“Aku mungkin akan nyopot dari sekolah ini saja.”
Aku membiarkan suara itu berlarian bersama angin yang kembali meniup. Membohongi diri seolah-olah tidak mendengar apa yang Tarno sampaikan. Bahkan, mengharap keputusan itu tidak pernah ada, tidak pernah kudengar keluar dari mulutnya. Aku tetap duduk. Mematung. Pun, saat Tarno beranjak untuk mengambil tasnya ke kelas dan mengakhiri persahabatan kita di SMP ini. Menghentikan alur mimpi kita untuk menyudahi silsilah kemiskinan dan mungkin bisa disebut juga warisan kemalangan hidup.
* * *
Suasana musim gugur selalu menyenangkan, selalu ditunggu kehadirannya. Suhu yang mulai bersahabat dan tentu saja, warna daun-daun yang menggoda hati. Pohon mapel melukis daunnya menjadi kemerah-merahan. Pohon gingko sedap dipandang berlama-lama sebab kuning-kuning daunnya. Ranting-ranting pohon sakura yang ranggas pun eksotik untuk difoto.
Menyenangkan juga bagiku musim gugur tahun ini. Apalagi hari ini, aku sudah menunggunya mulai awal bulan agar hari Minggu ini segera hadir. Sejak pagi aku sudah mempersiapkan diri untuk menuju Yoyogi Koen. Aku akan bertemu seseorang yang hampir 22 tahun terpisah. Dialah sahabatku waktu SMP, Tarno.
Bertemu setelah lama tercerai oleh suratan takdir. Bertemu di negeri yang dahulu hanya ada dalam lamunan kita untuk dijamah.
“Konnichiwa!!!....”
Kita berjabat tangan kuat, sampai terguncang-guncang. Saling merangkul.
“Apa kabar, Tar?” Tanyaku kemudian.
“Baik, ... baik, ... baik sahabatku.”
Tidak ada air mata haru. Kita bahkan tertawa lepas menikmati adegan yang mungkin hanya Tuhan yang tahu akan terjadi. Tubuhnya tidak lagi pendek dan kurus. Memori tentang rambutnya yang kumal dan kulitnya yang mbengkerok sirna sudah. Sosok Tarno adalah kekinian yang baru. Hanya raut mukanya yang tidak berubah, sama seperti masa-masa SMP dua puluhan tahun yang lalu.