Sebagai seorang ibu, Calonarang tentu merasa resah memikirkan anaknya yang mungkin akan menjadi perawan tua dan tentu akan menjadi cemohan penduduk.
Perasaan sangat murka sekaligus sedih mengalir di dalam benak Calonarang. Ia pun sangat khawatir kalau garis keturunannya akan habis. Dinasti Calonarang akan berakhir. Tragis dan menyedihkan.
Calonarang pun bersumpah di depan murid-murid setianya.
"Hai murid-muridku, ketahuilah bahwa warga desa ini sudah tidak punya etika. Mereka sudah lancang menghinaku. Penghinaan ini bagaikan kotoran yang disiramkan ke wajahku. Aku pasti akan membalas semua ini dengan balasan yang jauh lebih menyakitkan. Rakyat yang tidak beretikah ini akan aku hancur-leburkan dalam sekejap mata!"
Saat itu Calonarang tiba-tiba merasa seolah-olah sebagai orang yang paling menjunjung tinggi etika, padahal ia sering bersikap merendahkan dan semena-mena ketika mempraktekan sihirnya. Menyerang hewan ternak warga, menciptakan hama pertanian, dan lain-lain yang menyusahkan penduduk. Terutama kepada warga yang tampak enggan menghormatinya.
"Semuanya akan menanggung akibat dari penghinaan ini," sambung perempuan tukang sihir yang sangat gila hormat itu, "Kalau tidak tercapai apa yang aku katakan ini, maka lebih baik aku mati!"
Calonarang bersama murid-muridnya pun segera melakukan persiapan di Pasraman Pangleakan. Semua muridnya memamg seperti kerbau dicucuk hidungnya. Kerbau itu hanya bisa menuruti kehendak Si Mbok guru tanpa berani membantah, karena di samping bodoh juga tidak berdaya melawan. Apa pun yang dilakukan Si Mbok guru dianggap yang paling benar.
Mereka tengah mempersiapkan ritual mendatangkan sebuah penyakit mematikan, yang bernama gerubug. Sebuah penyakit yang dapat menewaskan penduduk dalam waktu singkat.
Ketika malam tiba, para murid Si Mbok Calonarang pun mulai beraksi, mengubah wujudnya menjadi bola-bola api yang kemudian menebarkan sihir di seantero Kerajaan Kadiri.
Suhu yang sebelumnya terasa sejuk mendadak berubah menjadi panas. Warga yang tadinya tertidur lelap pun terjaga karena hawa tersebut. Mereka yang gelisah lalu membuka pintu rumahnya, namun langsung menutupnya kembali lantaran takut menyaksikan penampakan bola-bola api yang berterbangan di luar sana. Satu-satunya yang bisa dilakukan oleh mereka pada saat itu hanya berdoa memohon perlindungan Tuhan.
Ketika pagi tiba, terdengar teriakan minta tolong dari seorang warga yang salah seorang anaknya tiba-tiba muntah-muntah, dan tidak berselang lama kemudian meninggal dunia.
Ketika beberapa warga datang mau memberikan pertolongan, tiba-tiba terdengar lagi teriakan yang sama di tempat lain. Hal itu membuat masyarakat menjadi panik. Satu warga belum sempat diberi obat, tiba-tiba sudah ada lagi warga lain yang sakit dan meninggal dunia.