"Ini rumpun asoka yang kuambil dari danau itu. Kutanam di bawah jendela kamar. Sudah kusisakan untukmu. Yah, pihak perpustakaan kota hendak membangun kafetaria di situ." Aku menggantungkan keranjang kecil itu di stang motornya.
"Terima kasih, Citra. Lama sekali aku menyadari banyak yang hilang yah? Masih boleh kita berteman kan? Aku ada rencana menulis buku, dan butuh kau menjadi pembaca pertamanya. Mau?"
"Boleh, asalkan selama kita berbincang semua aplikasi di gadget kamu disconnet-kan. Dengan begitu perbincangan kita baru connect. Jadi kamu bisa melihat indahnya pelangi yang terselip di antara awan dan birunya langit."
"Tapi kita tak punya danau lagi tempat nongkrong?"
"Ih, kreatif dikit dong. Kita bisa jadikan keluarga, sahabat, murid-murid kita danau itu sendiri kan? Mengapa tidak meluangkan waktu untuk duduk bersama dan bercengkerama, entahpun cuma bertukar canda di beranda. Itulah 'telaga' tak bertepi kita, tempat jiwa dan raga melepas dahaga."
Ganda mengacungkan kelingking, yang kusambut dengan menautkan kelingkingku juga di sana.
"Ini kado ulang tahun yang berarti banyak buatku." Ganda menepuk-nepuk keranjang rotan berisi rumpun asoka. "Terima kasih, Citra."
Aku melambaikan tangan sampai Ganda membelok di mulut gang. Jangkrik-jangkrik masih terus bernyanyi.
Betapa lega, hari-hari tak akan lagi sunyi. Masih ada telaga tak bertepi, hari-hari tak akan lagi sepi.
(Dimuat di Cerpen Minggu Koran Sinar Indonesia Baru, 15 April 2012).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H