Mohon tunggu...
TRI HANDOYO
TRI HANDOYO Mohon Tunggu... Novelis - Novelis

Penulis esai, puisi, cerpen dan novel

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pertemuan Sunyi

15 Mei 2024   08:34 Diperbarui: 9 Juni 2024   16:37 734
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumen Tri Handoyo

Dengan memakai kaos singlet, menunggu keringat kering, aku duduk di kursi menghadap meja makan. Menurut cerita ibu, sejak beliau masih kecil, meja jati warisan nenek itu sudah ada.

Aku menyanyikan sebuah lagu diiringi irama ketukan meja. Seperti kebiasaanku di sekolah ketika jam istirahat. Kebiasaan yang sering menimbulkan teguran dari guru.

Sambil mendendangkan lagu yang lagi populer saat itu, aku melihat-lihat sekeliling ruang makan yang menjadi satu dengan dapur. Entah karena mungkin ketidaktersediaan lahan yang cukup untuk memiliki ruang makan yang terpisah, tapi desain seperti itu justru menurutku menarik.

Penting untuk dicatat, hal "menarik" sebenarnya relatif, tentu berbeda dalam perspektif setiap orang. Akan tetapi yang jelas, konsep desain itu belakangan malah menjadi sangat digemari. Terutama untuk rumah-rumah di wilayah perkotaan. Bahkan belakangan lazim juga kita temui, dapur dan ruang makan menyatu sekaligus dengan ruang keluarga. Seperti ruang ideal dalam pikiranku sejak kecil.

Tiba-tiba aku ingat punya piano mini, dan langsung bergegas mengambilnya di kamar dan ingin cepat-cepat kembali ke tempat duduk. Tidak sabar untuk mencoba memainkannya. Menyanyi dengan iringan piano pasti lebih mengasyikan.

Sebelum duduk, entah kenapa, perasaanku segera tersadar bahwa aku tidak lagi sendirian. Tanpa ada suara yang terdengar memanggil, aku menoleh ke arah pojokan lemari es. Mendadak jantungku seolah berhenti berdetak. Di situ tampak sosok perempuan berdiri. Hanya berjarak dua meter dari tempatku.

Wajahnya tidak jelas, kabur, tapi seolah matanya sedang menatap. Sesuatu langsung menggumpal menyesakan dada dan membuat jantung berdebar kencang. Spontan kejadian itu membuat aku menjerit histeris. Sangat ketakutan.

Dalam hitungan detik, panik membuatku secara reflek berlari ke arah pintu keluar, tapi tidak bisa. Pintu antara dapur dan ruang tamu rupanya terkunci. Aku gunakan piano untuk menutupi bayangan wajah perempuan misterius itu. Tapi sepertinya wajah itu masih terus terbayang. Melekat di pelupuk mata. Sambil masih menangis aku lempar sosok itu dengan piano. Piano itu jatuh tepat di depan kakiku. Hancur berkeping-keping.

Akhirnya pintu terbuka dengan sendirinya, dan aku bisa lari keluar. Aku mencari orang untuk minta bantuan. Tapi suasana pagi itu sangat sepi. Aku memang tinggal di perumahan yang kebanyakan penghuninya pegawai. Di waktu pagi seperti itu biasanya yang tinggal di rumah hanya para pembantu.

Pagi hari terbaikku dirusak oleh sebuah penampakan. Minat untuk bermain pun sirnah. Rencana yang tersusun dengan matang kini berantakan.

Setelah ibu pulang dari kantor, aku baru berani masuk rumah. Aku ceritakan apa yang telah terjadi, tapi aku malah dimarahi. Selama ini tidak ada satu pun anggota keluarga yang mengalami hal seperti itu. Aku dituduh hanya mengada-ada.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun