitam itu.
Daarr..! Tiba-tiba seperti ada letusan kecil saat Bogi meloncat menerjang sosok hitam itu. Bogi tampak terpental ke belakang.
Sosok hitam itu bergoyang-goyang. Mengecil, dari bagian kepala lebih dulu, kemudian diikuti tubuhnya. Semakin mengecil perlahan sebelum akhirnya lenyap seperti asap.
Apakah itu tadi? Aku amati Bogi masih menghadap ke arah pojokan. Seandainya dia akan bertarung dengan sosok hitam itu, aku pun tidak akan tinggal diam.
"Bismillah! Jangan takut, Bog! Aku akan membantumu menghadapi setan itu!" seruku, sambil diam-diam meraih gagang sapu. Aku membaca Ayat Kursi dalam hati.
Bogi lalu menghampiriku. Seperti biasanya dia merebahkan tubuhnya di lantai, dengan kepala berbantal kakiku. Berarti keadaan sudah kembali normal. Dia baik-baik saja.
Tapi tidak berselang lama dia bangun lagi. Tampak gelisah. Lalu melompat ke atas rak buku. Berbaring di atasnya. Aneh. Aku belum pernah lihat ia tidur di tempat itu.
Keesokan harinya ketika aku ke tempat jemuran. Aku lihat Bogi masih tidur di tempat yang sama, di atas rak buku. Aku panggil sambil mengisi makanan di wadah khusus untuknya. Biasanya jam segitu waktunya ia sarapan.
Ia tidak bangun. Ketika aku hampiri dan mengelus tubuhnya. Ia diam saja. Aku coba angkat, ternyata tubuhnya telah kaku. Ia mati. Apakah lukanya mengakibatkan infeksi? Kenapa ia mendadak mati?
Pusaka Bogi telah pergi untuk selama-lamanya. Aku baru bisa menagkap makna dari tatapan matanya belakangan, bahwa ia seolah-olah ingin mengucapkan perpisahan. Maafkan aku yang tidak mampu merawatmu dengan baik. Tunggu aku di pintu akhirat ya! Aku akan biarkan kamu berlama-lama bersandar di kakiku! Aku janji! Selamat jalan Bogiku!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H