Oleh: Tri Handoyo
Calonarang adalah seorang perempuan yang mahir bermain sihir. Ia rajin bereksperimen mengembangkan ilmu hitamnya agar kelak bisa menjadi orang tersakti di muka bumi Nusantara.
Perempuan egois itu mendapat julukan Rangda Nateng Girah, yang bermakna janda penguasa Girah. Girah adalah nama sebuah wilayah pesisir yang menjadi bagian dari Kerajaan Kadiri.
Pada saat itu kerajaan dipimpin oleh Raja Airlangga (1006-1042 M). Berdasarkan Prasasti Pucangan, seluruh wilayah Jawa Timur berhasil dikuasai sejak tahun 1021 Masehi. Kendati pusat dari Kerajaan Kediri pernah berpindah-pindah lantaran mendapat serangan musuh. Hal itu berdasarkan catatan yang terdapat pada Prasasti Terep (1032 M).
Lantaran memiliki ilmu yang tinggi, Calonarang banyak didatangi orang yang berminat untuk belajar sihir, maka ia kemudian bertekad untuk mendirikan sebuah padepokan sihir.
Ia mengumpulkan catatan dari banyak temuan-temuannya, menjadi sebuah kitab berjudul Kitab Sihir.
Calonarang memiliki empat orang murid perempuan yang paling senior dan telah mampu menguasai ilmu leak, yakni Nyi Larung, Nyi Daksa, Nyi Lenda, dan Nyi Lendi. Ilmu leak adalah salah satu hasil temuan termutakhir Calonarang yang dianggap sebagai puncak tertinggi ilmu sihir.
Suatu ketika Calonarang tiba-tiba sangat murka kepada penduduk Girah, sampai ia ingin memberikan penderitaan yang berat kepada mereka semua.
Gara-garanya adalah laporan dari murid-murid setianya bahwa telah beredar isu di masyarakat luas bahwa selamanya tidak akan ada pemuda yang berani menikahi Ratna Mangali, putri semata wayang Calonarang. Isu yang berhembus itu menyatakan, "Anak tukang sihir jahat pasti juga jahat."
Ratna Mangali sebenarnya gadis yang cantik dan baik, sama sekali tidak seperti ibunya. Ia juga sebetulnya tidak berminat mempelajari sihir.
Sebagai seorang ibu, Calonarang tentu merasa resah memikirkan anaknya yang mungkin akan menjadi perawan tua dan tentu akan menjadi cemohan penduduk.
Perasaan sangat murka sekaligus sedih mengalir di dalam benak Calonarang. Ia pun sangat khawatir kalau garis keturunannya akan habis. Dinasti Calonarang akan berakhir. Tragis dan menyedihkan.
Calonarang pun bersumpah di depan murid-murid setianya.
"Hai murid-muridku, ketahuilah bahwa warga desa ini sudah tidak punya etika. Mereka sudah lancang menghinaku. Penghinaan ini bagaikan kotoran yang disiramkan ke wajahku. Aku pasti akan membalas semua ini dengan balasan yang jauh lebih menyakitkan. Rakyat yang tidak beretikah ini akan aku hancur-leburkan dalam sekejap mata!"
Saat itu Calonarang tiba-tiba merasa seolah-olah sebagai orang yang paling menjunjung tinggi etika, padahal ia sering bersikap merendahkan dan semena-mena ketika mempraktekan sihirnya. Menyerang hewan ternak warga, menciptakan hama pertanian, dan lain-lain yang menyusahkan penduduk. Terutama kepada warga yang tampak enggan menghormatinya.
"Semuanya akan menanggung akibat dari penghinaan ini," sambung perempuan tukang sihir yang sangat gila hormat itu, "Kalau tidak tercapai apa yang aku katakan ini, maka lebih baik aku mati!"
Calonarang bersama murid-muridnya pun segera melakukan persiapan di Pasraman Pangleakan. Semua muridnya memamg seperti kerbau dicucuk hidungnya. Kerbau itu hanya bisa menuruti kehendak Si Mbok guru tanpa berani membantah, karena di samping bodoh juga tidak berdaya melawan. Apa pun yang dilakukan Si Mbok guru dianggap yang paling benar.
Mereka tengah mempersiapkan ritual mendatangkan sebuah penyakit mematikan, yang bernama gerubug. Sebuah penyakit yang dapat menewaskan penduduk dalam waktu singkat.
Ketika malam tiba, para murid Si Mbok Calonarang pun mulai beraksi, mengubah wujudnya menjadi bola-bola api yang kemudian menebarkan sihir di seantero Kerajaan Kadiri.
Suhu yang sebelumnya terasa sejuk mendadak berubah menjadi panas. Warga yang tadinya tertidur lelap pun terjaga karena hawa tersebut. Mereka yang gelisah lalu membuka pintu rumahnya, namun langsung menutupnya kembali lantaran takut menyaksikan penampakan bola-bola api yang berterbangan di luar sana. Satu-satunya yang bisa dilakukan oleh mereka pada saat itu hanya berdoa memohon perlindungan Tuhan.
Ketika pagi tiba, terdengar teriakan minta tolong dari seorang warga yang salah seorang anaknya tiba-tiba muntah-muntah, dan tidak berselang lama kemudian meninggal dunia.
Ketika beberapa warga datang mau memberikan pertolongan, tiba-tiba terdengar lagi teriakan yang sama di tempat lain. Hal itu membuat masyarakat menjadi panik. Satu warga belum sempat diberi obat, tiba-tiba sudah ada lagi warga lain yang sakit dan meninggal dunia.
Peristiwa itu bagaikan teror yang paling mengerikan. Penduduk pun dihantui oleh maut. Mereka menjadi sangat ketakutan, namun tidak bisa berbuat apa-apa. Kerajaan Kadiri gempar. Sehari-hari orang mengusung mayat ke kuburan dalam selisih waktu yang amat singkat.
Akhirnya, para sesepuh desa bermusyawarah, dan memutuskan untuk melaporkan kejadian tersebut dan sekaligus memohon bantuan dari Raja Airlangga.
Prabu Airlangga yang sudah mendengar kesaktian Calonarang, akhirnya meminta nasehat Mpu Barada.
"Ijinkan hamba untuk mengirim seorang murid hamba," ujar Mpu Barada mencoba menawarkan solusi, "Untuk melamar dan menikahi Ratna Manggali, putri semata wayang Calonarang!"
Itu merupakan strategi, karena Mpu Barada tahu betul cikal bakal penyebab kemarahan Calonarang. Ia berharap dengan pernikahan tersebut dapat membuat Calonarang berhenti menebar teror.
Harapan itu benar terjadi. Si Mbok Calonarang gembira mengetahui ada pemuda yang melamar putrinya. Apalagi pemuda bernama Bahula itu memiliki wajah tampan dan badan gagah perkasa. Maka, diadakanlah pesta pernikahan besar-besaran, selama tujuh hari tujuh malam.
Ratna Manggali dan Bahula pun merasa bahagia, karena mereka diam-diam memang saling mencintai. Pasangan mempelai yang cukup ideal.
Setelah pesta selesai, Bahula mulai menjalankan tugas rahasia dari gurunya, yakni mengorek rahasia kesaktian Calonarang.
Di saat menjekang malam yang tenang, Bahula bertanya kepada istrinya, "Dinda, mengapa Si Mbok bisa sangat sakti mandraguna?"
Ratna Manggali menjelaskan bahwa Si Mbok memiliki kitab pusaka, kitab sihir. Melalui kitab tersebut, ia bisa memanggil Betari Durga. "Kitab itu tidak bisa lepas dari tangan Si Mbok," ujar Ratna, "Sebab kitab itu merupakan sumber utama kekuatannya!"
Mengetahui hal tersebut, Bahula segera mengatur siasat untuk mencuri kitab tersebut. Pada tengah malam, ia menyelinap ke kamar Calonarang dan mencuri kitab yang dijadikan alas bantal. Suatu tindakan yang nekad dan amat berbahaya.
Kitab curian tersebut kemudian oleh Bahula diserahkan kepada gurunya, Mpu Baradah.
Tentu saja, Calonarang yang mengetahui kitabnya dicuri, berangkat dan meradang. Ia meminta Mpu Baradah segera mengembalikannya atau memilih untuk bertarung sampai mati.
Mpu Baradah menerima tantangan itu. Pertarungan pun tak terhindarkan, berlangsung sangat sengit dan mencekam. Sampai akhirnya dimenangkan oleh Mpu Baradah dan berhasil menewaskan Calonarang.
Mengetahui gurunya kalah dan menghembuskan nafas terakhir, membuat banyak murid yang akhirnya memilih bertaubat. Meskipun ada beberapa yang memilih melarikan diri hingga keluar jauh dari wilayah kerajaan Kadiri.
Angkara murka pasti bakal sirna. Ratna Mangali dan Bahula tetap melangsungkan hidup sebagai suami istri yang bahagia.
Sejak saat itu kehidupan masyarakat pun menjadi lebih damai dan aman tenteram. Mereka merasa lega bisa terbebas dari ancaman Si Mahir Main Sihir.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H