"Aku yakin kau butuh bantuanku!" katanya mantap.
Hatiku tiba-tiba teriris pedih. Bukan karena kata-kata itu tetapi karena tiba-tiba teringat Melati. Ah, Melati, desahku berulang-ulang meskipun cuma dalam hati. Kalau seandainya engkau tepati janjimu yang terdahulu mungkin kita berdua tidak akan seperti sekarang ini.
Suyanto yang mungkin melihat perubahan air mukaku tiba-tiba bertanya.
"Engkau bersedih, kawan?"
Aku menghela nafas panjang. Bersedih, tanyanya? Hmm, laki-laki mana yang tidak akan bersedih kalau takdir yang telah digores terpampang jelas di depan mata. Siapa orangnya di dunia ini yang bisa melawan takdir. Melawan dan mengubah nasib mungkin masih punya harapan tetapi takdir? Ya, Tuhan, mengapa mencobai kami dengan cobaan yang begitu berat, yang hampir tidak tertanggungkan ini?
"Hai, jangan bersedih seperti itu," kata Suyanto lagi. "Kau akan bisa menyelesaikan suatu persoalan hanya dengan bersedih. Lupakan Melati dengan janjinya, aku yakin kesedihan akan lenyap dari hatimu."
Aku menggeleng pelan.
"Kau tidak mengerti persoalannya," kataku lirih, "kalau tidak, engkau tidak akan berkata seperti itu!"
"Aku mengerti persoalanmu, kawan!" Suyanto malah bersikeras sekarang. "Meski tepatnya bagaimana aku tidak tahu tetapi janji Melati yang keempat ini pasti tidak berbeda jauh dengan janji-janjinya yang dulu."
Aku kembali menggeleng pelan.
"Maksudmu janji Melati yang sekarang tidak sama dengan janji yang dulu?" desak Suyanto.