Mohon tunggu...
Tri Budhi Sastrio
Tri Budhi Sastrio Mohon Tunggu... Administrasi - Scriptores ad Deum glorificamus

SENANTIASA CUMA-CUMA LAKSANA KARUNIA BAPA

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen Kontemporer: Gadis Desa

19 Februari 2021   10:57 Diperbarui: 19 Februari 2021   12:05 3059
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

G A D I S   D E S A
Tri Budhi Sastrio

Bila kembang sudah mekar,
Tetapi kumbang tak juga kunjung datang,
Lalu siapa yang akan mengisap madunya?
Jika begitu, kan benar-benar sayang!

Surti baru dua hari datang dari desanya dan tinggal di rumah. Jika dianggap ada hubungan keluarga dengan dengan dia maka itu salah besar. Benar-benar salah besar karena sama sekali tidak ada hubungan keluarga kecuali sama-sama keturunan nabi Adam.

Aku tidak kenal bahkan juga tidak pernah bertemu dengannya sebelum itu.

Berbicara mengenai Surti sendiri, diam-diam dalam hati harus diakui dia itu cukup cantik dan manis menurut ukuran gadis desa. Dandanan dan riasan wajahnya memang sangat sederhana, sesederhana jiwanya, tetapi pesona yang dipancarkan cukup luar biasa. Tindak tanduknya masih sangat kekanak-kanakan, lugu dan polos. Yang menjadi persoalan sekarang, bagaimana gadis sepolos dan selugu itu bisa terdampar ke alam perkotaan yang penuh dengan kekerasan dan  kepalsuan?

Biang keladinya ternyata adik kandungku sendiri. Tanto Aristadi.

Ceritanya begini! Cerita ini didengar dari mulut adikku sendiri yang setelah digabungkan dengan keterangan Surti ternyata bisa diterima akal sekali pun sedikit aneh.

***

Sesuai dengan yang telah disepakati, Sabtu yang lalu serombongan anak muda berangkat, lengkap dengan perbekalan masing-masing untuk selama seminggu berkemah. Di antara mereka terdapat Tanto Aristadi, adikku. Mereka berangkat dengan mobil carteran. Tujuannya, lereng Gunung Welirang.

Perjalanan ternyata berjalan dengan lancar. Di sebuah desa kecil, jalan masuk lewat jalan setapak ke lereng Gunung Welirang, mereka berhenti. Ketua rombongan melapor pada pihak Kepolisian dan Koramil setempat sambil menunjukkan surat ijin jalan dari Surabaya.

Ijin untuk berkemah ternyata tidak sulit di dapat, bahkan mereka mendapat nasehat tambahan, agar tidak segan-segan menghubungi kepolisian seandainya terjadi sesuatu. Mereka juga diberi pesan untuk tidak merusak milik penduduk setempat atau meninggalkan sesuatu yang akan mengotori lingkungan.

Pokoknya mereka diberi pesan bahwa tujuan mereka adalah menikmati keindahan alam dan bukannya merusak keindahan alam yang sudah ada.

Setelah perijinan beres, berangkatlah rombongan pemuda itu dengan bantuan seorang pemuda setempat sebagai pemandu jalan. Penunjuk jalan bernama Sukri. Orangnya pendek kekar dan sangat pandai bercerita. Perjalanan terasa lebih menyenangkan dengan cerita-cerita dan keterangan-keterangan menarik dari pak Sukri.

Pematang-pematang licin di sawah, tanpa terasa dilewati dengan gembira. Setelah melewati persawahan dan perladangan yang luas, medan perjalanan mulai berubah. Sekarang kaki mereka bekerja lebih keras. Perjalanan mendaki benar-benar dimulai sekarang.

Jalan setapak yang biasa dilalui penduduk, meskipun menjulang tinggi menembus lereng-lereng ternyata banyak membantu kami. Seandainya jalan setapak itu belum ada sungguh tidak terbayangkan bagaimana sulitnya pemuda kota ini

Tanto Aristadi, adikku, yang semula berjalan di belakang, sekarang berubah posisi dan berjalan berdampingan dengan Pak Sukri. Pak Sukri menoleh menatap pemuda jangkung berparas lumayan itu, yang mencoba berjalan berdampingan dengannya.

"Wah, rupanya kuat juga berjalan jauh!" puji pak Sukri dengan bahasa Indonesia yang lancar.

"Ah biasa saja, pak. Sebelum ini saya memang mempunyai kebiasaan lari pagi, karena itu kaki saya sedikit lebih kuat dibandingkan dengan kaki teman yang lain."

Ini memang benar. Yang lain, kelihatan mulai lelah tetapi Tanto Kristanto tetap bisa melangkah dengan santai.

"Olahraga yang dikerjakan secara teratur memang bermanfaat besar bagi tubuh," lanjut pak Sukri, persis seperti guru olahraga yang betul-betul menguasai bidangnya sedang menerangkan manfaat olahraga pada salah seorang muridnya.

Tanto mengangguk-angguk membenarkan.

"Sudah berapa kali mendaki lereng gunung?" tanya pak Sukri.

"Baru tiga kali sekarang ini, pak!" jawab Tanto.

"Yang dua kali di mana saja?"

"Di Tretes dan di Bromo!" jawab Tanto.

"Kalau Tretes pernah tetapi Bromo saya benar-benar ingin melihatnya, cuma sayang tidak mempunyai biaya untuk itu. Wah, menyebut nama Bromo saya teringat peristiwa yang baru saja dialami," kata pak Sukri menyakinkan.

"Peristiwa apa sih, pak?" tanya Tanto akhirnya penasaran melihat pak Sukri tidak meneruskan keterangannya.

"Peristiwanya bisa dikatakan menarik tetapi bisa juga menyedihkan," kata pak Sukri sedikit menyimpang dari pertanyaan Tanto. "Akan diceritakan begitu sampai!"

Tanto mengangguk. Kemudian pembicaraan beralih pada keadaan lereng Gunung Welirang itu. Ternyata, menurut keterangan pak Sukri, hampir seluruh penduduk yang bermukim di daerah yang dingin itu, pekerjaan utamanya di samping bercocok tanam, adalah mencari kayu bakar di hutan atau mencari belerang di puncak.

"Hasilnya sebenarnya tidak seberapa, nak!" kata pak Sukri menerangkan, "cuma daripada waktu luang tidak diisi mereka kerjakan juga pekerjaan itu. Baru pada waktu musim tanam dan musim menuai, kegiatan semacam ini sama sekali dihentikan."

"Penduduk di sini benar-benar tidak kekurangan kesibukan!" kata Tanto. "Lain dengan di kota. Kesibukan bisa diisi kalau ada, begitulah biasanya. Saya pikir lebih enak tinggal di desa, di samping biaya hidup murah, kesehatan juga juga lebih terjamin karena udaranya bersih. Beda dengan kota yang panas dan udaranya kotor."

"Tetapi kan tidak mungkin semua orang hidup di desa," balas pak Sukri lincah.

"Benar juga pendapat Bapak," jawab Tanto.

Kemudian, suasana kembali hening. Yang terdengar hanyalah desauan angin segar, sambil sesekali ditingkah oleh bunyi burung yang tampaknya sedang bergembira. Hijaunya daun yang rimbun, dipadu oleh coklatnya batang-batang pohon perkasa, menimbulkan sesuatu yang lain dan baru sama sekali. Sesuatu yang tidak pernah dilihat di kota.

Langkah mereka tidak lagi setegap tadi, kecuali langkah pak Sukri yang tetap berirama meyakinkan. Perjalanan semakin sulit, walaupun akhirnya berhasil juga tiba di lokasi yang dituju. Tenda yang memang sudah di bawa, segera didirikan.

Sementara temannya asyik bekerja, Tanto mempunyai acara sendiri. Ia mendekati pak Sukri dan mendesak agar dia mau meneruskan cerita tentang peristiwa yang diingatnya ketika ia menyebut gunung Bromo.

"Nak Tanto kelihatannya menaruh perhatian besar pada peristiwa itu," kata pak Sukri sambil tersenyum, "Tetapi baiklah akan saya ceritakan selengkapnya."

Kemudian, setelah menarik nafas panjang dan mengambil tempat duduk di akar pohon yang mencuat, sementara Tanto juga duduk di sana, mulailah pak Sukri berserita.

"Kejadiannya bermula ketika mengunjungi Bromo untuk kedua kalinya beberapa waktu yang lalu. Kepergian bapak ke sana, entah mengapa seperti ada sesuatu yang menyuruh, padahal sebelumnya bapak sama sekali tidak berminat, karena untuk apa? Sudah bukan masanya lagi bagi orang sebaya bapak pergi melancong, sementara di tempat tinggal bapak sendiri masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan."

"Bapak berangkat ke gunung itu, dengan bekal yang diambil dari uang tabungan. Di sana, lagi-lagi sebuah hasrat yang aneh serasa menuntun bapak ke sebuah kawasan sebelah barat Segoro Wedi (Laut Pasir). Di daerah itu tak ada apa-apanya kecuali pohon-pohon yang tidak begitu rimbun tetapi di antara pohon-pohon itu bapak temukan sebuah gubuk da sang penghuni, sekali lagi bapak katakan sang penghuni, karena pada akhirnya kuketahui bahwa cuma dia seorang diri yang ada di sana, sedang menyapu halaman rumah."

"Ketika itu, matahari sudah melewati titik kulminasinya yang paling tinggi. Biasanya, bapak selalu kikuk menghadapi seorang wanita, apalagi wanita muda seperti dia. Bapak tahu dia wanita muda, bahkan wanita muda yang manis cukup dari kejauhan. Tetapi ketika itu, entah mengapa bapak sama sekali tidak merasa kikuk untuk menghampiri dan mencoba berbicara dengannya."

"Eh, siapa anda ini? Tentu saja pertanyan itu bapak ajukan dalam bahasa daerah. Gadis itu mengangkat kepala, karena terlalu asyik menyapu dia tidak meyadari kedatangan bapak."

"'Oh,' serunya seperti terkejut, tetapi kemudian wajahnya seperti merasa puas karena orang yang di tunggu-tunggunya telah datang. 'Bapak benar-benar datang seperti pesan nenek!' Tentu saja bapak mengerutkan bapak mengerutkan kening mendapatkan jawaban seperti itu. Memangnya kapan bapak pernah berjanji dengannya atau dengan neneknya? Tetapi bapak tidak diberi kesempatan untuk bertanya lebih lanjut, karena gadis itu menggandeng tangan bapak dan mengajak masuk ke dalam."

"Di dalam ... kau tahu apa yang bapak lihat?"

Tentu saja Tanto menggeleng tanda tidak tahu.

"Sesosok mayat wanita tua. Tetapi belum sempat bertanya, apa dan siapa dia, gadis itu sudah lebih dulu menerangkan bahwa yang meninggal itu adalah neneknya. Dalam pesannya yang terakhir, pada cucu satu-satunya ini, nenek itu mengatakan bahwa jasadnya baru boleh dikubur kalau ada seorang pria datang ke tempat itu. Selanjutnya dia harus ikut pria itu, menunggu sampai ada orang yang mau menyuntingnya."

"Semuanya benar-benar serba kebetulan, dan bapak ... tak ada pilihan lain kecuali melaksanakan apa-apa yang rupanya telah di gariskan oleh Yang Mahakuasa. Begitulah cerita bapak, nak Tanto!" kata pak Sukri mengakhiri ceritanya.

"Di mana gadis itu sekarang, pak?" tanya Tanto.

"Dia di rumahku!" jawab pak Sukri.

Kisah berikutnya cukup jelas. Tanto adikku tidak cuma sekedar tertarik melainkan benar-benar jatuh hati karena Surti, gadis yang diceritakan dan ditemukan oleh pak Sukri, diboyongnya ke rumahku dan sekarang serumah denganku, dan tentu saja juga serumah dengan Tanto.

Puncak dari rasa tertarik Tanto dinyatakan ketika ia mendesakku untuk mengatakan pada Surti bahwa ia berminat untuk mengambilnya sebagai seorang istri. Sang Gadis Desa akhirnya mendapatkan suami. (R-SDA-19022021 - 087853451949)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun