Mohon tunggu...
TRI HANDOYO
TRI HANDOYO Mohon Tunggu... Novelis - Novelis

Penulis esai, puisi, cerpen dan novel

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Merepotkan MK

9 April 2024   21:28 Diperbarui: 18 Juni 2024   08:16 619
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumen Tri Handoyo


Oleh: Tri Handoyo

Mahkamah yang anggotanya para dewa merasa kesal dengan sebagian ulah penduduk bumi yang menuntut agar dewa selalu menuruti kehendak dan kemauan mereka.

Yang dimaksud MK di sini adalah Mahkamah Kayangan. MK merasa repot karena di samping aneka ragam doa yang rajin dipanjatkan, manusia juga menuduh MK pasti berat sebelah, mencurigai bakal pilih kasih, dan menuding tidak netral, manakala hajat-hajat mereka tidak terpenuhi. Bahkan ada yang sampai mengatakan MK curang dan menerima suap.

Jauh pada masa ribuan tahun yang lampau, Sanghyang Tunggal memiliki tiga orang putera yang berasal dari sebutir telur. Dari bagian cangkang telur diberi nama Antaga, dari putih telur diberi nama Ismaya, dan dari kuning telur diberi nama Manikmaya.

Pada suatu ketika, Antaga dan Ismaya berselisih karena masing-masing ingin menjadi penguasa kahyangan. Keduanya pun akhirnya memutuskan untuk adu kesaktian, yakni menelan gunung.

Antaga yang merasa mampu, langsung menelan gunung secara utuh. Malang sekali, mulutnya robek dan matanya melotot nyaris keluar. Ia gagal. Sementara Ismaya menggunakan cara bertahap, memakan gunung sedikit demi sedikit. Setelah melewati bebarpa saat, maka seluruh gunung pun berhasil dipindahkan ke dalam perutnya. Namun ia gagal memuntahkannya kembali. Akibatnya, sejak saat itu Ismaya memiliki perut besar dan bulat.

Sanghyang Tunggal kesal mengetahui ambisi kedua putranya itu, sehingga memberi mereka hukuman untuk turun ke bumi menjadi manusia biasa.

Manikmaya yang tidak melakukan kesalahan akhirnya diangkat sebagai ketua Mahkamah Kayangan, bergelar Batara Guru.

Antaga berganti nama menjadi Togog Tejomantri, kelak menjadi pengasuh bangsa yang berwatak angkara murka dan serakah. Sedangkan Ismaya berganti nama menjadi Smaranata atau Semar, yang menjadi pengasuh para satria yang berbudi pekerti luhur.

Dari kisah tersebut sebetulnya menunjukan bahwa MK telah berbuat adil sejak dari awal kehidupan manusia. Dewa berwujud manusia ada di masing-masing pihak, baik Kurawa maupun Pandawa.

"Ketika kita berdoa minta diberi rejeki yang berlimpah," ujar Gareng di hadapan Romo Semar, "Akan tetapi sikap dan tindakan kita berlawanan dengan sebab-sebab yang membuat rejeki datang, misal bermalas-malasan, itu bagaimana, Mo?"

"Betara Guru pasti tetap akan mengabulkan mereka yang tekun berdoa," sela Petruk merasa yakin. "Betara Guru kan penuh welas asih!"

Semar berpaling ke Bagong, memberi kesempatan putra bungsunya itu untuk mengutarakan pendapatnya.

"Segala sesuatu yang terjadi," sahut Bagong akhirnya, "Pasti tidak akan mengabaikan rasa kepatutan dan kelayakan. Bukan begitu, Mo?"

"Alam semesta memang akan senantiasa menjaga keseimbangan kehidupan ini dengan cara seperti itu!" jawab Romo kalem, "Itu hukum alam. Jika sikap dan perbuatan kita bertolak belakang dengan doa-doa yang kita panjatkan, itu sama halnya dengan kita merepotkan dewata!"

"Berarti doa itu tidak akan dikabulkan ya, Mo?" Gareng menarik kesimpulan.

"Betul, Le! Jika doa kita tidak terkabul, mestinya kita harus dapat mawas diri. Intropeksi. Mungkin ada tindakan kita yang belum tepat. Bukan malah menuding dewa tidak adil!"

Semar, tokoh utama Punakawan itu hanyalah sosok figuran dalam kisah Mahabarata. Ketiga puteranya, Petruk, Gareng dan Bagong, malah semakin tidak penting dan hanya sekedar numpang lewat.

Akan tetapi, Semar sebetulnya memiliki posisi lebih tinggi ketimbang para dewa lainnya. Keikhlasannya dalam pengabdian telah membuatnya berhasil mencapai puncak tertinggi kayangan, namun kemudian ia turun kembali ke bumi demi menyampaikan pengetahuannya kepada umat manusia.

Sementara dewa lainnya berhenti pada level manunggaling kawula Gusti Sang Hyang Tunggal, 'jumeneng' di kayangan dan menganggap itu sebagai tingkatan tertinggi.

Semar rela berperan tidak menonjol meskipun ia memiliki posisi tinggi. Ciri karakter yang dimilikinya adalah jujur, sabar, bijaksana, berpengetahuan luas dan dalam, serta jenaka.

Ketika menjelang tidur malam, di ujung diskusi itu Semar mengakhiri dengan nasehat singkat, "Kita harus memiliki sifat 'tadah, pradah, dan ora wegah'."

"Mohon dijabarkan maksudnya, Mo?" pinta ketiga putranya.

"Pertama tadah, artinya menerima. Doa kita hanyalah rasa syukur atas segala yang telah kita terima. Ciri orang yang sehat mentalnya pasti memiliki rasa syukur dalam hidupnya."

"Kedua pradah, artinya ikhlas memberikan apapun yang menjadi potensi kita kepada sesama, baik itu pengetahuan, tenaga, pikiran atau harta benda, karena sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi sesama. Sikap mental ini akan menstabilkan pikiran sehingga kita terhindar dari rasa frustasi atas harapan yang tidak sesuai dengan realitas."

"Ketiga ora wegah, artinya tidak pilih-pilih. Entah itu pekerjaan besar atau kecil, harus tetap dikerjakan dengan sepenuh hati. Totalitas."

"Kemudian yang terpenting, jangan pernah merepotkan Mahkamah Kayangan!" pungkas Semar tegas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun