Oleh: Tri Handoyo
Dari perbincangan santai dengan dua sesepuh Satupena Jawa Timur, tertuanglah tulisan ini. Kedua tokoh tersebut adalah Bapak Slamet HK (ketua dewan penasehat Satupena) dan Bapak Akaha TA (ketua Satupena). Beliau berdua adalah dedengkot literasi di Jawa Timur. Tentu saja ini penilaian subyektif saya. Siapakah orang yang bisa punya pemikiran benar-benar obyektif? Jadi mohon dimaklumi.
Inilah salah satu topik obrolan santai di serambi rumah, yakni mengenai 'pikiran'. Pikiran adalah identitas manusia yang paling sejati. Oleh karena itu, berupaya untuk memiliki pikiran yang mampu bekerja secara merdeka, independen dan obyektif, serta bebas dari segala bentuk setting dan framing, merupakan perjuangan hidup yang sejati pula.
Schopenhauer, filusuf Jerman pada masa lampau, pernah mendalilkan bahwa logika itu hanya kulit luar dari sesuatu yang lebih dalam dan luas. Apa yang lebih dalam dan luas itu? Dia menyebutnya itulah hati.
Dari hasil riset para pakar neurosains dewasa ini, rupanya dugaan Schophenhauer itu tepat. Tempat logika hanya bagian tipis di prefrontal lobe. Tempat untuk menganalisa, meneliti, memilah, menimbang, dan memutuskan sesuatu itu, hanya di bagian lapisan luar dari otak secara keseluruhan.
Nah, dalam filsafat Jawa, seperti yang diuraikan Pak Slamet, ada tiga tingkatan pemikiran yang bukan hanya sebatas logika. Selaras dengan neurosains, sebagian besar otak kita, di bagian tengah, disebut parietal lobe. Di situlah peran segala rasa dan emosi bertempat, yang disebut sebagai kalbu. Jadi bukan di hati atau di jantung. Apabila otak itu adalah hardware, maka pikiran dan perasaan itu adalah software-nya. Keduanya adalah produk dari otak.
Berpikir kritis rupanya sudah menjadi tradisi para leluhur kita sejak dahulu kala. Mengolah rasa itu sama halnya dengan mengolah pikiran, sehingga bisa melahirkan kesadaran bahwa 'rasa' menjadi urusan yang jauh lebih penting ketimbang logika.
Sialnya, pikiran pun pada akhirnya menjadi arena pertarungan bagi dirinya sendiri. Imam Ghazali pun menasehatkan agar meragukan hasil pikiran. Dalam neurosains terbukti bahwa pikiran itu memang mudah sekali dimanipulasi. Baik dengan cara disugesti, dihipnotis, digendam, atau dirangsang dengan obat-obatan kimiawi seperti narkoba misalnya.
Dengan demikian, pokok segala persoalan kehidupan itu adalah di pikiran, dan oleh karena itu, pikiran menjadi identitas manusia yang paling hakiki. Diawali dengan meragukan segala sesuatu, dengan berani dan sungguh-sungguh, maka diharapkan manusia akan mampu mencapai, atau paling tidak mendekati kebenaran sejati.
Pak Slamet, pelukis dan pemilik OBS (Omah Budaya Slamet) di Batu itu juga menyinggung Rene Descard, filusuf yang populer dengan motto 'Cogito ergo sum'. Saya berpikir maka saya ada. Jadi manusia yang tidak berpikir pada hakikatnya dia tidak ada. Eksistensinya diragukan, tidak penting atau tidak bermakna.
Kenapa pikiran pun pada akhirnya diragukan? Sebab tidak ada jaminan bahwa hasil dari pikiran itu pasti benar. Apalagi memutlakan sesuatu sebagai kebenaran tunggal. Pikiran bisa bias, ambigu, nisbi dan bahkan sesat. Namun demikian, yang bertugas untuk meragukan dan kemudian mampu meluruskan itu juga pikiran, tapi disebut akal budi yang diyakini bersumber dari hati nurani atau kalbu.
Dahulu kala, seorang anak yang bapaknya hanya musisi jalanan, yang bernama Galileo, pernah meruntuhkan hukum Aristotel. Aristotel yang disebut Sang Guru Utama, yang hukum-hukumnya menjadi dogma kaum agamawan selama ratusan tahun, tiba-tiba dijungkir-balikan oleh anak seorang pengamen bandel itu.
Galileo berani mendakwahkan bahwa bumi bukan pusat tata surya, bahwa bumi beredar mengelilingi matahari, serta bentuk bumi bukan datar, melainkan bulat. Dia langsung dicap sesat kala itu.
Salah satu hukum Aristotel yang menyatakan bahwa jika dua benda dijatuhkan pada ketinggian yang sama, maka benda yang lebih berat akan menyentuh bumi lebih dulu. Itu seperti sesuatu yang pasti benar meskipun tanpa ada pembuktian.
Galileo meragukan itu, dan kemudian melakukan eksperimen di depan publik. Ia berhasil membuktikan bahwa hukum Aristotel keliru. Dua logam berbeda bobot yang dijatuhkan dari ketinggian yang sama ternyata menyentuh bumi secara bersamaan.
Pihak agamawan geram. Mereka menuduh Galileo telah meruntuhkan wibawa gereja, sehingga memutuskan menghukum penjara rumah kepada ilmuwan jujur itu sampai akhir hayatnya.
Copernicus tidak seberani Galileo. Maka ketika dia diminta untuk mencabut pernyataan-pernyataanya, ia penuhi. Demi mendapat pengampunan, dia menyatakan bertaubat. Sementara Galileo yang bandel, yang dicap melawan Tuhan, menjadi tumbal bagi Abad Kegelapan.
Kembali ke laptop, yang ingin saya sampaikan adalah mengenai hal meragukan pikiran. Hukum Aristotel niscaya akan tetap menjadi dogma seandainya tidak ada orang seperti Galileo yang meragukan pikiran. Sekalipun hukum itu sudah mapan dan bercokol kuat menjadi keyakinan, yang sialnya dikaitkan lagi dengan keimanan dan firman Tuhan, ternyata salah besar.
Itu menjadi awal lagirnya The Dark Age. Akan tetapi kaum cendikiawan tidak menyerah, hingga pada akhirnya kebenaran akal budi yang menang. Gelombang kesadaran baru melanda Eropa. Kegelapan sirna, lahirlah renaisans, illumination, aufklarung, yang mengawali lahirnya Abad Pencerahan.
Di dalam filsafat Jawa, 'Mulat sarira', yang menjadi judul buku Pak Slamet, yakni menjelaskan bahwa untuk introspeksi, melihat ke dalam diri sendiri, itu bukan sekedar melihat. Tapi dibutuhkan upaya sungguh-sungguh, dan untuk itu dibutuhkan keberanian, 'Hangrasa wani'.
Berani tidak ketika melihat ke dalam diri dengan kesungguhan hati, ternyata menemukan banyak kerak, keyakinan yang karatan, atau kepercayaan yang salah kaprah. Kemudian berani tidak untuk membongkar, membenahi atau merenovasinya. Karena hanya dengan itulah maka introspeksi baru membuahkan hasil yang positif.
Topik lain yang menjadi ruh dalam obrolan bersama dua tokoh Satupena itu adalah mengenai 'Imajinasi'. Pikiran yang otomatis meliputi segala pernik misteriusnya, yaitu seperti persepsi dan Imajinasi. Meskipun seolah disinggung sambil lalu, tapi Imajinasi justru yang paling saya garis bawahi, seperti air setelah diendapkan dalam durasi kontemplasi.
Secara umum, imajinasi diartikan sebagai daya pikir yang membentuk gambaran tentang sesuatu, atau gambaran yang bisa dihasilkan, yang tidak diperoleh dari pengalaman empiris atau tidak terdapat di realitas lapangan.
Contoh gampangnya, seseorang berimajinasi melihat sebuah tanaman melati, dengan banyak jenis bunga yang tersusun. Uniknya bunga-bunga melati itu beraneka warna, ada biru, hijau, ungu, merah, hitam, yang dalam realitasnya tidak ada.
Ada seorang murid Michael Angelo, yang telah lama belajar teknik memahat dan lama mengamati proses pemahatan. Ia juga memiliki segala peralatan yang diperlukan untuk memahat. Namun ia begitu heran menyaksikan sang guru.
Ada batu besar, yang setelah dipahat oleh sang maestro itu, menjadi patung kuda lengkap dengan penungganggnya. Sedangkan batu pualam yang lain, setelah dipahat menjadi seorang ibu yang sedang menyusui bayi.
Yang sangat mengherankan bagi si murid, bagaimana gurunya itu bisa tahu bahwa di dalam batu ada penunggang kuda, dan di dalam batu yang lain ada ibu menyusui bayi.
Itulah Imajinasi, sesuatu yang bisa dimengerti dan dipahami dengan baik, tapi tidak mungkin bisa ditiru. Belakangan ini dunia dibuat terkagum-kagum oleh perkembangan Artificial Intelligence, tapi saya yakin tidak akan ada Artificial Imagination. Itulah keajaiban imajinasi. Itulah keunggulan imajinasi dibanding inteligensi. Imajinasi yang kompleks, melibatkan nurani, empati, emosi, intuisi, tak akan pernah tergantikan oleh mesin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H