Mohon tunggu...
Tri Budhi Sastrio
Tri Budhi Sastrio Mohon Tunggu... Administrasi - Scriptores ad Deum glorificamus

SENANTIASA CUMA-CUMA LAKSANA KARUNIA BAPA

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen Kontemporer: Gurat-Gurat Guram

24 Februari 2021   11:13 Diperbarui: 24 Februari 2021   13:08 419
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: fineartamerica.com

Anna terlonjak oleh bentakan suaminya.

"Setan engkau! Sejak kapan engkau berani memotong kata-kataku yang belum selesai? Dengarkan aku berbicara dulu, baru engkau bicara dan lagi aku tidak suka mendengarmu berbicara di depanku tanpa aku minta. Apa kau pikir suaramu merdu? Apa kau pikir kalimat-kalimat yang meluncur dari mulutmu itu bisa menyenangkan aku? Bah ...!"

Samar-samar terlihat badan Anna bergetar. Matanya jelas sekali menggambarkan betapa terkejutnya dia. Bukan terkejut oleh kalimat kasar dari mulut suaminya, yang akhir-akhir ini memang menjadi menu sehari-hari baginya, melainkan oleh suara keras menggelegar dari mulut suaminya. Kembali bayangan indah masa lalu berkelebat di benak perempuan muda yang masih cantik itu. Seingatnya, sekalipun tak pernah suaminya berbicara kasar pada dirinya, apalagi sampai membentak seperti sekarang ini.

Tanpa disadari selapis air bening menyaput mata yang masih membelalak karena terkejut itu. Hatinya hancur dan merasa tidak berdaya. Betapa ingin dirinya bisa kembali ke masa lalu, ke masa-masa penuh kedamaian dulu. Masa-masa perhatian dan kasih sayang selalu mengelilinginya, tetapi bagaimana bisa? Bukankah sekali langkah diayun, tak ada lagi jalan surut? Bukankah sekali waktu berdetik, hari-hari kemarin cuma tinggal kenangan? Bukankah dalam hidup ini cuma ada kata maju dan tidak ada kata mundur? Dan bukankah juga semua orang, termasuk dirinya, tahu bahwa sang waktu tidak kenal kata menunggu apalagi kata kembali?

Tak ada dan tak akan pernah ada sesuatu dikembalikan lagi oleh waktu. Semua akan ditelan, semua akan hilang. Mungkin cumalah kenangan yang bisa dibayangkan. Lalu apakah juga akan begitu dengan masa-masa indahnya dulu? Masa-masa penuh mesranya dulu? Masa-masa penuh damainya dulu?

Anna tak sempat lebih jauh mengembara dengan angan-angannya karena kembali suara suaminya yang menggelegar menyentaknya.

"Apakah engkau merasa keberatan kalau membersihkan sepatuku dan kemudian menyemirnya dengan tanganmu sendiri? Apakah engkau merasa terlalu tinggi dan terlalu mulia untuk melakukan itu? Atau mungkin engkau sudah merasa menjadi nyonya besar di rumah ini sekarang?"

Anna menunduk. Bukannya tidak berani menantang kilatan tajam mata suaminya tetapi karena dia ingin menyembunyikan saputan air mata yang semakin tebal. Sesaat ruang itu senyap, sebelum akhirnya kesenyapan kembali dipecahkan oleh gelegar suara Anton.

"Hei, tadi tidak kutanya engkau menjawab, sekarang ketika kutanya engkau malah membisu. Tidak bisakah engkau membuka mulutmu dan menerangkan mengapa sepatuku ini bukan engkau yang membersihkan tetapi malah bi Inah?"

Perlahan Anna mendongak tetapi belum sempat membuka mulut, suaminya mendengus sinis dan mendahului berkata.

"Huh, begitu saja sudah hendak menangis. Kenapa tidak kembali ke bangku SD saja sehingga kalau menangis ada orang yang akan menghibur dengan kata-kata manis? Bukankah engkau mengharap aku menghiburmu dengan kata-kata manis setelah melihat air matamu? Jangan harap itu ...."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun