Mohon tunggu...
TRI HANDOYO
TRI HANDOYO Mohon Tunggu... Novelis - Novelis

Penulis esai, puisi, cerpen dan novel

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Ikrar Sang Pendekar (3): Duka Menjelang Senja

2 Juni 2024   17:29 Diperbarui: 9 Juni 2024   05:23 789
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di kampung Kedung Peluk, kedua belah pihak bertemu dan perang pun terjadi. Karena pihak musuh terdesak, mereka akhirnya memilih lari. Pasukan Wijaya dan Pasukan Ardharaja berpencar mengejar, sampai ke kampung Lembah Batang dan Kepulungan.

Belakangan baru disadari bahwa serangan itu hanyalah sebuah tipu muslihat belaka, bertujuan untuk memecah kekuatan Singhasari. Apalagi di saat yang sama sebagian pasukan Singhasari tengah melakukan perjalanan ke Sumatera, dalam lawatan yang disebut ekpedisi Pamalayu.

Dalam Prasasti Kudadu dan Prasasti Penanggungan, menyebutkan bahwa Jayakatwang pada saat memberontak masih menjabat sebagai Bupati Gelang-Gelang (Madiun). Prasasti itu juga menyebutkan nama istri Jayakatwang adalah Turukbali putri Seminingrat (Wisnu Wardhana).

Jayakatwang yang juga sering disebut Jayakatong atau Aji Katong, adalah keturunan Kertajaya, raja terakhir Kadiri. Jayakatwang memiliki putra bernama Ardharaja, yang menjadi menantu Prabu Kertanagara, Raja Singhasari. Jadi, hubungan antara Jayakatwang dengan Kertanagara sebenarnya adalah sepupu, sekaligus ipar dan besan.

Jayakatwang mengirim pasukan kecil yang dipimpin Jaran Guyang, yang sesungguhnya adalah pasukan terlatih khusus untuk meloloskan diri. Keahlian lain pasukan itu adalah mengelabuhi dan mengecoh lawan.

Pasukan kedua, inilah pasukan tempur yang sesungguhnya, yang disiapkan untuk langsung menyerang pusat Istana Singhasari, datang dari arah selatan. Pasukan elite ini dipimpin oleh Patih Mahisa Mundarang.

Keganasan dan kehebatan ilmu silat prajurit Singhasari sudah kesohor ke seluruh penjuru negeri, akan tetapi pasukan Mahisa Mundarang mampu mengimbangi dan melancarkan serangan yang tidak kalah hebatnya. Suara senjata-senjata yang saling berbenturan menyemburatkan api dan terdengar begitu menggetarkan hati. Pertempuran sengit terjadi di setiap jengkal tanah pelataran sekeliling istana.

Pasukan Wijaya dan Ardharaja masih mengejar sisa-sisa musuh yang seolah-olah kabur. Sepertinya saat itu sudah tidak ada lagi yang tersisa, karena berpencar. Akan tetapi, ketika sampai di kampung Rabut Carat, tiba-tiba muncul dari arah timur panji-panji musuh berwarna merah putih berkibar-kibar.

Waktu itu Ardharaja dan para pasukan yang dipimpinnya ternyata telah memilih untuk bergabung dengan pasukan Gelang-Gelang. Pasukan Wijaya semakin terdesak hebat, karena di mana-mana datang lawan menghadang.

Di wilayah Kulawan atau disebut juga Kembang Sari, musuh berhasil memukul mundur Wijaya. Setelah beberapa hari dalam pengejaran musuh, pasukan Wijaya semakin berkurang, karena banyak yang terbunuh dan lari menyelamatkan diri.

"Kita telah kalah. Untuk sementara sebaiknya kita berpencar," kata Wijaya dihadapan pasukannya, "Selamatkan nyawa kalian. Saya berjanji, suatu hari kelak akan mempersatukan kekuatan kita kembali!"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun