Oleh: Tri Handoyo
Tepat tengah malam aku terjaga. Ingin buang air kecil. Dengan gontai kulangkahkan kaki menuju kamar mandi yang berjarak sekitar sepuluh meter. Jarak yang lumayan jauh jika ditempuh dalam kondisi rasa kantuk luar biasa.
Setelah menunaikan tuntutan alam, sayup-sayup terdengar suara tangisan anak kecil. Dengan memusatkan perhatian, akhirnya aku yakin suara itu berasal dari rumah sebelah. Sejak terbangun tadi bisa jadi sudah ada, tapi saat itu dikarenakan kesadaranku belum sepenuhnya pulih, suara aneh itu jadi lolos dari perhatian.
Kini, setelah fokus, suara tangisan pilu itu terdengar lebih jelas. Menimbulkan rasa penasaran. Yang kutahu, rumah sebelah itu sudah lama kosong. Selain pagarnya dirambati tanaman liar yang menyemak tak beraturan, di pintu pagar juga terdapat tulisan agak pudar, "Dikontrakan".
Aku segera keluar dan cepat-cepat kembali ke kamar tidur. Tangisan di tengah keheningan malam itu terasa begitu mistis, hingga membuat bulu tengkuk meremang.
Dari dalam kamar aku mulai mendengar ada suara-suara lain, seperti orang yang menggeser benda, suara benda jatuh, dan langkah kaki. Sekarang aku berani menyimpulkan bahwa pasti ada orang yang telah menempati rumah sebelah. Aku merasa lega.
Keesokan paginya, ketika mau berangkat kuliah, aku sempatkan melihat sejenak situasi rumah sebelah, memastikan bahwa memang ada yang menempati. Rumah di gang buntu yang pagarnya separuh terbuka, tampak seorang perempuan muda sedang menyuapi anaknya. Anak mungil berwajah menggemaskan itu duduk di kursi dorong. Mereka berdua sama-sama menatapku dengan pandangan aneh.
Sesuai dengan dugaanku. Mereka pasti penghuni yang menjadi tetangga baru. "Selamat pagi! Permisi Mbak!"
"Selamat pagi!" sahut ibu muda dengan tersenyum ramah.
Kataku dengan sikap seramah mungkin seperti yang ia tampilkan, "Saya tinggal di rumah sebelah. Maaf, saya tidak tahu jika rumah ini sudah ditempati, makanya semalam ketika mendengar ada suara anak kecil menangis saya sempat kaget!"
"Oh maaf jika mengganggu ya, Mas!"
"Oh, tidak apa-apa, Mbak. Apa anaknya sakit?" Aku menatap anak kecil yang sedang mengulum makanan dalam mulutnya.
"Saya tidak tahu. Badannya sih tidak panas. Tapi sejak ke sini dia rewel! Nangis terus!"
"Sejak kapan pindah ke sini?"
"Baru kemarin, Mas!"
"Sekarang anak mbak sepertinya sudah baikan ya?"
"Iya, tapi kalau di dalam rumah suka rewel! Selalu minta ke luar sambil nunjuk-nunjuk ke arah jalan. Di luar baru gak nangis!"
"Mungkin dia suka udara segar!"
"Betul. Oh iya, Mas, barangkali tahu informasi di sekitar sini ada orang yang bisa dimintai tolong untuk bantu-bantu di rumah? Cuma bantu nyuci dan bersih-bersih. Juga buat teman saya, soalnya suami saya pulang kerjanya sering sampai malam!"
"Waduh, maaf, Mbak, saya tidak tahu! Saya sendiri juga pendatang di sini!"
"Oh, saya pikir mas warga asli sini!"
***
Sepulang dari kampus, tiba di tempat kos tepat adzan dhuhur berkumandang. Aku berniat menengok rumah tetangga baru. Entah penasaran atau lantaran kangen melihat ibu mudah yang manis dan anggun itu.
Di teras, tampak seorang perempuan setengah baya dengan seorang gadis kecil yang duduk di pangkuan. Ibu itu seperti sedang menyanyikan sebuah tembang. Entah di mana aku merasa pernah dengar tembang itu. Tapi yang jelas itu tembang era masa lampau, masa kanak-kanakku.
Ibu di teras itu berpenampilan seperti orang jaman dulu, baju kebaya dan rambut digelung ke belakang. Barangkali ia pembantu rumah tangga. Berarti ibu muda itu sudah mendapatkan pembantu. 'Syukurlah', batinku ikut senang.
Begitu aku balik badan ke tempat kos, sebuah sepeda motor meluncur datang dan berhenti di depan rumah. Seorang perempuan muda yang duduk di belakang turun, dengan anak kecil terbungkus selimut di gendongannya.
Sambil tersenyum ke arahku, ibu muda itu berkata, "Mas, kenalkan ini suami saya!" Tangan kanannya memegang punggung lelaki yang masih di atas motor. "Mas ini tetangga sebelah kita! Yang tadi aku ceritakan!" ucapnya kepada si suami.
Lelaki itu mematikan mesin dan turun untuk berjabat tangan. Kami saling memperkenalkan diri. Dia lelaki yang ramah. Sama persis seperti istrinya.
Kataku mencoba mencari topik pembicaraan, "Syukurlah, mbak sudah dapat pembantu ya!"
"Belum, Mas. Ini tadi baru cari informasi ke beberapa warung di sini, siapa tahu mereka punya kerabat yang mau!"
"Lho!" aku segera berpaling ke arah teras, di mana tadi ada perempuan memangku gadis kecil. Teras itu kini sepi. Hanya terdapat dua kursi kosong. Angin dingin tiba-tiba berhembus menerpa wajahku. Hanya di wajah. Angin yang aneh!
"Ada apa, Mas?"
"Tidak apa-apa. Saya pikir.., maaf tadi sepertinya ada ibu dengan gadis kecil di teras!"
Si suami melontarkan pertanyaan dengan mimik muka khawatir, "Ibu dan gadis kecil?"
"Eh.., em..maaf, mungkin penglihatan saya yang salah. Saya mau permisi dulu!" saya segera melangkah pergi, meninggalkan kedua orang yang tampak keheranan dengan sikapku.
***
Sejak rumah sebelah dihuni penyewa, kejadian aneh mulai timbul. Terutama di malam hari. Di tengah malam yang sunyi dan saat kegelapan dikuak oleh sinar rembulan, tangisan misterius dari rumah sebelah terdengar. Hadir tepat di atas jam dua belas. Suaranya lirih memilukan. Seakan-akan permintaan belas kasihan.
Karena didorong oleh rasa penasaran yang memuncak, keesokan hari aku berniat bertamu ke tetangga baru. Mungkin anaknya sakit. Â Siapa tahu ada bantuan yang bisa aku berikan.
Saat masih pagi, aku sudah tiga kali mondar-mandir di depan rumah yang pintunya masih tertutup rapat. Bertanya-tanya dalam hati, sudah seminggu kenapa tanaman liar yang menyemak di halaman, dan bahkan ada yang menjalari pagar belum juga dibersihkan. Yang lebih janggal lagi, papan triplek tulisan "Dikontrakan", masih saja dibiarkan tergantung di pintu pagar.
Lelah berharap pintu rumah terbuka, akhirnya kuputuskan untuk membuka pagar dan mengetuk pintu. Namun aku dikejutkan oleh sebuah gembok yang dipasang dari luar. Artinya penghuninya sedang tidak berada di dalam rumah.
Baiklah. Batal bertamu, aku pergi cari sarapan di warung langganan, di ujung jalan. Semua kejadian pasti sudah ditetapkan oleh yang maha kuasa. Benar-benar diluar rencana, aku bertemu lelaki tetangga baru yang menyewa rumah sebelah tempat kos.
"Kami putuskan pindah, Mas!" ujarnya ketika aku menyampaikan niatku untuk bertamu tadi pagi. "Ya sejak mas bilang melihat ibu dan seorang gadis kecil!"
"Lho memangnya kenapa, Mas?" tanyaku merasa heran.
"Ibu dan gadis itu yang juga pernah dilihat istriku di kamar belakang, tapi kemudian lenyap. Hanya suara lagu yang dinyanyikannya masih terdengar sayup-sayup menjauh. Pernah juga di tengah malam aku mendengar suara orang menangis di kamar mandi, tapi waktu aku dorong pintunya ternyata kosong. Tiba-tiba ada perempuan muncul di dapur, terus berjalan menuju tempat jemuran dan menghilang di kegekapan!"
Untuk beberapa saat kami sama-sama membisu. Di dalam benak aku semakin dibuat terkejut. Apabila dia mengaku pindah sejak seminggu yang lalu, kenapa aku masih sering mendengar suara tangisan.
"Rumah itu angker, Mas. Kami terpaksa harus pindah karena aku kasihan sama istri dan anakku!" sambungnya, "Iya kalau pas ada aku di rumah sih gak apa-apa!"
Bicara tentang dunia makhluk halus adalah bicara tentang sebuah kasus yang tidak bisa dibuktikan. Segala klaim tidak memiliki bukti nyata. Tidak bisa di konfirmasi dan diverifikasi. Itulah kenapa banyak orang yang menganggap kisah semacam itu hanya bualan belaka.
***
Sampai suatu ketika, secara kebetulan aku bertemu dengan pemilik rumah angker itu. Bapak itu datang melihat rumah dan bilang dalam waktu dekat mau merenovasinya.
"Padahal bangunannya masih kelihatan bagus, Pak!" menurutku.
"Sebetulnya rumah ini mau saya jual. Tapi sudah hampir dua puluh tahun belum laku juga!" tuturnya, "Sebetulnya banyak juga yang menanyakan, tapi entah kenapa selalu batal!"
Entah kenapa, ia kemudian cerita masa lalunya bahwa ia merasa begitu terpukul karena istrinya tewas dalam sebuah kejadian tragis, bunuh diri bersama anaknya dengan cara minum racun serangga.
Tidak lama berselang, ia mulai bisa bangkit ketika berjumpa dengan seorang perempuan yang bisa menggantikan istrinya yang tewas. Ia menikah dan kemudian berniat menjual rumah itu karena istri barunya tidak mau tinggal di situ.
Pada malam harinya, saat mendung menggantung tepat di atas langit, namun hujan belum juga turun, pikiranku sedang dipenuhi pertanyaan yang menggumpal di benak. Yaitu pertanyaan apa yang menyebabkan ibu pemilik rumah angker itu memutuskan untuk bunuh diri? Kenapa ia harus membawa putrinya ikut menjemput kematian?
Saat hujan mulai mengguyur, tubuhku mendadak terasa begitu ringan, seakan keberadaan gravitasi telah lenyap. Mendadak seorang perempuan muncul di hadapanku. Sambil menangis ibu itu cerita bahwa suaminya minta diijinkan untuk menikah lagi. Poligami memang sedang menjadi tren saat itu. Jika tidak diijinkan, maka dengan terpaksa suaminya akan menceraikannya.
Dengan berurai air mata, wajah seputih kapas itu menjerit begitu keras dan seolah jeritannya hendak merobek mulutnya sendiri. "Aku lebih baik mati daripada diceraikan!"
Aku tidak sadarkan diri, tapi kemudian aku terbangun dari tidur keesokan hari. Semalam aku yakin telah menemukan jawaban atas pertanyaanku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H