Sampai  lama  sekali  aku menatap tulisan  itu.  Ya  ampun, betapa sederhananya tetapi mengapa aku sama sekali tidak berpikir ke arah sana?
"Bagaimana? Kau puas sekarang?" suara Santoso menyadarkanku.
"Memang tak bisa dipungkiri aku gagal membuktikan kata-kataku tetapi satu hal tidak kumengerti. Mengapa di koleksimu ada sebuah cangkir hitam yang sama sekali  tidak retak?"
"Ya, itulah! Bukankah kemarin sudah kukatakan, kalau engkau mau melihat dan sekaligus berpikir dengan cermat, mungkin engkau bisa melihat maksudku. Pada mulanya aku bermaksud membuat koleksi cangkir-cangkir berwarna aneh  tetapi  baru  saja  aku  berhasil mendapatkan cangkir berwarna hitam, sebuah ide yang kupikir lebih sempurna melintas. Mungkin saja ada orang yang sama idenya dengan aku, tapi kalau pengoleksi cangkir retak, aku yakin belum. Itulah sebabnya,  saat itu juga aku banting setir. Tujuan semacam  apa lagi yang melandasi pengoleksi semacam aku ini kalau bukan ingin dikenal sebagai orang yang lain daripada yang lain?"
"Tapi pegawai pabrik cangkir bisa mengumpulkan  lebih banyak dalam waktu yang lebih singkat kalau dia  mau!"  kataku mencoba mementahkan argumennya
"Nilai  cangkir  yang  masih sama  sekali  belum  terpakai, dengan  cangkir  yang retak yang sudah dipakai tentu  saja  berbeda. Yang  pertama  tidak mempunyai nilai keanehan, cuma punya  nilai kecerobohan  kerja.  Sedangkan  yang kedua punya nilai keunikan tersendiri."
Apalagi yang bisa kukatakan sekarang, kecuali  menerima semua  itu.  Memang bukan hal yang mustahil, kalau  nama  temanku yang aneh ini suatu ketika nanti dikenal oleh dunia internasional. (R-SDA-09032021-087853451949)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H