Mohon tunggu...
Tri Budhi Sastrio
Tri Budhi Sastrio Mohon Tunggu... Administrasi - Scriptores ad Deum glorificamus

SENANTIASA CUMA-CUMA LAKSANA KARUNIA BAPA

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Tidak Ada yang Abadi Kecuali ...

21 Juli 2020   11:15 Diperbarui: 21 Juli 2020   11:37 145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Essi no. 424       Tak Ada Yang Abadi Kecuali ...

Kala kata diperas manusia sampai pada batasnya,

Yang tersisa tak hanya sari makna juga ampasnya.

Begitu juga jika seharusnya cukup diam tak bicara

Tapi kata berbusa-busa memenuhi samudera raya

Apa yang harus dikata, ya diterima, dinikmati saja

Toh ampas kata sudah ada, sudah menjadi nyata.

Lalu pada gilirannya tentu saja, ada yang memuja,

Ada yang tidak suka, dan ada juga tak peduli apa.

Itulah adat dunia yang pasti tidak baka, pasti fana.

Lalu tiba-tiba saja, di antara busa-busa samudera,

Ada yang dengan lantang walau sayup-sayup kata

Yang fana adalah waktu, kita abadi, itulah katanya.

Wow luar biasa, meskipun ini hanya petikan biasa,

Dari Sarwono dan Pingkan via email dialog mereka.

Bagi mereka yang para penggila perasan kata-kata

Ini tentu saja indah mempesona, sarat luapan jiwa,

Betapa dialog dan cinta kita baka abadi terasanya.

Tetapi jika anak manusia yang lugu polos hatinya,

Sempat melirik hasil nan nyata perasan kata-kata

Mungkin bertanya-tanya, bukankah guru kelasnya

Dengan semangat menjelaskan lidah bibir berbusa  

Bahwa yang abadi hanya satu, Ia yang Mahakuasa

Lalu bagaimana bisa, kita, ya kita yang jatuh cinta?

Badai berbalut kata bahwa waktu adalah yang fana

Ya tidak apa-apa, tetapi kita, kita pemeras makna?

Yah ... hahaha ... kalian itu memang ada-ada saja.

Kemudian pada busa-busa permukaan samudera,

Juga ditulisnya tentang keinginan sederhana pria,

Betapa Aku ingin mencintaimu dengan sederhana.

Ini bagus dan luar biasa karena setiap kali ini kata,

Sederhana, dan juga bersahaja diguna, luar biasa

Dampak dan perbawanya; busa makna boleh saja

Sederhana dan bersahaja, tapi sari pati inti makna  

Justru mencakup rajut bentang raya alam semesta.

Angkat topi kepada perasan kata sampai batasnya.

Kemudian, inilah centilnya sang penyair rajut rona

Yang berhasil tangkap desah jiwa kayu bakar cinta

Yang tak sempat ucap apa-apa pada api membara

Yang menjadikannya abu takdir terbakar oleh cinta.

Juga awan pada hujan yang tidak sempat bertanya

Mengapa ia pada akhirnya tiada hanya karena dia?

Lalu doa, doanya, doa si peniup busa samudera,

Bahwa hanya doanya yang bergetar, yang dirasa,

Dan lanjutnya kau tak pernah lihat aku ini siapa,

Tapi yakin aku ada di dalam dirimu, pungkasnya.

Semua sarat dengan metafora, ini yang dibicara,

Tetapi itu yang dimakna, ini yang dijadikan busa,

Tapi yang itu yang didorongnya jauh ke angkasa.

Juga dia pernah bicara tentang hujan bulan Juni.

Jika ada yang bertanya kok Juni dan bukan Juli?

Pertanyaan ini tak perlu dijawab karena itu nisbi.

Bincang boleh jika berani menulis, seperti Kasidi,

Yang bertekad jika sempat, tulis hujan bulan Juli.

Ia bilang tak ada yang lebih tabah dari bulan Juni,

Kasidi lantang bilang sejatinya justru di bulan Juli

Hujan sangat tabah sekali karena berikutnya sepi

Hujan berhenti karena memang kemarau tiba lagi.

Tapi baiklah, ini panggungmu, jadi oke bulan Juni.

Hujan bulan Juni dikata paling tabah paling berani

Karena ia berhasil merahasiakan rintik rindu sejati.

Jejak kaki ragu-ragu juga dihapus dengan berani

Sampai akhirnya yang tidak terucap dalam sunyi  

Juga dengan berani diserap akar pohon bunga ini.

Begitulah dan masih banyak lagi, sampai hari ini,

Para pengagum tentu akan segera ingat kembali

Kalau engkau pernah bilang jika suara hari nanti

Jasadku tak ada lagi, tetapi kau hampirlah pasti,

Antara busa-busa samudera luas hamparan kata

Engkau akan selalu tidak letih-letihnya mencari.

Entah pernah membaca entah tidak, terpercik api   

Pesan wanita bersahaja yang tak ragu kurung diri

Sempat berpesan bahwa kata memang akan mati

Setelah diucap serta tidak ada yang cukup berani

Memeras menjadikan ia busa-busa samudera hati.

Entah ia tahu ini lalu muncul inspirasi bahwa nanti

Jika raga tidak ada lagi, yang tersisa hanya puisi,

Yang penting, semua itu memang kebenaran sejati.

Bon Voyage guru sejati, sampai jumpa lagi nanti.

Dr. Tri Budhi Sastrio -- tribudhis@yahoo.com

087853451949 -- SDA21072020 -- Essi no. 425

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun