Mohon tunggu...
Tri Budhi Sastrio
Tri Budhi Sastrio Mohon Tunggu... Administrasi - Scriptores ad Deum glorificamus

SENANTIASA CUMA-CUMA LAKSANA KARUNIA BAPA

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen Kontemporer: Kopor Misterius

4 Maret 2021   12:16 Diperbarui: 4 Maret 2021   12:23 362
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://pixels.com/featured/old-train-station-pati-pelz.html

K O P O R   M I S T E R I U S
Tri Budhi Sastrio

Masa tua adalah masa paling merisaukan,
Apalagi jika sama sekali tak ada jaminan
Bahwa Penghasilan masih akan ada dan
Kesehatan masih prima!
Karenanya berbahagialah mereka
Yang terjamin, mereka yang terpelihara!

Lebih dari dua puluh tahun lamanya pak Karjo mengabdikan diri sebagai pegawai harian dengan tugas utama menyapu bersih pelataran stasiun kereta api. Sebagai orang yang sudah lama bekerja pada jawatan milik pemerintah itu, Pak Karjo sangat ingin diangkat menjadi pegawai negeri tetapi keinginan yang satu ini entah mengapa tetap cuma menjadi semacam mimpi indah saja dan seperti lazimnya sebuah mimpi, semuanya akan berakhir begitu  si pemimpi terjaga.

Begitu juga pak Karjo. Lebih dari tiga kali mengajukan permohonan pada kepala stasiun tempat ia berkerja tetapi yang didapatkan cuma pesan dan janji agar tetap bersabar. Apalagi yang bisa dilakukan pegawai rendahan seperti dia kecuali menanti dan menanti? Pengetahuan dan pendidikan yang terbatas, memang membuat pak Karjo tidak berdaya menulis permohonan sendiri, sehingga selama ini ia hanya mengajukan permohonan secara lisan. Jadi tidak terlalu mengherankan jika begitu permohonan itu selesai diucapkan selesai pula kelanjutannya.

Sekarang pak Karjo berniat mengajukan permohonan untuk yang keempat kalinya dalam kariernya selama ini tetapi entah mengapa untuk yang keempat ini pak Karjo ragu-ragu. Dia ragu dan merasa malu kalau permohonannya yang keempat akan mengalami nasib sama seperti tiga yang terdahulu.

Berhari-hari bimbang, antara sekali lagi memohon atau tidak. Berhari-hari pula pak Karjo menyapu pelataran stasiun dengan pikiran sibuk menerawang masa depan dan masa lampau sekaligus. Dia masih ingat dengan jelas ketika pertama kali diterima bekerja. Waktu itu yang menjabat kepala stasiun bukan kepala stasiun yang sekarang. Dengan muka pucat dan suara agak gemetar, Karjo memberanikan diri masuk ke kantor kepala stasiun dan dengan susah payah ia mengutarakan maksudnya. Dia juga mengatakan, bahwa dia akan bekerja baik, sebaik tukang sapu yang terdahulu, yang dia tahu baru beberapa hari yang lalu telah meninggal dunia.

Pak Karjo juga masih ingat dengan jelas bagaimana kepala stasiun menatap mukanya, memperhatikan keadaan tubuhnya, sebelum akhirnya mengangguk pelan tanda setuju. Ia sangat gembira ketika itu, karena dengan diterima bekerja berarti dia bisa makan setiap hari secara teratur.

Memang apalagi yang sangat dikhawatirkan oleh orang  semacam pak Karjo, dan mungkin juga sebagian besar dari kita, kecuali bisa makan dengan teratur setiap hari? Baru setelah jaminan nafkah ada, seseorang bisa memikirkan hal-hal lainnya.

Kembali terbayang dipelupuk mata Pak Karjo, hari-hari dia bekerja dengan tekun. Tugasnya dilaksanakan dengan penuh kecintaan, sehingga hasilnya tentu saja memuaskan. Yang terakhir ini memang menjadi hukum alam dalam kehidupan manusia. Barang siapa mengerjakan segenap tugas dan kewajiban dengan rasa cinta akan tugas dan kewajiban tersebut, maka kesuksesan dan keberhasilan akan berpihak padanya.

Hari demi hari terus dilalui dengan penuh rasa gembira. Jutaan manusia dengan penampilan berbeda telah disaksikan oleh pak Karjo. Jutaan tingkah laku juga diamati dengan tekun. Ada yang secara sembrono membuang sampah tetapi ada juga orang-orang yang tahu akan peraturan. Mereka membuang sampah pada tempat yang telah disediakan.

Untuk orang yang secara serampangan membuang sampah sebenarnya pak Karjo heran setengah mati. Bagaimana tidak? Lebih dari enam buah bak sampah besar-besar dengan tulisan menyolok tersebar di dekat tempat-tempat duduk tetapi mereka toh masih membuang sampah seenaknya saja. Yang lebih mengherankan pak Karjo, tidak jarang kalau tidak boleh dikatakan hampir semua yang membuang sampah sembarangan itu adalah orang-orang yang berpakaian rapi dan necis. Laki dan perempuan dari jenis ini sama saja. Apakah mereka memang tidak melihat bak sampah dengan tulisan menyolok itu ataukah karena mereka malas, pak Karjo tidak tahu dengan pasti.  Pak Karjo cenderung setuju dengan alasan yang kedua. Mereka tentu malas bangkit dari tempat duduk karena amatlah mustahil kalau orang-orang seperti mereka ini tidak bisa membaca.

Dari masa lampau pak Karjo berganti membayangan masa depan. Pak Karjo tidak tahu apa masa depan cerah atau masa depan suram itu, tetapi secara naluriah dia tahu bahwa masa depannya akan terasa cerah jika ia mau berpikir seperti itu. Dengan berpikir sederhana seperti ini sebenarnya pak Karjo telah memberi contoh bagi banyak orang, bagaimana seharusnya memandang masa depan. Masa depan bagi pak Karjo tak ubahnya seperti selembar kertas kosong. Tergantung pada masing-masing pribadi bagaimana mengisinya. Kalau kertas itu diisi dengan cerita-cerita bahagia, maka kelak akan terbaca hal-hal yang bahagia, tetapi kalau diisi hanya dengan hal-hal surang dan penuh keragu-raguan belaka, maka tidak dapat diragukan lagi jika kelak yang akan terbaca adalah hal-hal yang suram.

Pak Karjo mungkin akan terus melamun jika pengeras suara stasiun tidak mengumumkan kedatangan kereta api. Hmm, pekerjaan baru untukku, gumam pak Karjo dalam hati. Pak Karjo tidak salah jika bergumam seperti itu karena para penumpang yang baru turun biasanya banyak membuang sampah  di pelataran stasiun.

Tiga menit kemudian kereta masuk. Stasiun yang semula sepi sekarang riuh kembali. Sepi baru kembali setelah kereta berangkat meneruskan perjalanannya dan orang-orang yang turun sudah meninggalkan stasiun. Sekarang pak Karjo mulai menyapu lagi. Selesai menyapu, pak Karjo kembali berpikir tentang permohonannya. Bayangan akan mendapat pensiun di hari tua sangat menggodanya. Sekali pun sampai saat ini pak Karjo masih bujangan tetapi jaminan kehidupan di hari tua tetap sangat ia dambakan.

Kepala stasiun tentu masih berada di kantornya, kata pak Karjo pada dirinya sendiri. Kapan lagi kalau tidak sekarang, pak Karjo memompa keberaniannya. Baiklah, sekarang juga akan kutemui dia, tekad pak Karjo akhirnya. Yang pertama dikerjakan adalah mengembalikan sapu pada tempatnya. Baru setelah itu dia melangkah ke arah kantor kepala stasiun. Di pintu masuk pak Karjo berhenti sejenak kemudian mengetuk pintu.

"Siapa? Masuk!" terdengar suara kepala stasiun dari dalam.

"Saya Karjo, pak!" kata pak Karjo sambil melangkah masuk.

"Oh, pak Karjo! Silahkan, pak! Ada keperluan?" kata kepala stasiun dengan senyum mengembang di bibir.

"Ya pak, saya ada perlu!" kata pak Karjo dengan suara rendah.

"Silahkan duduk dulu, pak," kata kepala stasiun sekali lagi menyilahkan sambil tangannya menunjuk kursi di depannya.

Sedikit ragu-ragu tetapi akhirnya pak Karjo duduk juga.

"Begini pak!" katanya setelah duduk, "tentang permohonan saya yang dulu. Apakah sudah ada kabarnya?"

"Ehm, tentang pengangkatan menjadi pegawai negeri, ya?"

"Ya, pak!" angguk pak Karjo.

"Sayang sekali, belum ada kabar pak Karjo! Kerja orang orang pusat kadang memang lamban tetapi pak Karjo tidak usah terlalu khawatir, saya yakin pada suatu ketika nanti, surat pengangkatan itu akhirnya akan datang juga."

"Mudah-mudahan begitu, pak," kata pak Karjo lirih, "saya memang sangat mengharapkan surat pengangkatan itu pak! Karena bagi orang seperti saya ini, ke mana lagi akan menggantungkan hidup di hari tua nanti, kalau tidak pada pemerintah?"

"Saya mengerti," kata kepala stasiun sambil mengangguk angguk. "Mudah-mudahan tidak terlalu lama lagi impian pak Karjo akan menjadi kenyataan. Sebentar lagi saya akan pulang pak, apakah pak Karjo masih tetap di sini atau akan pulang juga?"

"Saya masih akan tetap di sini dulu, pak. Kalau bapak mau pulang, saya permisi mau ke luar dulu pak," kata pak Karjo paham bahwa waktu berbicara sudah habis.

"Silahkan pak," kata kepala stasiun.

Setelah sekali lagi mengangguk, pak Karjo berdiri dan meninggalkan kursinya lalu melangkah keluar.

Di luar, terutama di ruang tunggu, keadaan lengang. Tak seorang pun ada di sana. Pak Karjo meneruskan langkahnya menuju ke bangku di deretan kedua, mau beristirahat sambil tidur-tiduran di sana. Entah mengapa ia segan kembali ke rumah, sekali pun sebenarnya tidak ada pekerjaan baginya, sudah selesai semua.

Ketika pak Karjo meletakkan pantatnya dan bersiap-siap membaringkan tubuh, matanya tertumbuk pada sebuah kopor hitam terletak mendatar di bawah bangku deretan ketiga. Eh, siapa pemilik koper ini, desis pak Karjo dalam hati. Sekali lagi pak Karjo melongok ke kanan dan ke kiri, tetapi memang tak ada seorang pun di pelataran stasiun maupun di ruang tunggu.

Tentu ada orang yang kopernya tertinggal di sini, piker pak Karjo dalam hati. Setelah beberapa saat berpikir, pak Karjo meneruskan maksudnya untuk berbaring tanpa ada keinginan menyentuh kopor hitam itu. Ia memutuskan beristirahat sambil menunggu kembalinya si pemilik kopor. Beberapa saat kemudian dilihatnya kepala stasiun keluar dari kantornya.

"Mau pulang pak!" sapa pak Karjo sambil bangkit dari posisinya.

"Eh ya," balas kepala stasiun. "Bagaimana dengan pak Karjo? Masih ingin tidur-tiduran di sini?"

"Ya, pak!"

Kepala stasiun tersenyum. "Pamit dulu pak," katanya kemudian, "setengah jam lagi saya akan kembali!"

Pak Karjo mengangguk. Diperhatikannya langkah kepala stasiun perlahan-lahan menghilang di balik pintu keluar stasiun. Orang yang bahagia, desis pak Karjo kemudian. Sebelum berbaring kembali, sekali lagi pak Karjo melirik kopor hitam yang belum diketahui pemiliknya itu. Sungguh sembrono orang ini, kata pak Karjo dalam hati, bagaimana seandainya dia tidak ada di sini, bukankah orang lain dengan mudah mengambilnya? Berkali-kali pak Karjo menggelengkan kepala karena kesembronoan orang itu.

Pak Karjo baru terbangun dari tidurnya ketika lonceng stasiun mendentangkan bunyinya yang khas. Sedikit nanar  pak Karjo melihat ke sana ke mari tetapi pelataran dan ruang tunggu tetap sunyi seperti tadi. Kantor kepala stasiun dilihatnya juga masih sepi tetapi pak Karjo yakin kepala stasiun ada di dalam. Kalau tidak sedang menulis tentu sedang membaca buku!

Ketika pak Karjo melirik ke belakang, ke bawah deretan bangku nomer tiga, kopor hitam masih tergeletak di sana. Agak lama juga pak Karjo memperhatikan kopor hitam sambil perlahan-lahan mengembalikan kesadarannya. Setelah kesadarannya pulih, pak Karjo bangkit dari duduk, menggeliat sebentar lalu menuju ke deretan bangku nomor tiga di belakangnya.

Sesampainya di depan kopor hitam itu, pak Karjo membungkukkan badan, dan tanpa ragu-ragu diangkatnya kopor yang tergeletak mendatar itu. Tidak begitu berat, pikirnya.

Kopor hitam itu kopor yang cukup mahal. Luarnya masih mengkilat dan masih baru. Dipegangannya ada label cukup besar tergantung pada benang. Untuk menulis pak Karjo memang tidak begitu becus tetapi membaca sedikit-sedikit dia bisa. Diambilnya label itu dan tulisan di atasnya ternyata mengejutkan dirinya.

Tulisan itu ditulis dengan huruf balok yang jelas sekali.

SIAPA SAJA PENEMU TAS INI DIALAH PEMILIKNYA.

TERTANDA TANPA NAMA.

Eh, permainan apa pula ini, kata pak Karjo dalam hati. Akan kutanyakan hal ini pada kepala stasiun, kata pak Karjo akhirnya. Dengan cepat ia melangkah ke kantor kepala stasiun, sambil menjinjing kopor hitam.

Setelah lebih dulu mengetuk pintu, pak Karjo masuk tanpa menunggu jawaban dari dalam. Kepala stasiun sedang asyik membaca buku. Dia mengangkat kepala ketika mendengar ketukan di pintu tetapi si pengetuk ternyata sudah di depannya.

"Belum pulang pak Karjo?" sambut kepala stasiun, sedangkan matanya melirik ke kopor hitam di tangan kanan pak Karjo.

"Belum pak!" kata pak Karjo. "Begini pak, saya menemukan kopor ini di luar dan tulisan dilabelnya benar-benar aneh!"

"Aneh? Apanya yang aneh?"

"Bapak lihat sendiri," kata pak Karjo sambil mengangkat kopor hitam itu ke atas meja. "Saya sudah perhatikan sejak tadi tetapi tak seorang pun datang mengambil kopor ini. Setelah saya baca  tulisan pada labelnya baru saya mengerti mengapa tidak ada orang datang mengambil!"

Kepala stasiun menerima kopor hitam itu dari tangan pak Karjo.

"Eh!" serunya setelah selesai membaca label. "Siapa saja penemu tas ini dialah pemiliknya. Tertanda tanpa nama." Kepala stasiun menggigit bibirnya. "Wah kalau begitu jelas sekali kopor ini menjadi milik pak Karjo sekarang!"

"Inilah yang saya herankan, mengapa kopor ini harus menjadi milik saya?"

"Karena pak Karjo-lah yang pertama kali menemukannya dan ini sesuai dengan wasiat yang tertera pada kopor ini. Tidak penting siapa yang mempunyai permainan ini tetapi yang jelas kopor ini sah menjadi milik pak Karjo sekarang. Saya saksinya," kata kepala stasiun sambil kembali tersenyum.

"Tetapi ...."

"Tetapi apa lagi, pak! Buka saja kopor itu, nanti akan kita ketahui siapa dan apa maksud sebenarnya si pemilik kopor!"

"Kopor ini kelihatannya terkunci, pak," kata pak Karjo lagi. "Kan sayang kalau harus dirusak untuk membukanya?"

"Benar juga," kata kepala stasiun lirih, "si pemberi kopor ini tentu tidak ingin kalau kopornya dirusak, bukan? Hanya saja mengapa dia tidak memberikan kuncinya sekalian?"

Kalimat terakhir ini seperti ditujukan pada diri sendiri. Kemudian secara tiba-tiba ia bertanya pada pak Karjo: "Di mana pak Karjo temukan kopor ini?"

Pak Karjo gelagapan mendapat pertanyaan tiba-tiba ini.

"Di bawah bangku deretan nomer tiga di ruang tunggu, pak," katanya sedikit tergagap.

"Ah, mungkin saja kunci kopor diletakkan tidak jauh dari sana! Ayo ke sana sekarang dan kita cari kunci itu. Saya yakin orang itu tentu menyertakan kunci kopornya sekalian!"

Pak Karjo mengangguk. "Kita coba saja, pak!"

Kedua orang ini kemudian keluar bersama-sama.

Dugaan kepala stasiun ternyata tepat sekali bahkan dialah yang menemukan kunci itu diletakkan di kaki kursi paling ujung.

"Benar tidak kata saya," kata kepala stasiun pada pak Karjo sambil mengacungkan kunci pada pak Karjo. "Ini pak dan sekarang kita buka saja. Atau barangkali pak Karjo ingin membukanya sendirian di rumah?"

"Tidak pak! Saya ingin membukanya di depan bapak! Saya tidak ingin di kemudian hari dituduh sebagai pencuri."

Kepala stasiun tersenyum lebar.

"Baik, ayo kita buka!"

Kedua orang ini dengan langkah lebar kembali ke kantor.

"Ayo buka pak," kata kepala stasiun mendesak, melihat pak Karjo sedikit ragu dan tertegun di depan kopor yang menggeletak tenang itu.

"Baik pak," katanya dengan suara bergetar.

Kemudian seperti tanpa banyak pikir lagi, klik kunci sebelah kiri terbuka. Sesaat kemudian, klik yang kedua dan kunci sebelah kanan menyusul terbuka. Tindakan selanjutnya dengan tangan masih tetap bergetar pak Karjo perlahan-lahan mengangkat tutup kopor itu. Pak Karjo ternganga, sedangkan kepala stasiun tetap tersenyum-senyum aneh.

Pak Karjo memang pantas ternganga, karena kopor itu hanya berisi selembar surat pengangkatan, dan beberapa buah seragam pegawai negeri dalam lingkungan Jawatan Kereta Api.

"Selamat, pak Karjo," kata kepala stasiun beberapa saat kemudian.

Pak Karjo tetap tidak bereaksi.

"Jadi ... jadi bapak yang mengatur semua permainan ini," kata pak Karjo akhirnya. "Mengapa tidak bapak katakan tadi ketika saya menanyakan tentang pengangkatan saya yang terlalu lama terkatung-katung itu, pak!"

"Jawabannya cuma satu," kata kepala stasiun sambil tetap tersenyum lebar. "Saya ingin memberikan kejutan pada bapak! Surat pengangkatan itu sebenarnya sejak tiga hari yang lalu telah saya terima, tetapi terpaksa harus menunggu sampai hari ini, karena pakaian seragamnya baru siap tadi pagi!"

Pak Karjo menghela nafas panjang, nafas lega.

"Lalu bagaimana seandainya tadi kopor ini diambil oleh orang lain dan bukan oleh saya, pak? Bukankah saya tadi tertidur cukup lama?"

"Tidak mungkin itu pak! Saya selalu awasi kopor itu sejak tadi. Begitu juga waktu pak Karjo tidur, saya terus mengawasinya dari dalam kantor sini."

Pak Karjo mengangguk-angguk.

"Satu pertanyaan lagi pak," kata pak Karjo tidak puas, "bagaimana seandainya ruang tunggu tidak kosong sama sekali?"

"Untuk apa saya jadi kepala stasiun, kalau hal sepele macam itu saja tidak bisa saya atur. Mereka tentu akan menuruti perintah saya. Sekarang coba pak Karjo lihat ke luar, ruang tunggu tentu sudah banyak orang lagi!"

Pak Karjo segera melangkah ke pintu. Di pintu ia berdiri tertegun. Ruang tunggu dan pelataran stasiun sudah ramai kembali. (R-SDA-04032021-087853451949)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun