Selama pandemi Covid-19 di Indonesia, tak pernah terdengar lagi lantunan merdu nan syahdu lagu kebangsaan Indonesia Raya di lapangan-lapangan upacara. Terbayang ketika lagu Indonesia Raya berkumandang, Sang Saka Merah Putih perlahan dikibarkan di angkasa raya Indonesia.Â
Terlihat sederhana atau mungkin biasa saja bagi sebagian orang, tapi ada hal yang begitu luar biasa di balik itu semua. Lagu kebangsaan dan bendera negara merupakan penanda bahwa kita sudah menjadi bangsa yang merdeka.Â
Lagu Indonesia Raya dan Sang Saka Merah Putih adalah simbolisasi-filosofis kemerdekaan bangsa Indonesia dari cengkeraman penjajahan bangsa asing. Selain itu, Lagu Indonesia Raya dan Sang Saka Merah Putih menjadi identitas bersama bangsa Indonesia, yang mengikat berbagai keberagaman menjadi satu ikatan keluarga besar : BANGSA INDONESIA.
Sejenak menengok ke belakang, dulu  lagu Indonesia Raya ketika pertama kali diperdengarkan dalam Kongres Pemuda II (28 Oktober 1928) dengan pengawasan penuh pemerintahan kolonial Belanda yang kala itu sedang menjajah Indonesia.Â
Pada 17 Agustus 1945, lagu Indonesia Raya kembali dikumandangkan pada saat peristiwa Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, di mana saat itu terjadi vacuum of power dari penjajah Jepang. Nah, saat ini, ketika kita memperingati 75 tahun kemerdekaan Indonesia, kita berada pada situasi "penjajahan virus Corona" yang mengubah tata kehidupan kita menjadi apa yang banyak orang sebut : kehidupan new normal.
Kali ini bukan penjajah Covid-19 di peringatan 75 tahun kemerdekaan Indonesia  yang akan saya ulas. Saya begitu tertarik untuk mencoba merenungi salah satu penggalan syair lagu kebangsaan kita :
Bangunlah Jiwanya, Bangunlah Badannya... Untuk Indonesia Raya....
Terasa ada makna yang begitu dalam pada penggalan syair tersebut. Untuk membuat Indonesia menjadi benar-benar "Raya"Â (besar dan mendunia), maka prasyarat yang harus dilakukan adalah membangun jiwa dan badan manusia Indonesia. Sebaliknya, Indonesia akan menjadi "sakit" jika jiwa dan badan manusia (bangsa) Indonesia juga "sakit".
Sejarah perjuangan bangsa kita adalah sejarah perjuangan dari Nusantara Raya menjadi Indonesia Raya. Mahapatih Gajah Mada, dengan Sumpah Palapanya, berjuang membangun Nusantara Raya pada masa Kerajaan Majapahit. Ratusan tahun kemudian, Nusantara didera ekspansi bangsa asing.Â
Pada masa itulah perjuangan rakyat Nusantara menemukan jati dirinya menjadi perjuangan kebangsaan Indonesia. Perjuangan kebangsaan Indonesia yang dirintis pada masa Kebangkitan Nasional (1908), ditegaskan pada Masa Sumpah Pemuda (1928), dan mencapai puncak perjuangan kemerdekaan pada Proklamasi Kemerdekaan (17 Agustus 1945) adalah perjuangan pembebasan Indonesia menuju Indonesia Raya. Saat ini, sampai dengan masa-masa ke depan, adalah perjuangan mengukuhkan dan membangun Indonesia Raya dalam realitas keberagaman yang begitu tinggi di tengah laju revolusi industri yang begitu pesat.
Pada 75 tahun kemerdekaan negara kita tercinta ini, ada baiknya kita melihat jiwa dan badan bangsa kita, sudahkah melaju untuk menjadikan Indonesia menjadi Raya? Untuk merefleksi hal tersebut, nasihat Jalaludin Rumi bisa memantik kita untuk merenungi diri.
Kenapa kami tetap tinggal di penjara ketika pintunya terbuka lebar?
Penjara yang dimaksud Rumi adalah penjara jiwa dan pikiran kita. Apabila kita masih terbelenggu oleh keangkuhan, kerakusan, dan ketakutan maka berarti kita belumlah merdeka. Jika kita masih malas beribadah dan bekerja keras maka kita masih belum merdeka. Â
Pertanyaan besarnya adalah : Sudahkah kita sebagai bangsa Indonesia benar-benar menjadi bangsa merdeka di alam kemerdekaan saat ini? Atau, justru kita masih terbelenggu oleh anggapan-anggapan ekslusif yang justru kontradiktif dengan realitas keberagaman bangsa, di mana hal tersebut menjadi penghambat berdirinya Indonesia Raya???
Ketika kita masih terjebak dan terkungkung oleh hawa nafsu ekslusifitas dalam alam kebhinnekaan Indonesia, maka sejatinya kita belumlah merdeka yang mahardika atau di dalam Kakawin Nitisastra disebut Maharddhikeka.
"... tan mada maharddhikeka panggarannia sira putusi sang pinandita" (Barang siapa tidak mabuk oleh hawa nafsu itu dialah yang dapat disebut merdeka (mahardika), bijaksana bagaikan Sang Pinandita).
Dengan demikian, pribadi merdeka yang mahardika adalah pribadi dengan jiwa yang bijak, memiliki keluasan hati, dan penuh welas asih.
Mpu Tantular dalam Kitab Sutasoma sudah membuat rumusan visioner yang sekarang menjadi semboyan negara kita : BHINNEKA TUNGGAL IKA. Semboyan Bhinneka Tunggal Ika inilah yang  membuka lebar pintu toleransi dalam tata kehidupan bangsa kita.
Apabila kita cermati teks asli  Bhinneka Tunggal Ika tersebut, ternyata terdapat perluasan makna semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Perluasan makna dari konteks religius menjadi konteks persatuan (sila III Pancasila) dan kemudian menjadi konteks kesetaraan dalam arti luas. Makna Bhinneka Tunggal Ika dalam Kitab Sutasoma adalah lambang toleransi antara dua agama besar pada masa Kerajaan Majapahit, yaitu Budda dan Ciwa.Â
Makna ini kemudian bergesar menjadi makna persatuan dan kesatuan Indonesia. Selanjutnya, Bhinneka Tunggal Ika dimaknai lebih luas lagi, yaitu KESETARAAN di antara seluruh komponen bangsa Indonesia. Bahwa keragaman suku, agama, ciri-ciri dan kondisi fisik, serta asal-usul budaya pada dasarnya ada setara sebagai sama-sama umat manusia. Semua perbedaan boleh hidup, berkembang, dan berdampingan secara  harmonis di bumi pertiwi : INDONESIA RAYA.Â
Bumi Indonesia, dengan sifat RAYAnya menampung berbagai keragaman yang ada. Â Bercermin dari nasihat Rumi tadi, jangan sampai kita masih terpenjara oleh pandangan-pandangan ekslusif yang justru membuat bangsa kita semakin tertinggal dengan bangsa lain; Â walaupun di dalam lagu kebangsaan mereka tidak ada kata Raya, namun ada di antara mereka yang melaju lebih cepat menjadi besar dan mendunia.Â
Maka, bangunlah jiwa  bangsa Indonesia dengan pribadi jiwa merdeka yang mahardika : UNTUK INDONESIA RAYA. Lalu, di manakah pangkal untuk membangun jiwa bangsa Indonesia? Pangkal untuk membangun jiwa sesungguhnya berada pada hati sanubari bangsa Indonesia. Kata Ibnu Atha'illah :
Hati tidak dihijab oleh yang keluar darinya, tapi dihijab oleh yang memasukinya.
Artinya, potensi welas asih dan kasih sayang terhadap sesama sebenarnya sudah tertanam di dalam hati setiap manusia. Namun, potensi itu bisa sewaktu-waktu rusak ketika noktah-noktah hitam merasuk dan merusak hati manusia sekaligus merusak tatanan kehidupan yang penuh welas asih dan kasih sayang.Â
Saling menghormati dan menghargai keberagaman bukan lagi menjadi kode etik bangsa Indonesia dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika-nya, tapi sudah menjadi kode etik manusia, di mana Yang Maha Kuasa menciptakan manusia dengan beragam bentuk fisik, asal-usul, dan karakteristik budaya.
Perubahan adalah satu-satunya konstanta, begitu kata Yuval Noah Harari. Kata Herakleitos, "Panta Rhei Kai Uden Menei"Â (semuanya mengalir dan tidak ada sesuatupun yang tinggal tetap). Selalu terjadi perubahan-perubahan di dunia ini. Perjuangan membangun Indonesia Raya juga senantiasa mengalami perubahan konteks. Namun, di antara berbagai perubahan tersebut, terus tanamkan dalam hari kita, bahwa Indonesia Raya akan terbangun jika kita menjadi sebuah keluarga besar yang harmonis, berjalan beriring dan berdampingan menuju masa depan emas Indonesia yang benar-benar Raya. Indonesia Raya akan semakin kokoh di tangan pribadi dengan jiwa merdeka yang mahardika.
Selama Ulang Tahun ke-75 Indonesiaku....
Indonesia Raya.....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H