Mohon tunggu...
Tri Budhi Sastrio
Tri Budhi Sastrio Mohon Tunggu... Administrasi - Scriptores ad Deum glorificamus

SENANTIASA CUMA-CUMA LAKSANA KARUNIA BAPA

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen Kontemporer: Ketika Air Mata Tidak Lagi Bersisa

28 Februari 2021   12:12 Diperbarui: 28 Februari 2021   12:16 188
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://hammer.ucla.edu/

Tidak seratus persen, komentar Ayu sambil berhenti sejenak. Bagaimana bisa setuju seratus persen, kalau bagi laki-laki hal-hal semacam itu sering dilakukan, tapi bagi wanita justru sebaliknya? Bukankah lebih mudah bagi seorang laki-laki melupakan masa lalu dibandingkan dengan seorang wanita?

Enak saja engkau bicara, karena kebetulan engkau seorang laki-laki, sedangkan aku yang kebetulan seorang wanita, gerutu Ayu lebih lanjut. Coba yang sebaliknya, belum tentu akan berkata seperti itu. Huh ....

Puas mengejek, Ayu meneruskan membacanya.

"Bulan Desember ini, jadi tiga bulan lagi dari sekarang, Abang harus pergi, pergi ke tempat yang sangat jauh, yang ... yah kecil sekali kemungkinannya Abang bisa kembali lagi. Kalau tidak, huh ... diancam potong kepala sekali pun tidak nanti Abang mau menulis surat ini tetapi karena menyadari hal yang satu ini, sedikitpun tidak ada rasa ragu dan bimbang, Abang tidak mempunyai pilihan lain kecuali harus menulis, menerangkan segala sesuatunya, untuk kebaikan kita bersama, terutama kebaikan Ayu."

Tangan kanan Ayu yang tidak memegang surat tampak menggenggam erat. Erat sekali, dan mungkin Ayu sendiri tidak menyadari kalau dirinya mulai terpengaruh oleh isi surat.

Aku tidak boleh menangis lagi, begitu berkali-kali Ayu menasehati dirinya sendiri. Matanya berkejab-kejab, entah karena tegang, entah karena menahan tangis.

"Ayu, kalau orang-orang modern seperti kita, yang kenyang membaca dan mendengar, kemudian diberitahu oleh orang yang tidak perlu diragukan keahliannya, tentang sesuatu di dalam diri kita, akankah kita mencoba mengingkarinya? Pada mulanya Abang juga memang begitu, tetapi ketika ternyata tidak cuma satu ahli saja yang berkesimpulan seperti itu, Abang menyerah dan pasrah. Satu ahli memang bisa salah, tetapi kalau seratus ahli mengatakan hal yang sama, sementara mereka satu sama lainnya sama sekali tidak pernah berhubungan, akankah kita yang berpikiran rasional ini tidak mempercayai semua itu? Tidak, bukan? Begitu juga dengan apa yang akhirnya harus diterima. Abang terima keputusan nasib yang sudah tersurat ini. Abang terima semuanya, mesti dengan hati pedih. Bukan pedih karena memikirkan diri Abang sendiri tetapi lebih banyak karena memikirkan bahwa ada orang lain, yang selama ini selalu memenuhi pikiran dan hati Abang, yang juga pasti merasa pedih dan sedih. Ayulah terutama yang menjadi sumber kepedihan hati Abang. Meninggalkan seribu sahabat karena memang suratan, akan Abang jalankan jika memang tidak mempunyai pilihan, tetapi meninggalkan kamu seorang, ah ... betapa ingin Abang memberontak dan memprotes suratan nasib ini? Tetapi akal sehat Abang selalu mengingatkan, Abang hanyalah manusia biasa. Abang bukan Dewa yang mampu mengubah suratan takdir. Abang tidak punya kuasa apa-apa. Abang hanya insan yang lemah, sama seperti insan yang lain, yang tidak mempunyai pilihan lain kecuali menerima semua yang sudah diputuskan atasnya, suka atau tidak suka. Abang ...."

Ayu tidak sanggup meneruskan membaca. Matanya berkaca-kaca, membuat tulisan di depannya tampak kabur.

"Aku tidak boleh menangis lagi," gumamnya berulang-ulang mencoba menguatkan dirinya sendiri. "Bukankah tadi aku telah berjanji begitu?"

Hanya saja sementara tekadnya untuk tidak menangis digumamkan berkali-kali, sementara itu pula air mata mulai mengalir membasahi pipi. Ayu menangis lagi, meskipun tidak ada isak yang terdengar.

"Tidak, aku tidak boleh menangis lagi!" bantahnya sambil mengusap air mata.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun