"Baru tiga kali sekarang ini, pak!" jawab Tanto.
"Yang dua kali di mana saja?"
"Di Tretes dan di Bromo!" jawab Tanto.
"Kalau Tretes pernah tetapi Bromo saya benar-benar ingin melihatnya, cuma sayang tidak mempunyai biaya untuk itu. Wah, menyebut nama Bromo saya teringat peristiwa yang baru saja dialami," kata pak Sukri menyakinkan.
"Peristiwa apa sih, pak?" tanya Tanto akhirnya penasaran melihat pak Sukri tidak meneruskan keterangannya.
"Peristiwanya bisa dikatakan menarik tetapi bisa juga menyedihkan," kata pak Sukri sedikit menyimpang dari pertanyaan Tanto. "Akan diceritakan begitu sampai!"
Tanto mengangguk. Kemudian pembicaraan beralih pada keadaan lereng Gunung Welirang itu. Ternyata, menurut keterangan pak Sukri, hampir seluruh penduduk yang bermukim di daerah yang dingin itu, pekerjaan utamanya di samping bercocok tanam, adalah mencari kayu bakar di hutan atau mencari belerang di puncak.
"Hasilnya sebenarnya tidak seberapa, nak!" kata pak Sukri menerangkan, "cuma daripada waktu luang tidak diisi mereka kerjakan juga pekerjaan itu. Baru pada waktu musim tanam dan musim menuai, kegiatan semacam ini sama sekali dihentikan."
"Penduduk di sini benar-benar tidak kekurangan kesibukan!" kata Tanto. "Lain dengan di kota. Kesibukan bisa diisi kalau ada, begitulah biasanya. Saya pikir lebih enak tinggal di desa, di samping biaya hidup murah, kesehatan juga juga lebih terjamin karena udaranya bersih. Beda dengan kota yang panas dan udaranya kotor."
"Tetapi kan tidak mungkin semua orang hidup di desa," balas pak Sukri lincah.
"Benar juga pendapat Bapak," jawab Tanto.