Mohon tunggu...
Tri Budhi Sastrio
Tri Budhi Sastrio Mohon Tunggu... Administrasi - Scriptores ad Deum glorificamus

SENANTIASA CUMA-CUMA LAKSANA KARUNIA BAPA

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen Kontemporer: Nawa Aksara

10 Maret 2021   17:38 Diperbarui: 10 Maret 2021   18:42 188
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Nawa Aksara
Tri Budhi Sastrio

Kesempatan memang tak boleh dibuang ketika ia datang!
Tetapi manakala nuansa ketidak-jujuran juga bermain,
Masih ingatkah manusia akan hukum karmapala?
Hukum yang mengatakan barang siapa menanam
Dialah yang juga akan memetik?

          Kharisma sang Bung tampaknya benar-benar memudar. Ketika pidatonya berakhir tak lagi ada tepuk tangan, tak lagi ada orang yang berdiri. Semua orang tetap duduk, semua orang diam. Beberapa dari mereka memang saling pandang, tetapi selebihnya diam membisu seakan-akan mereka tak kenal pada orang yang baru saja selesai menyampaikan pidato pembelaan itu.

          Kemudian, acara tunggal tersebut bubar begitu saja. Masing-masing pulang ke rumah. Esok persidangan masih akan dibuka lagi. Acaranya juga tunggal. Pembahasan masing-masing fraksi. Setelah acara ini usai, persidangan akan memasuki acara yang sangat penting, pendapat akhir fraksi. Diterima ataukah ditolak, inilah sebenarnya esensi sebuah pidato pertanggungan jawab. Jika diterima, sang Bung akan terus menjalankan roda pemerintahan, tetapi jika ditolak ... yah, apa mau dikata! Dia harus menyerahkan segala-galanya!

***

          "Anda tentu tahu siapa yang saya wakili, bukan?"  Kolonel berwajah sangar itu mendesis pelan. Hanya wajah dan potongannya yang mengatakan dia seorang Kolonel angkatan darat dan ini sudah cukup membuat orang yang duduk di depannya bergetar. Dia memang tidak menggunakan seragam tetapi seragam mana yang dapat menandingi tajamnya sinar mata dan tegasnya suara  mendesis tajam seperti itu?

          "Anda ketua fraksi terakhir yang didatangi malam ini," dia melanjutkan tetap dengan sinar mata setajam pedang.

          Pria setengah baya di depannya, yang dipanggilnya dengan sebutan ketua fraksi menarik nafas panjang.

          "Jika anda juga setuju untuk menolak pidato pertanggung-jawaban itu, maka bulatlah semuanya. Orang yang saya wakili tidak menginginkan adanya perdebatan panjang bertele-tele hanya karena satu fraksi tidak setuju!"

          "Tetapi ..."

          "Pak," potong sang Kolonel cepat. Tubuhnya dicondongkan ke depan, sinar matanya bak tajam pedang menyambar berkilat, "dengarkan baik-baik! Saya lelah! Saya ingin pulang dan tidur. Menghubungi sekian banyak ketua fraksi kurang dari 6 jam adalah pekerjaan yang bukan main melelahkan dan bapak tahu, orang lelah akan cepat marah dan orang yang marah bisa melakukan apa saja. Saya pun begitu! Saya akan lakukan apa saja guna mempercepat proses memperoleh kepastian sekaligus akan melakukan apa saja untuk memperoleh kepastian yang jelas."

          Kolonel itu membasahi bibirnya. Laki-laki di depannya tampak duduk termangu. Sinar keraguan jelas membayang dari matanya, sementara lamat-lamat sinar kecemasan tak mampu ditutupinya. Keadaan memang semakin genting sekarang. Pembersihan besar-besaran sedang dan telah dilakukan. Kelompok yang pernah menganggap dirinya menjadi korban sedang  haus darah pembalasan. Membunuh memang bukan sumpah mereka tetapi demi menyelamatkan bangsa dan negara (itulah alasan yang digunakan ketika itu), mereka seakan-akan diperkenankan dan boleh membunuh, dan tampaknya hal inilah yang sedang dilakukan ketika itu. Mereka akan membunuh siapa saja yang dianggap penghalang. Mereka akan membabat siapa saja yang tidak mau bekerja sama. Termasuk dirinya, tentu saja!

          Dalam keadaan seperti ini, apa susahnya menghilangkan dirinya? Jika tidak boleh dikatakan semudah membalikkan telapak tangan, tentunya sangat mudah sekali. Sebutir peluru akan mengakhiri segala-galanya. Orang-orang memang sedikit gempar, koran-koran akan memberitakan, pemeriksaan akan dilakukan, tetapi setelah itu? Dia yakin bahwa pembunuhnya tidak akan pernah berhasil diungkapkan. Dia akan menghilang begitu saja, keluarganya akan menerima uang duka dan uang pensiun, sementara itu pengadilan belakang layar ini tetap akan menjatuhkan vonisnya. Tak ada yang bisa membendung, tak ada yang bisa merintangi. Tampaknya takdir memang telah menentukan demikian!

          Lalu bagaimana dengan keyakinannya? Bagaimana dengan keyakinannya bahwa sang Bung tidak bersalah? Bahwa sang Bung sebenarnya sedang terjebak dalam permainannya sendiri tanpa menyadari bahwa jerat-jerat yang dipasang lawan-lawannya semakin erat dan rapat sehingga dia tidak berdaya? Apakah dia harus membiarkan saja keyakinan ini hanyut bersama-sama dengan arus kemarahan, arus kebencian, dan arus memanfaatkan  peluang dan kesempatan? Bukankah dia seharusnya mengeluarkan suara lantang untuk mengungkapkan suara hatinya, sama seperti suara nurani beberapa koleganya?  Bukankah itu yang seharusnya dilakukan? Tetapi ... lamunannya buyar ketika suara sang Kolonel terdengar lagi.

          "Bagaimana, pak?" suara itu semakin lembut sekarang, tetapi nada ancamannya justru semakin jelas. "Apakah Bapak sudah mengambil keputusan? Seluruh kolega bapak yang lain, seluruh ketua fraksi yang lain sudah menyatakan ya. Mereka paham apa yang sedang terjadi dan mereka telah menentukan sikap. Bapak tidak perlu ragu-ragu. Jika Bapak memang bersikeras untuk tidak setuju, Bapak toh tidak mungkin melawan suara dari fraksi-fraksi lainnya. Jadi ..."

          "Tetapi bagaimana saya tahu bahwa semua ketua fraksi yang lain sudah menyatakan setuju," sekarang dia yang memotong pembicaraan.

          Orang yang mengaku Kolonel ini menggeleng-gelengkan kepala tetapi senyum merebak di wajahnya yang keras. Senyum yang dirasa tak jauh berbeda dengan senyum dalam foto tanda pengenal yang tadi diletakkan di meja.

          "Bapak memang tidak tahu tetapi bapak bisa menghubungi mereka sekarang, meskipun saya tidak yakin bapak dapat melakukannya melalui telepon. Sebagian besar saluran telpon kota terputus. Ada gangguan tetapi Bapak dapat menghubungi mereka bersama-sama dengan kami. Ingat pak, jam malam belum dicabut. Bapak tidak bisa keluar dari rumah lebih dari jam sepuluh malam tanpa kami temani secara khusus Sekarang ..." Kolonel itu melirik arlojinya. "sudah mendekati jam sepuluh. Jadi kalau bapak memang benar-benar tidak mempercayai keterangan yang saya berikan, saya bersedia mengantarkan Bapak sekarang juga ke rumah masing-masing ketua fraksi kolega Bapak."

          Laki-laki itu kembali menghela nafas. Panjang dan berat. Firasatnya mengatakan bahwa orang di depannya ini tidak bisa dipercaya tetapi bagaimana dia bisa menolak desakan dan tekanan seperti ini? Mendatangi rumah ketua fraksi lainnya untuk memastikan bahwa dia benar-benar satu-satunya ketua fraksi yang belum menyatakan setuju? Memang bisa dilakukan tetapi jelas itu adalah tindakan yang sama sekali konyol.

          Kalau si Kolonel tidak bohong, dia pasti akan diantarkan ke alamat-alamat yang dituju tetapi kalau si Kolonel bohong, begitu dia keluar dari pagar halaman rumah, dia sebenarnya sudah berubah menjadi seonggok daging dan tulang yang berjalan. Dia akan segera dihabisi. Siapa sih yang tidak tahu dan tidak bisa melihat dengan jelas kemungkinan yang sangat jelas dan kentara ini.

          "Bagaimana, pak?" kembali suara lembut yang penuh desakan itu terdengar. "Begitu Bapak menyatakan persetujuan, selesailah tugas saya, selesai juga tugas Bapak! Tetapi jika memang minta diantar, sekarang juga ..."

          "Baiklah," kata laki-laki setengah baya itu pada akhirnya. Wajah istri dan dua putrinya yang masih duduk di bangku SD membuatnya tidak mempunyai banyak pilihan. Ke mana mereka akan berlindung dan bagaimana nasib mereka jika dia menghilang begitu saja?

          "Terima kasih," kata sang Kolonel cepat. "Bapak membuat keputusan yang tepat."

          Kemudian, sama cepatnya dengan kata-kata yang dilontarkan, sang Kolonel mengeluarkan sesuatu. Sekarang di hadapan sang ketua fraksi ada sebuah surat pernyatan.

          "Tanda tangani surat pernyataan ini dan Bapak bisa tenang melewati malam ini dan malam-malam berikutnya!"

          Apalagi yang bisa dilakukan sang ketua fraksi kecuali menanda tangani surat pernyataan itu. Sekarang semuanya benar-benar selesai! Mulut telah dibungkam, nurani pun telah dikhianati. Tak ada yang bisa dilakukan kecuali  pasrah dan menunggu gelombang pasang menerjang sang Bung.

***

          "Bagaimana Kolonel?" suara lembut itu menyapa tepat setelah pintu mobil militer tertutup. Sang Kolonel menoleh dan mengangguk.

          "Siap Jenderal. Semuanya beres dan berjalan sesuai dengan rencana! Jika ketua fraksi pertama yang kita kunjungi ini berhasil dipengaruhi, tidak ada alasan ketua fraksi yang lain tidak akan berhasil dipengaruhi!"

          Jendral misterius itu tersenyum.

          "Langkah Jenderal memberlakukan jam malam dan memblokade hampir semua sambungan telepon adalah langkah yang tepat."

          "Bagus! Sekarang kita bisa segera ke rumah ketua-ketua fraksi yang lain. Sebelum fajar semuanya harus sudah tuntas. Aku tidak ingin burung yang sudah ada di tangan terbang dan lepas kembali!"

          "Siap Jenderal!"

          Kemudian sang Kolonel memerintahkan pada sopir untuk berangkat. Tiga mobil misterius penuh dengan tentara bersenjata lengkap mengiringi mobil sang Jenderal.

          "Sang burung tidak akan pernah terbang lagi, Jenderal," kata sang Kolonel menambahkan. "Sayap-sayapnya telah kita ikat sekarang."

          Jenderal itu tidak menjawab, tetapi senyumnya yang polos tanpa dosa kembali mengembang. Dia menyandarkan tubuh dengan santai. Masih ada banyak ketua fraksi yang harus dihubungi tetapi dia yakin sebelum fajar semuanya akan sepakat untuk berdiri di belakangnya, meskipun untuk saat ini mereka tidak menyadari hal itu. (R-SDA-10032021-087853451949)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun