Ketika pulang, Bogi biasanya sudah menunggu di teras. Aku tahu ia jarang pergi jauh. Makanya ketika malam itu aku tidak menjumpainya, menyelinap sedikit rasa was-was. Aku lihat mangkuknya sudah kosong. 'Apa dia lapar dan mencoba mencari makan?' Namun ia bukan kucing liar yang bisa berburu mangsa. Ia terbiasa dengan makanan pabrikan. Jadi aku yakin dia mungkin sedang bermain jauh dan lupa waktu. Malam itu aku biarkan pintu terbuka, biar nanti ketika pulang dia bisa langsung masuk rumah. Tapi ternyata dia tidak pulang malam itu.
'Bogi, apakah kamu sudah mulai kenal kasmaran, dan di luar sana sedang asyik berpacaran? Baiklah, selamat ya! Kamu sudah jadi kucing dewasa!'
Keesokan harinya dia belum pulang. terpaksa aku mencarinya dan bertanya-tanya ke anak-anak yang main sepedaan.
"Aku pernah lihat, Bogi berkelahi sama Budel, Om!" tutur seorang anak tetangga.
Si Budel, kucing tak memiliki ekor itu adalah kucing preman yang sudah bertahun-tahun berkuasa di wilayah perumahan. Aku sempat mengkhawatirkan nasib Bogi. Dia tidak seliar dan sebrutal Budel, yang punya perawakan kekar dan sangar untuk modal bertarung. Bogi adalah kucing yang masih belia, murah hati dan terlalu lembut untuk berhadapan dengan preman garang itu.
Setelah dua hari, pagi-pagi Bogi mendadak pulang dengan sebelah kaki kiri depan pincang. Wajahnya kuyuh, seolah-olah habis melakukan perjalanan jauh. Mungkin dia takut aku akan memarahinya, jadi langsung merebahkan tubuhnya di kaki, seperti kebiasaannya ketika bertemu.
Aku tunggu dia mengeong minta makan, baru aku bawa ke belakang dan memberinya makanan. Ia tampak sangat lapar. Aku periksa kakinya yang sedikit bengkak, dan beberapa tempat di punggung dan leher yang bulunya lepas. Ada luka bekas cakaran. Jelas menunjukkan bahwa ia telah mengalami pertarungan sengit.
"Maafkan aku yang membuatmu harus mengalami ini, Bogi!" Akhirnya aku memutuskan untuk tidak lagi membiarkannya di luar rumah. Aku tidak ingin dia nanti salah pergaulan. "Kamu masih terlalu muda untuk menghadapi preman kawakan itu!"
Setelah sekitar lima hari, ia mulai bisa berjalan normal. Meskipun bengkaknya masih tinggal sedikit. Bulu-bulu baru juga tumbuh menutupi luka yang mengering. Tapi menurutku ia tidak selincah dulu.
Suatu ketika aku sedang memperhatikan dia makan, tiba-tiba dia menegakkan kepala, lalu dengan cepat berlari ke jendela, memandang ke luar dari kaca. Ia tahu tidak ada jalan untuk bisa keluar rumah.
"Pus Bogi, kamu masih sakit!" kataku, "Tidak boleh keluar!"