"Tetapi bagaimana kalau pak Prof. gagal menjawabnya?"
Bibir Prof. Kompyang bergetar, sementara amarahnya hampir saja meledak. Dia adalah profesor matematika yang benar-benar profesor matematika. Bagaimana anak ingusan ini berani mengatakan bahwa dia belum tentu mampu menjawab soal matematikanya.
"Aku tidak akan mengajar matematika lagi!" jawab sang profesor cepat.
"Kalau begitu saya tidak akan memberikan soal itu," jawat Ketut tidak kalah cepatnya.
"Hai, mengapa? Engkau khawatir aku tidak bisa menjawabnya? Jangan khawatir anak muda, sampai saat ini seingatku belum ada soal matematika yang gagal kujawab."
"Saya tetap tidak akan memberikan soal itu kalau sebagai taruhannya pak Prof. tidak mau mengajar lagi," Ketut, yang mulai semakin tenang, bersikeras.
Sedangkan teman-temannya yang semula kecut hatinya, mulai tenang dan sekaligus tertarik menyaksikan dialog ini. Benar-benar tidak mereka sangka  bahwa teman mereka dengan tampang kampungan semacam ini, ternyata mampu membuat Prof.  Kompyang, profesor matematika tergalak di seantero pulau Bali, larut dalam dialog.
"Lalu ..."
"Saya baru akan berikan soal itu, kalau pak Prof mau berjanji bahwa jika pak Prof gagal menjawab soal ini, pak Prof akan tetap mengajar seperti biasa, hanya marah-marah dan bentakannya saja yang dikurangi. Itu saja permintaan saya! Kalau pak Prof tidak setuju dengan syarat ini, ya ..."
Dengan cerdik Ketut Sudiarta berhenti dan tidak melanjutkan kalimatnya. Prof. Kompyang tercenung, wajahnya yang sarat dengan pengalaman tidak menampakkan apa-apa tetapi bagi orang yang berpengalaman, dari sinar mata sang profesor akan terlihat betapa bergemuruhnya dada sang profesor.
Setelah lama tercenung, akhirnya dengan suara yang tampak jelas diusahakan seramah mungkin, sang profesor akhirnya berkata: