"Sebenarnya urusan ini bukan urusanku tetapi urusanmu. Cuma karena engkau kawanku, kawan yang paling dekat barangkali, aku ikut merasa bertanggung jawab pada segala sesuatu yang berhubungan dengan dirimu. Tentang tiga janji yang terdahulu aku sudah tahu jelas, tetapi janji yang keempat aku sebenarnya belum tahu karena engkau memang belum menceritakan padaku. Eh, janji apa sih sebenarnya yang Melati janjikan padamu?"
"Kau ingin tahu?" tanyaku dengan nada datar. Bayangan janji Melati padaku berkelebat. Memang bukan janji yang menggembirakan meskipun juga bukan janji yang tidak memberi harapan.
"Tentu saja!" jawab Suyanto cepat.
"Kalau aku menolak?"
Suyanto mengerutkan dahinya.
"Menolak? Aku pikir tidak ada alasan untuk menolak permintaan seorang kawan seperti aku ini!"
Aku tersenyum sedih. Wajah Melati dan keadaannya membayang jelas di depan pelupuk mata. Ah Melati, betapa malangnya engkau!
"Ya, aku memang tidak punya alasan untuk menolak permintaanmu," kataku, "tetapi apakah engkau juga punya alasan sehingga engkau ingin tahu janji Melati padaku?"
Suyanto, yang mungkin tidak pernah menduga kalau aku akan bertanya seperti itu, kulihat melengak.
"Aku ingin membantumu, kawan!" kata Suyanto setelah terkejutnya hilang. "Tanpa aku mengetahui dengan jelas persoalannya bagaimana aku bisa membantumu!"
"Kalau aku tidak butuh bantuanmu?" kejarku.