Mohon tunggu...
TRI HANDOYO
TRI HANDOYO Mohon Tunggu... Novelis - Novelis

Penulis esai, puisi, cerpen dan novel

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Ikrar Sang Pendekar (3): Duka Menjelang Senja

2 Juni 2024   17:29 Diperbarui: 9 Juni 2024   05:23 789
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh: Tri Handoyo

"Kebesaran Gajah Mada dapat dilihat dengan menyaksikan hasil jerih payahnya menyatuhkan Nusantara. Bersatu di bawah naungan Majapahit!" tutur Eyang Dhara, "Wilayah yang meliputi sebagian besar Asia Tenggara!"

"Seberapa luas itu, Eyang?"

"Sangat luas!"

"Sepuluh kali lipat Pulau Jawa?" tanya bocah kecil itu dengan mata membulat lebar.

"Masih lebih luas!"

"Ha..!" Tak terbayangkan betapa luasnya wilayah itu bagi Japa. Ia menyimak semua cerita Eyang bagaikan tanah kering kerontang menyerap air.

"Apabila kita hendak meneliti kebesaran Majapahit, maka dengan serta merta kita harus mempelajari bagaimana kerajaan itu pada awalnya terbentuk. Sejarah Gajah Mada merupakan sejarah riwayat Majapahit, dan bagaimana kerajaan itu menjadi besar di dalam genggamannya!"

Petang itu mereka berdua duduk menghadap api unggun. Sambil membolak-balik singkong di atas bara, mengalirlah cerita panjang sejarah Gajah Mada.

***

Rasanya sudah berjam-jam Dewi Andongsari mencari jalan keluar, sialnya tak menemukan tanda-tanda bahwa ia akan bisa keluar dari rimba belantara itu. Langkah kaki mulai lelah dan dadanya terasa sesak.

Ia ingin istirahat untuk mengatur nafas sejenak, tapi tiba-tiba terdengar sebuah suara ganjil datang dari kegelapan, kontras sekali dengan kesunyian yang mencekam.

"Tok..! Tok..!" bunyi suara yang seolah menghantui.

Dewi Andongsari terjaga. Jantungnya berdegup kencang. 'Syukurlah,' batinnya. Hanya sebuah mimpi. Telinganya mendengar suara orang di luar mengetuk pintu. Cukup keras.

"Tok..tok..tok..!"

Pepohonan masih merunduk kedinginan dalam dekapan kabut pagi. Dewi Andongsari sebetulnya tidak tega membangunkan suaminya, tapi kemudian, "Kangmas.., kangmas..."

"Hm.., iya?"

"Ada orang ngetuk pintu di depan!"

"Siapa orang yang tidak tahu adab itu, bertamu sepagi ini?" gumam Dipa, lalu menyuruh istrinya untuk membuka pintu sementara ia mengenakan baju.

Tamu itu Ki Supo, menyampaikan kabar bahwa saat itu juga Ki Dipa harus berangkat ke kota. Kerajaan dalam keadaan genting. "Ini perintah langsung dari Prabu Kertanegara!"

"Apa yang terjadi, Ki?"

"Kemarin sore seorang tilik sandi melaporkan ada pasukan Jayakatwang yang sedang bergerak menuju Singhasari! Menurut perkiraan mereka akan tiba di batas kota pagi ini!"

"Apa?" seru Dipa sangat sulit mempercayai pendengarannya itu, "Seriuskah?"

"Iya. Serius!"

Dengan cepat, begitu tersiar kabar pasukan Jayakatwang dari Gelang-gelang akan menyerang, semua pasukan diwajibkan berangkat ke ibu kota. Termasuk pasukan yang baru mendapat giliran libur. Dipa adalah salah seorang pasukan dibawah pimpinan Pangeran Wijaya, yang menerima tugas untuk menghadang serangan musuh yang mengancam kerajaan.

Mendengar itu, Dewi Andongsari tidak mampu membendung air matanya. Baru beberapa saat ia terjaga dari mimpi buruk, kini suaminya harus berangkat ke medan perang.

Ki Dipo dengan cepat berganti pakaian prajurit. Saat melirik istrinya berurai air mata, ia berkata lembut, "Nanti minta Mbok Ra untuk sementara tinggal di sini. Biar ada yang menemanimu. Jaga baik-baik kandunganmu! Jangan terlalu capek!"

"Kangmas, firasatku mengatakan ada sesuatu yang buruk bakal terjadi!"

Dipa menghela nafas panjang. "Doakan semuanya akan baik-baik saja!"

***

Berdasarkan Batu Bersurat di Desa Butak, sebuah prasasti yang isinya mengabadikan kisah bahwa pada suatu ketika, Prabu Kertanegara diserang Jayakatwang. Jayakatwang yang disebut dari negeri Gelang-Gelang bermaksud hendak menghancurkan kerajaan Singhasari dan tentu saja beserta semua penghuninya.

Begitu seorang Telik Sandi mengabarkan akan kedatangan musuh, Kertanegara segera mengutus kedua menantunya Dyah Wijaya dan Ardharaja, untuk menghadang mereka di batas kota. Musuh masih dari kerabat sendiri yang sama sekali tidak pernah diperhitungkan.

Di kampung Kedung Peluk, kedua belah pihak bertemu dan perang pun terjadi. Karena pihak musuh terdesak, mereka akhirnya memilih lari. Pasukan Wijaya dan Pasukan Ardharaja berpencar mengejar, sampai ke kampung Lembah Batang dan Kepulungan.

Belakangan baru disadari bahwa serangan itu hanyalah sebuah tipu muslihat belaka, bertujuan untuk memecah kekuatan Singhasari. Apalagi di saat yang sama sebagian pasukan Singhasari tengah melakukan perjalanan ke Sumatera, dalam lawatan yang disebut ekpedisi Pamalayu.

Dalam Prasasti Kudadu dan Prasasti Penanggungan, menyebutkan bahwa Jayakatwang pada saat memberontak masih menjabat sebagai Bupati Gelang-Gelang (Madiun). Prasasti itu juga menyebutkan nama istri Jayakatwang adalah Turukbali putri Seminingrat (Wisnu Wardhana).

Jayakatwang yang juga sering disebut Jayakatong atau Aji Katong, adalah keturunan Kertajaya, raja terakhir Kadiri. Jayakatwang memiliki putra bernama Ardharaja, yang menjadi menantu Prabu Kertanagara, Raja Singhasari. Jadi, hubungan antara Jayakatwang dengan Kertanagara sebenarnya adalah sepupu, sekaligus ipar dan besan.

Jayakatwang mengirim pasukan kecil yang dipimpin Jaran Guyang, yang sesungguhnya adalah pasukan terlatih khusus untuk meloloskan diri. Keahlian lain pasukan itu adalah mengelabuhi dan mengecoh lawan.

Pasukan kedua, inilah pasukan tempur yang sesungguhnya, yang disiapkan untuk langsung menyerang pusat Istana Singhasari, datang dari arah selatan. Pasukan elite ini dipimpin oleh Patih Mahisa Mundarang.

Keganasan dan kehebatan ilmu silat prajurit Singhasari sudah kesohor ke seluruh penjuru negeri, akan tetapi pasukan Mahisa Mundarang mampu mengimbangi dan melancarkan serangan yang tidak kalah hebatnya. Suara senjata-senjata yang saling berbenturan menyemburatkan api dan terdengar begitu menggetarkan hati. Pertempuran sengit terjadi di setiap jengkal tanah pelataran sekeliling istana.

Pasukan Wijaya dan Ardharaja masih mengejar sisa-sisa musuh yang seolah-olah kabur. Sepertinya saat itu sudah tidak ada lagi yang tersisa, karena berpencar. Akan tetapi, ketika sampai di kampung Rabut Carat, tiba-tiba muncul dari arah timur panji-panji musuh berwarna merah putih berkibar-kibar.

Waktu itu Ardharaja dan para pasukan yang dipimpinnya ternyata telah memilih untuk bergabung dengan pasukan Gelang-Gelang. Pasukan Wijaya semakin terdesak hebat, karena di mana-mana datang lawan menghadang.

Di wilayah Kulawan atau disebut juga Kembang Sari, musuh berhasil memukul mundur Wijaya. Setelah beberapa hari dalam pengejaran musuh, pasukan Wijaya semakin berkurang, karena banyak yang terbunuh dan lari menyelamatkan diri.

"Kita telah kalah. Untuk sementara sebaiknya kita berpencar," kata Wijaya dihadapan pasukannya, "Selamatkan nyawa kalian. Saya berjanji, suatu hari kelak akan mempersatukan kekuatan kita kembali!"

Sebelum berpencar, dalam suasana berat hati, pasukan setia itu mengucapkan ikrar bahwa sampai kapan pun mereka akan tetap menganggap Pangeran Dyah Wijaya sebagai pimpinan mereka. Akhirnya hanya tinggal 12 orang yang masih tetap menyertai Sang Pangeran.

Letih dan luka membuat Wijaya akhirnya harus sembunyi di daerah Kudadu, tempat di mana ia ditolong oleh kepala kampung di sana. Oleh karena itu, kepala kampung itu kelak diberi hadiah ketika Wijaya naik tahta menjadi Raja Majapahit, dengan mendirikan Prasasti Kudadu (1294 M).

***

Beberapa hari kemudian ramai beredar kabar bahwa kerajaan Singhasari telah hancur. Raja beserta seluruh keluarganya dibantai dan dibakar di dalam istana. Kejadian yang mengenaskan itu membuat rakyat Singhasari dirundung kesedihan yang sangat mendalam.

Duka menjelang senja. Dewi Andongsari menerima kabar bahwa pasukan suaminya di bawah pimpinan Wijaya, telah kalah. Suaminya gugur di medan perang. Firasat buruk yang ia rasakan sebelum suaminya berangkat telah terbukti benar.

Dengan hati hancur Nyi Andongsari kemudian memutuskan untuk pulang ke kampung halamannya di Mada, Lamongan. Meskipun kedua orang tuanya sebagai tempat berlindung telah tiada, tapi ia memiliki banyak kerabat di desa itu.

Ia sadar dan siap menerima jika nantinya akan mendapat perlakuan kurang mengenakkan dari para kerabatnya, karena dianggap telah keluar dari agama leluhur dan mengikuti agama suaminya.

Meskipun Islam telah menyebar sejak abad ke X, yang dibuktikan dengan penemuan Prasasti nisan Fatimah Binti Maimun (1082), yang bertuliskan huruf Arab Kufi, di Leran Gresik, tapi agama Islam masih menjadi agama minoritas di tanah Jawa.

Dewi Andongsari juga menyadari bahwa dirinya sedang dalam kondisi hamil tua, ini pasti akan menambah beban bagi keluarga yang ditumpanginya. Ia juga menerima seandainya dianggap bersalah karena menikah dengan lelaki yang umurnya pendek.

Ia perempuan yang luar biasa tabah dan sangat tahu diri, sehingga bersedia membantu bekerja di ladang dan tidak mengambil makanan sebelum semua anggota keluarga di rumah itu makan terlebih dulu.

Jika ia tidak kebagian makanan, ia akan pergi ke ladang dan dengan sembunyi-sembunyi makan dedaunan yang ia jumpai di sana. Ia terpaksa melakukan semua itu semata-mata demi bayi yang berada dalam kandungannya. Bayi yang paling dicintainya melebihi apapun di dunia ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun