Mohon tunggu...
Lindawati
Lindawati Mohon Tunggu... Psikolog - Psikolog Klinis

Setiap orang unik, Setiap orang istimewa, Setiap orang berharga, Jadilah diri sendiri :)

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Anak yang Pencemas, Bagaimana Orangtua Menyikapinya?

31 Agustus 2020   08:55 Diperbarui: 31 Agustus 2020   12:38 2340
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar hanya ilustrasi: Gambar oleh Med Ahabchane dari Pixabay

Seperti orang dewasa, anak-anak juga merasa cemas, takut, atau khawatir pada waktu tertentu. Setiap anak mengekspresikan emosi tersebut dengan perilaku yang berbeda.

Contoh berikut menggunakan nama samaran: Andre yang berusia 1 tahun menangis saat digendong teman ayahnya yang baru pertama kali berkunjung ke rumah.

Atau, misalnya, hari pertama di sekolah, Fika yang berumur 4 tahun memegang erat tangan ibunya dengan mata berkaca-kaca ketika diminta masuk kelas.

Ada juga Chika yang duduk di kelas 4, merasa deg-degan menjelang presentasi tugas pertama kali di sekolah.

Dari pengalaman anak-anak tersebut, beberapa orangtua menanyakan apakah wajar bila anak merasa cemas, takut, atau khawatir.

Emosi cemas, takut, atau khawatir merupakan bagian dari proses perkembangan anak. Sumber yang menimbulkan emosi cemas dapat berubah sesuai tahapan usia anak.

Perubahan terjadi seiring dengan meningkatnya kemampuan berpikir, fisik, ataupun akibat pengalaman baru anak (Schroeder & Gordon, 2002). Pada contoh di atas, Andre merasa takut pada orang yang tidak familier (asing).

Hal tersebut umum terjadi pada anak usia 6 bulan hingga 3 tahun, dimana anak memelihara kedekatan dengan orangtuanya.

Chika merasa cemas karena membayangkan apakah nanti presentasinya berjalan lancar. Emosi yang dialami Chika adalah wajar, ia belum pernah mendapatkan tugas presentasi. Hal ini memotivasi Chika untuk mempersiapkan diri dengan baik, seperti latihan presentasi di depan cermin.

Jadi perasaan cemas, takut, atau khawatir adalah wajar terjadi pada rentang usia dan situasi tertentu. Selanjutnya emosi tersebut akan berkurang pada beberapa tahun berikutnya.

Lalu bagaimana dengan rasa cemas yang tidak wajar?

Kecemasan menjadi masalah yang serius apabila anak mengalami emosi cemas, takut, atau khawatir dengan intensitas yang berlebihan dan tidak dapat dikendalikan sehingga mengganggu fungsi dan aktivitas anak sehari-hari.

Gangguan kecemasan merupakan salah satu masalah kesehatan mental yang paling umum pada anak dan remaja.

Perkiraan jumlah kasus sangat bervariasi antara 2.5% hingga 5% (Wicks-Nelson & Israel, 2015). Meskipun umum terjadi, masalah ini tidak dikenali lebih dini sehingga anak tidak mendapatkan bantuan yang memadai.

Hal ini disebabkan ketakutan dan kecemasan seringkali muncul dengan gejala yang tidak terlihat secara langsung (mis. anak mengeluh mual), sehingga dianggap sebagai masalah fisik.      

Saya pernah bertemu dengan Momo (nama samaran) yang berusia 8 tahun. Momo mempunyai prestasi akademik yang baik di sekolahnya. Ia juga anak yang sopan, penurut, dan tepat waktu.

Namun hampir setiap hari, Momo merasa mual dan ingin muntah khususnya dalam perjalanan ke sekolah. Ia juga kurang nafsu makan sarapan yang disediakan.

Setiba di sekolah, ia enggan turun dari mobil dan merasa berat melangkahkan kaki menuju kelas. Hal ini terjadi sejak Momo masuk sekolah TK.

Masalah ini berlanjut dan berkembang di Sekolah Dasar. Pada hari-hari menjelang pelajaran atau aktivitas tertentu, ia merasa gelisah sehingga tidak dapat tidur malam dengan nyenyak. Misalnya, pelajaran olah raga atau evaluasi materi ujian di sekolah.

Bahkan, ia juga seringkali menolak untuk mengikuti kegiatan studi lapangan yang diadakan sekolah. Momo lebih nyaman beraktivitas di rumah daripada di luar rumah.

Orangtua sudah berusaha memeriksakan Momo ke dokter terkait keluhan mual dan muntah. Namun dokter tidak menemukan masalah fisik yang serius pada Momo.

Masalah yang dialami Momo menunjukkan bahwa kecemasan telah mengganggu aktivitas makan, tidur, dan fungsi sosial dalam jangka waktu yang lama.    

Cemas, takut, dan khawatir

Takut adalah suatu reaksi langsung terhadap ancaman (berupa situasi, objek) yang ditandai dengan respons melawan (fight), lari (flight), atau diam (freeze).

Contoh: Anak berusia 2 tahun takut ketika didekati barongsai, maka ia segera berlari kencang ke arah orangtuanya. Cemas merupakan suatu kondisi emosi negatif yang kuat dan berorientasi masa depan seperti bahaya, kejadian buruk, serta kemalangan yang mungkin akan terjadi.

Sedangkan khawatir adalah pikiran yang mengganggu dan sulit dikendalikan mengenai akibat negatif yang mungkin terjadi (Wicks-Nelson & Israel, 2015). Jadi khawatir merupakan bagian kognitif dari cemas.

Apa gejala yang muncul saat kita merasa cemas?

Gejala yang menyertai emosi cemas atau takut bervariasi. Mash & Wolfe (2005) mengelompokkan tiga gejala kecemasan, yaitu fisik (detak jantung meningkat, pusing, sesak napas, berkeringat, mual, otot tegang, mulut kering, atau lainnya), kognitif (sulit konsentrasi, pelupa, berpikir tidak mampu melakukan sesuatu), dan perilaku (menangis, berteriak, gagap, menggigit kuku).

Gejala tersebut dapat muncul bersamaan dalam suatu situasi. Misalnya, anak merasa mual dan menangis saat merasa cemas akan berangkat sekolah

Ada beberapa gangguan kecemasan yang dapat terjadi pada usia anak-anak. Namun saya menyampaikan dua gangguan kecemasan yang paling umum terjadi pada masa anak-anak, yaitu:

(1) kecemasan berlebihan terpisah dari pengasuh utama dan/atau jauh dari rumah yang tidak sesuai dengan usia perkembangan anak, diperkirakan berkisar antara 3% hingga 12% dari jumlah anak;

(2) kecemasan dan kekhawatiran yang berlebihan dan tidak dapat dikendalikan terhadap sejumlah kejadian atau aktivitas (tidak spesifik pada suatu situasi), diperkirakan sekitar 2% hingga 14% dari jumlah anak (Wicks-Nelson & Israel, 2015).

Mengapa gangguan kecemasan dapat terjadi pada anak?

Kecemasan dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti, genetik, temperamen, lingkungan terdekat, atau masalah lainnya. Penelitian pada keluarga menyatakan bahwa orangtua yang pencemas berisiko mempunyai anak yang pencemas.

Anak yang memiliki temperamen cenderung sangat waspada terhadap lingkungan, mudah gelisah, atau menarik diri yang berlebihan dari situasi asing berisiko tinggi mengembangkan kecemasan.

Lingkungan juga berkontribusi dalam perkembangan kecemasan. Keluarga adalah lingkungan yang terdekat dengan anak. Sejak kecil anak mengamati perilaku orang-orang terdekat ketika menghadapi situasi yang penuh tekanan.

Pada saat mengalami situasi yang serupa, anak meniru perilaku yang sering dilihatnya. Pola pengasuhan yang sangat protektif juga dapat menumbuhkan kecemasan. Anak menganggap lingkungan sekitar tidak aman dan mudah membayangkan hal terburuk.

Adanya harapan atau tuntutan yang terlalu tinggi dan tidak sesuai dengan kemampuan anak secara langsung membuat anak merasa cemas dan khawatir bahwa dirinya tidak melakukan dengan baik.

Selain itu, kritikan dan penilaian negatif yang diberikan secara intens akan mengakibatkan kecemasan pada anak.

Bagaimana menghadapi anak yang merasa cemas?

Tips-tips berikut dapat dilakukan orangtua atau orang dewasa terdekat. Hal ini bertujuan agar anak belajar mengatur emosinya dan mengembangkan perilaku yang sesuai.

Pertama, orangtua atau orang dewasa terdekat merupakan teladan bagi anak untuk belajar mengekspresikan dan mengelola emosinya. Sebaiknya orangtua bersikap tenang dan menentramkan saat berinteraksi dengan anak yang sedang cemas, takut, atau khawatir.

Kedua, anak dapat dibimbing untuk memahami emosi yang dirasakan, penyebab, dan tanda yang terjadi pada dirinya.

Misalnya, orangtua menyampaikan dengan kata-kata sederhana untuk anak-anak usia 5 tahun "Tadi Moni menangis karena takut", "Moni takut didekati anjing kepunyaan Mimi", "Moni jadi deg-degan dan gemetar",   

Ketiga, Mendukung anak mengekspresikan perasaan secara terbuka. Orangtua dapat memberikan pertanyaan "Apa perasaanmu ketika ......?". Emosi yang diekspresikan dapat menghambat perasaan takut atau khawatir yang tak terucapkan.

Pada contoh Momo, ia kesulitan mengekspresikan emosi cemas yang dirasakan. Ia belum terbiasa menyampaikan perasaannya terhadap orangtua. Saat anak mengungkapkan perasaan, sebaiknya orangtua menerima perasaan tersebut (tidak mengkritik atau menyalahkan anak).

Contoh: "Mama mengerti Moni takut dengan anjing Mimi yang besar itu."

Keempat, menyediakan waktu berdiskusi dengan anak. Dengan berdiskusi, orangtua dapat mengetahui apakah asumsi anak masuk akal atau tidak.

Apabila asumsi anak kurang masuk akal, orangtua dapat memberikan masukan secara positif sehingga anak juga menerimanya dengan positif.

Kelima, untuk anak yang sulit mengungkapkan diri, orangtua dapat menggunakan alat bantu seperti permainan yang dikombinasi dengan pertanyaan terbuka "Bagaimana perasaan murid-murid saat guru marah di kelas?" Membaca buku cerita yang menggambarkan emosi cemas, takut, atau khawatir juga dapat digunakan orangtua. Setelah membaca, anak diminta menceritakan pengalaman yang serupa. 

Keenam, mengucapkan kata-kata positif dan latihan relaksasi sederhana. Ketika anak merasa gelisah menjelang ujian, orangtua dapat membimbing anak melatih pernapasan seperti menarik napas perlahan selama 3 hitungan dan mengeluarkan selama 3 hitungan.

Orangtua juga menenangkan anak dengan kata-kata "Tenang dan relaks". Anak dapat diminta untuk mengucapkan kata tersebut secara berulang sehingga mampu menenangkan dirinya.

Ketujuh, saat anak merasa tegang (mis. hari pertama masuk sekolah), orangtua dapat mengajak anak melakukan aktivitas yang menyenangkan.

Contoh: mendengarkan musik, menggambar, atau bermain plastisin dalam perjalanan ke sekolah

Kedelapan, menciptakan suasana yang aman, positif, dan optimis di lingkungan rumah. Orangtua dapat memberikan pemahaman bahwa anak mampu menghadapi dan melewati situasi dan perasaan yang dialami.

Dan terakhir, orangtua dapat berkonsultasi dengan profesional yang terkait kesehatan mental (Psikolog, Psikiater). Terutama saat anak menunjukkan emosi dan perilaku cemas dengan intensitas dan frekuensi semakin meningkat, atau mengganggu fungsi dan aktivitas anak sehari-hari.

Hal ini untuk mengantisipasi masalah yang dapat berlanjut pada masa remaja dan dewasa. 

Yuk kenali emosi cemas anak-anak dan berikan penanganan yang tepat sesuai kebutuhan mereka :)

***

Daftar Referensi

  • Schroeder, Carolyn S. & Gordon, Betty N. (2002). Assessment and Treatment of Childhood Problems (Second Edition). New York, NY: The Guilford Press.
  • Mash, Eric J. & Wolfe, David A. (2005). Abnormal Chil Psychology (Third Edition). Belmont, CA: Thomson Wadsworth.
  • Wicks-Nelson, Rita & Israel, Allen C. (2015). Abnormal Child and Adolescent Psychology with DSM-V Updates (Eighth Edition). Pearson Education

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun