Kenapa kami tetap tinggal di penjara ketika pintunya terbuka lebar?
Penjara yang dimaksud Rumi adalah penjara jiwa dan pikiran kita. Apabila kita masih terbelenggu oleh keangkuhan, kerakusan, dan ketakutan maka berarti kita belumlah merdeka. Jika kita masih malas beribadah dan bekerja keras maka kita masih belum merdeka. Â
Pertanyaan besarnya adalah : Sudahkah kita sebagai bangsa Indonesia benar-benar menjadi bangsa merdeka di alam kemerdekaan saat ini? Atau, justru kita masih terbelenggu oleh anggapan-anggapan ekslusif yang justru kontradiktif dengan realitas keberagaman bangsa, di mana hal tersebut menjadi penghambat berdirinya Indonesia Raya???
Ketika kita masih terjebak dan terkungkung oleh hawa nafsu ekslusifitas dalam alam kebhinnekaan Indonesia, maka sejatinya kita belumlah merdeka yang mahardika atau di dalam Kakawin Nitisastra disebut Maharddhikeka.
"... tan mada maharddhikeka panggarannia sira putusi sang pinandita" (Barang siapa tidak mabuk oleh hawa nafsu itu dialah yang dapat disebut merdeka (mahardika), bijaksana bagaikan Sang Pinandita).
Dengan demikian, pribadi merdeka yang mahardika adalah pribadi dengan jiwa yang bijak, memiliki keluasan hati, dan penuh welas asih.
Mpu Tantular dalam Kitab Sutasoma sudah membuat rumusan visioner yang sekarang menjadi semboyan negara kita : BHINNEKA TUNGGAL IKA. Semboyan Bhinneka Tunggal Ika inilah yang  membuka lebar pintu toleransi dalam tata kehidupan bangsa kita.
Apabila kita cermati teks asli  Bhinneka Tunggal Ika tersebut, ternyata terdapat perluasan makna semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Perluasan makna dari konteks religius menjadi konteks persatuan (sila III Pancasila) dan kemudian menjadi konteks kesetaraan dalam arti luas. Makna Bhinneka Tunggal Ika dalam Kitab Sutasoma adalah lambang toleransi antara dua agama besar pada masa Kerajaan Majapahit, yaitu Budda dan Ciwa.Â
Makna ini kemudian bergesar menjadi makna persatuan dan kesatuan Indonesia. Selanjutnya, Bhinneka Tunggal Ika dimaknai lebih luas lagi, yaitu KESETARAAN di antara seluruh komponen bangsa Indonesia. Bahwa keragaman suku, agama, ciri-ciri dan kondisi fisik, serta asal-usul budaya pada dasarnya ada setara sebagai sama-sama umat manusia. Semua perbedaan boleh hidup, berkembang, dan berdampingan secara  harmonis di bumi pertiwi : INDONESIA RAYA.Â
Bumi Indonesia, dengan sifat RAYAnya menampung berbagai keragaman yang ada. Â Bercermin dari nasihat Rumi tadi, jangan sampai kita masih terpenjara oleh pandangan-pandangan ekslusif yang justru membuat bangsa kita semakin tertinggal dengan bangsa lain; Â walaupun di dalam lagu kebangsaan mereka tidak ada kata Raya, namun ada di antara mereka yang melaju lebih cepat menjadi besar dan mendunia.Â
Maka, bangunlah jiwa  bangsa Indonesia dengan pribadi jiwa merdeka yang mahardika : UNTUK INDONESIA RAYA. Lalu, di manakah pangkal untuk membangun jiwa bangsa Indonesia? Pangkal untuk membangun jiwa sesungguhnya berada pada hati sanubari bangsa Indonesia. Kata Ibnu Atha'illah :
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!