Mohon tunggu...
TRI HANDOYO
TRI HANDOYO Mohon Tunggu... Novelis - Novelis

Penulis esai, puisi, cerpen dan novel

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pertemuan Sunyi

15 Mei 2024   08:34 Diperbarui: 9 Juni 2024   16:37 754
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumen Tri Handoyo


Oleh: Tri Handoyo

Jaman sekolah dasar dulu, jika guru ada kegiatan rapat, maka pelajaran ditiadakan. Libur. Murid diijinkan pulang lebih awal. Tanpa merasa bersalah, sebagai gantinya ibu guru malah memberi tugas untuk dikerjakan di rumah.

Pengumuman rapat guru seperti itu akan selalu disambut sorak-sorai seluruh isi kelas. "Horeee..!" "Asyiiik..!" "Pulang..!"

Anak-anak buru-buru memasukan segala perlengkapan buku dan alat tulis ke dalam tas, lalu menunggu ibu guru memimpin membaca doa bersama sebelum kelas bubar.

Buat aku pribadi, itu momen yang paling menyenangkan. Bisa jadi mencerminkan sebagai murid yang malas belajar di dalam kelas. Langsung tersusun berbagai rencana dalam pikiran. Akan banyak waktu untuk bermain. Aku memang dikenal sebagai anak yang suka bermain. Suka keluyuran, sampai mendapat gelar sebagai anak yang tidak kerasan tinggal di rumah. Pulang hanya waktunya makan dan tidur.

Masih pagi. Cahaya matahari belum terasa menyengat. Langit tampak cerah, sehingga tak ada satu pun yang mampu menghalangi sinarnya untuk memapari segala aktifitas manusia di bumi.

Kukayuh sepeda dengan penuh semangat. Butiran keringat dengan cepat membasahi wajah, badan, dan menyerap ke dalam baju. Di pundak kiriku terselempang sebuah tas berisi buku yang terasa semakin berat. Aku tidak peduli. Kaki-kakiku terus mengayuh dan mengayuh menuju rumah.

Sebelum bermain, aku harus ganti baju seragam sekolah merah putih. Pakai kostum untuk main. Sampai di tempat aku baru ingat bahwa tidak ada orang di rumah. Pembantu sedang pulang kampung. Ibuku pergi ke kantor dan saudara-saudaraku tentu masih berada di sekolah.

Untungnya, seluruh anggota keluarga punya kesepakatan di mana harus menaruh kunci tatkala rumah kosong. Di sebuah tempat rahasia, yang ternyata hampir semua orang punya tempat rahasia yang sama. Ya benar sekali, di bawah keset depan pintu.

Setelah membuka pintu, aku langsung menuju ruang makan. Sambil melepas satu per satu kancing baju, kuraih botol air minum dari lemari es. Mataku kemudian menelusuri sesuatu di atas meja yang mungkin bisa mengganjal perut.

Sialnya, di atas meja besar berbentuk oval itu tampak kosong. Belum ada masakan apa pun. Hanya tampak sebuah kaleng kerupuk di ujung. Maka itu yang menjadi sasaran.

Dengan memakai kaos singlet, menunggu keringat kering, aku duduk di kursi menghadap meja makan. Menurut cerita ibu, sejak beliau masih kecil, meja jati warisan nenek itu sudah ada.

Aku menyanyikan sebuah lagu diiringi irama ketukan meja. Seperti kebiasaanku di sekolah ketika jam istirahat. Kebiasaan yang sering menimbulkan teguran dari guru.

Sambil mendendangkan lagu yang lagi populer saat itu, aku melihat-lihat sekeliling ruang makan yang menjadi satu dengan dapur. Entah karena mungkin ketidaktersediaan lahan yang cukup untuk memiliki ruang makan yang terpisah, tapi desain seperti itu justru menurutku menarik.

Penting untuk dicatat, hal "menarik" sebenarnya relatif, tentu berbeda dalam perspektif setiap orang. Akan tetapi yang jelas, konsep desain itu belakangan malah menjadi sangat digemari. Terutama untuk rumah-rumah di wilayah perkotaan. Bahkan belakangan lazim juga kita temui, dapur dan ruang makan menyatu sekaligus dengan ruang keluarga. Seperti ruang ideal dalam pikiranku sejak kecil.

Tiba-tiba aku ingat punya piano mini, dan langsung bergegas mengambilnya di kamar dan ingin cepat-cepat kembali ke tempat duduk. Tidak sabar untuk mencoba memainkannya. Menyanyi dengan iringan piano pasti lebih mengasyikan.

Sebelum duduk, entah kenapa, perasaanku segera tersadar bahwa aku tidak lagi sendirian. Tanpa ada suara yang terdengar memanggil, aku menoleh ke arah pojokan lemari es. Mendadak jantungku seolah berhenti berdetak. Di situ tampak sosok perempuan berdiri. Hanya berjarak dua meter dari tempatku.

Wajahnya tidak jelas, kabur, tapi seolah matanya sedang menatap. Sesuatu langsung menggumpal menyesakan dada dan membuat jantung berdebar kencang. Spontan kejadian itu membuat aku menjerit histeris. Sangat ketakutan.

Dalam hitungan detik, panik membuatku secara reflek berlari ke arah pintu keluar, tapi tidak bisa. Pintu antara dapur dan ruang tamu rupanya terkunci. Aku gunakan piano untuk menutupi bayangan wajah perempuan misterius itu. Tapi sepertinya wajah itu masih terus terbayang. Melekat di pelupuk mata. Sambil masih menangis aku lempar sosok itu dengan piano. Piano itu jatuh tepat di depan kakiku. Hancur berkeping-keping.

Akhirnya pintu terbuka dengan sendirinya, dan aku bisa lari keluar. Aku mencari orang untuk minta bantuan. Tapi suasana pagi itu sangat sepi. Aku memang tinggal di perumahan yang kebanyakan penghuninya pegawai. Di waktu pagi seperti itu biasanya yang tinggal di rumah hanya para pembantu.

Pagi hari terbaikku dirusak oleh sebuah penampakan. Minat untuk bermain pun sirnah. Rencana yang tersusun dengan matang kini berantakan.

Setelah ibu pulang dari kantor, aku baru berani masuk rumah. Aku ceritakan apa yang telah terjadi, tapi aku malah dimarahi. Selama ini tidak ada satu pun anggota keluarga yang mengalami hal seperti itu. Aku dituduh hanya mengada-ada.

Tidak ada satu orang pun yang percaya. Padahal sejak saat itu sampai berhari-hari berikutnya, aku masih takut jika berada di dapur. Bahkan hanya untuk melihat ke arah sosok misterius itu menampakkan diri saja, aku tidak berani. Membayangkan dia muncul saja sudah cukup membuat seluruh tubuhku merinding.

Satu alasan tunggal yang membuatku selalu tidak nyaman berada di ruang makan, apalagi jika sendirian, yaitu menyadari bahwa jika di siang hari saja, di saat terang, dia berani muncul, apalagi jika malam hari. Pikiran itu selalu menguasaiku sepanjang waktu.

Semua itu tidak seperti cerita kebanyakan orang mengenai hantu atau jin, yang katanya hanya muncul di dalam kegelapan. Nyatanya tidak demikian. Mereka berani muncul di dalam keadaan terang, asal memiliki kekuatan yang sangat besar. Karena dibutuhkan energi besar untuk melawan cahaya terang.

Di pojok sebelah lemari es, di bawah sorot matahari dari genting kaca. Aku merekam dalam-dalam sosoknya yang beranjak menghilang meninggalkanku. Begitulah, perempuan berkebaya dan berkerudung kuning gading memperkenalkan diri. Sosok misterius yang kulihat pertama kali dengan perasaan sangat ngeri.

Aku tahu, kemunculannya merupakan garis rencana Tuhan, rencana yang paling kubenci. Entah kenapa aku tak ingin sosok perempuan itu muncul lagi.

Dengan bertambahnya usia, aku mulai belajar untuk tidak memedulikan lagi penampakan sosok misterius itu. Bahkan kadang aku sengaja berdiri di tempatnya, sekedar ingin melihat dari sudut pandangnya ketika ia menatapku.

Menyelinap perasaan aneh saat kusentuh tembok, pinggir kusen jendela, dinding lemari es, sambil mencari-cari getaran asing merambati tubuhku. Mungkin saja dia masih berada di situ.

"Hei, kamu mestinya tahu, aku tidak sedang dalam fase siap saat itu!" kataku, "Aku masih seorang anak-anak. Kamu tahu itu. Kita tidak ada dalam satu dimensi yang sama di dunia ini!"

Sampai detik ini, setelah empat puluh tahun berlalu, aku masih penasaran, siapakah kamu sebenarnya? Apa tujuanmu menampakkan diri? Muncullah sekarang jika kamu berani, dan katakan apa maumu, atau harus kutunggu sampai malam tiba, sampai situasi gelap.

Dalam imajiku dia berkata, "Aku tidak akan mengganggumu lagi!" Dengan tatapan mata yang teduh, memandang tepat bola mataku, ia mengucapkan kata perpisahan dan kemudian perlahan-lahan menghilang.

Entah dari mana aku tiba-tiba tahu bahwa ia sebetulnya memiliki wajah yang cantik, anggun dan senyum yang manis. Kini, setiap senja pamit pergi, yang kuharap senyumnya tetap tinggal di sini, hinggap dan menetap dalam ingatan, hingga bisa kukenang di saat menjelang mataku terpejam di malam hari.

Lalu aku berandai-andai membuat kesepakatan dengannya, untuk memulai pertemuan dari awal. Dia tidak lebih dari makhluk asing, waktu dan takdirlah yang membuat pergeseran dimensi dan membawa kami tanpa sengaja bertemu. Kami lantas terlibat dalam obrolan basa-basi dan larut di dalamnya, seperti itu sepanjang waktu, hingga akhirnya merasa nyaman satu sama lain.

Dia bisa menceritakan segala keluh kesahnya dan aku menyimak dengan seksama, lalu mencoba memberikan solusi apa yang harus dilakukan. Begitu juga sebaliknya. Meskipun hanya sekadar pertemuan sunyi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun