Potret sejarah hukum Islam di Indonesia sebenarnya dapat dibaca dari kebangkitan Islam di Nusantara. Secara sosiologis dan kultural, hukum Islam menyatu dan menjadi hukum yang hidup. Budaya tradisional terkadang menimbulkan sikap ekstrim di banyak tempat seperti Aceh, Sulawesi Selatan, Minangkabau, Riau dan Padang. Hukum Islam sepenuhnya diterima dan sesuai dengan hukum adat setempat. Hal ini dapat dibuktikan dengan menyatakan bahwa Adat adalah Syara. 'syara'.[i] Dikenal secara kolektif sebagai bukubulah dan syara, kami menyebut pakaian adat, keduanya mencerminkan betapa kuat dan integral hubungan antara hukum Islam dan adat setempat. Sifat hukum Islam yang luwes dan luwes justru memungkinkan untuk membuat semuanya terjadi.
Â
Seiring dengan berdirinya kerajaan-kerajaan Islam dikelola oleh Lembaga Tahkim untuk saat ini menyerah dan diserahkan ke pengadilan. Hal ini untuk memastikan bahwa syariat Islam benar-benar dapat dilaksanakan dan juga merupakan pengembangan lebih lanjut dari proyek tersebut. Pendeta yang memberikan pelayanan keagamaan kepada masyarakat.[ii]Â
Pengadilan Serambi di Jawa, pengadilan syariah di Sumatera, kepadatan Qadhi di Banjar dan Pontianak. Demikianlah keberadaan hukum Islam di Indonesia saat itu karena sistem hukum yang diterapkan menyadari pengikutnya, sebagai refleksi dan refleksi penerimaan Islam sebagai agama yang diyakini.Â
Seperti disebutkan di atas, kenyataannya menggembirakan partai kolonial Belanda adalah yang pertama. Potash datang ke Nusantara pada abad ke-17 Masehi. Mengetahui keberadaan syariat Islam. Bahkan setelah lama diam tanpa Belanda secara keseluruhan mulai terlibat memberikan kebijakan kependudukan Hukum Islam. Melalui Kantor Perdagangan Belanda VOC (1602-1880). Pada Mei 1760 di nomor Resolusi Indehe Regeering yang memuat ketentuan berlakunya ketentuan UU Perkawinan dan warisan menurut hukum Islam untuk dipergunakan pada pengadilan VOC bagi orang Indonesia. Resolusi yang terkenal dengan nama Conpendium Freiyer ini dalam batas tertentu bisa dikatakan sebagai legislasi pertama hukum Islam di Indonesia.Â
Beriringan dengan itu di Cirebon di kenal pula produk legislasi yang di sebut Pepakem Cirebon, bahkan sebelumnya juga telah ada Babad Tanah Jawa dan Babat Mataram, sebuah kitab undang undang yang isinya banyak mengadopsi aturan hukum Islam untuk digunakan dalam masakan VOC Indonesia. Resolusi yang dikenal dengan Conpendium Freiyer ini dapat dikatakan sebagai peraturan perundang-undangan pertama tentang hukum Islam di Indonesia.[iii] Cirebon sebelumnya juga dikenal sebagai produk peraturan perundang-undangan yang disebut Pepakem Cirebon. Ada juga Babad Tanah Jawa dan Babat Mataram, kitab undang-undang yang isinya mengikuti banyak aturan hukum Islam.Â
Bukti lain dari adanya undang-undang hukum Islam pada Masa Penjajahan Belanda dilihat oleh Mogarrer atau Kompendium Voornamste secara keseluruhan Javanch Wetten Naukeurig Getrokken Uit Het Mohammaanche Wetboek Mogharrer Materi diambil dari Kitab Al-Muharrar oleh Imam Rafi'i. Kompendium Mogharrer Ini pada dasarnya berisi hukum Hukum pidana Islam dan adat berlaku Kediaman Semarang, Jawa Tengah, Selain itu, ada beberapa lagi B.J.D Clotwijk, yang menawarkan ruang Implementasi syariat Islam di Sulawesi Selatan 12 atas perintah Gubernur Jenderal TIDAK. 12. 3 Juni 1823, didedikasikan Pengadilan Agama Palembang, tersebut dipimpin oleh Pangeran Penghulu Kekuatannya meliputi (1) Pernikahan (2) Perceraian (3) Pembagian aset (4) Praktisi kepailitan Siapa anak terlantar saat orang tuanya bercerai? (5) Hak apa yang dimiliki setiap orang tua? untuk menceraikan anak-anaknya (6) Pusaka dan wasiat (7) wali dan (8) urusan agama lainnya.[iv]
Awalnya, kebijakan kolonial Belanda diuntungkan oleh posisi hukum Islam, setidaknya hingga akhir abad ke-19. Staatblad No. 152 Tahun 1882, yang mengatur dan mengakui keberadaan peradilan agama di Jawa dan Madura, merupakan indikasi yang jelas diterimanya syariat Islam dalam pemerintahan kolonial. Hal ini memunculkan teori Receptio in Complexu yang dikembangkan oleh Lodewijk Willem Christian van den Berg (1845-1927)14 yang menyatakan bahwa umat Islam Indonesia menerima hukum Islam secara utuh dan menyeluruh. Sebelum masa itu, umat Islam sepenuhnya mempraktekkan hukum Islam, dan menurut teori ini, hukum Islam memiliki keabsahan tertinggi atas sistem hukum lainnya. Namun, dengan perubahan orientasi politik yang signifikan, Belanda mulai membatasi ruang gerak dan perkembangan hukum Islam. Fenomena ini dapat dilihat sebagai upaya pencegahan perkembangan hukum Islam di Indonesia yang secara tidak sengaja memperkuat perkembangan hukum Islam. keberadaan Belanda. Mereka sadar bahwa semakin berkembang dan diterimanya syariat Islam oleh masyarakat luas akan menghambat perluasan dan sosialisasi dakwah mereka. Dengan gagasan Het Indiche Adatrect dan gerakan intelektualnya bersama Van Vollen Hoven (1874-1933 dan S.S. Hurgronje (1857-1936) yang kemudian dikenal dengan teori Receptie, pemerintah kemudian berusaha membatasi penerapan Islam. Hukum yang berlaku bagi umat Islam adalah hukum adat mereka. Hukum Islam dapat diterapkan jika diterima oleh hukum adat. Oleh karena itu, hukum adat menentukan ada atau tidaknya hukum Islam.[i]Â
Gagasan mengubah hukum Islam Indonesia dapat dianggap sebagai pengetahuan Saya itu dijelaskan ke negara-negara dengan demikian mengikuti teori kedaulatan rakyat Orang menjadi politisi politik paling tinggi. Demikian pula, negara didasarkan Kedaulatan Tuhan, lalu kedaulatan negara/penguasa (rechtstaat) dan negara yang memang berdasarkan kekuasaan negara tergantung pada corak politik negara hukum itu sendiri.[ii]Â
Rousseau, misalnya, dalam teorinya tentang kedaulatan rakyat mengatakan bahwa tujuan negara adalah mematuhi hukum dan menjamin kebebasan warga negaranya dalam arti kebebasan berada dalam batas-batas parlemen yang dimaksud Rousseau dengan bangsa bukanlah agregasi individu-individu dalam negara, melainkan asosiasi individu-individu yang memiliki kehendak yang diperoleh individu-individu tersebut melalui kesepakatan bersama; wasiat itu disebut wasiat umum (nilai secara umum). dimana semua orang terlibat langsung dalam proses legislasi.[iii]Â
Kehendak rakyat biasanya tercermin dalam konstitusi Indonesia lembaga tertinggi negara, yaitu MPR dan MPR Anggota DPR (DPR). Administrator Tagihan kemudian diajukan ke DPR untuk dibahas dan diterima di hadapan hukum Akan dilaksanakan. Hukum dapat dinyatakan sebagai peraturan hukum tertinggi, terdaftar adanya sanksi dan mengikat masyarakat secara keseluruhan secara umum. Konsep hukum diberikan Bentuk dan bahan adalah terjemahan dan basah dalam formalin, dan basah dalam kain Dikenal di Belanda. Di dalam hukum Antiformer (basah di garis formula) adalah Regering dan Staten General bersama (bersama) terlepas dari apakah isinya regulasi (regeling) atau tekad (beschikking). Sebaliknya Hukum dalam arti material (basah matterelezin) adalah setiap keputusan ikatan bersama (algemeen verbidende voorschnften), keduanya diproduksi oleh institusi Regering Tinggi dan Staten General bersama-sama dan dari institusi lain lebih rendah.[iv]Â
Jika konsep pertandingan basah Presiden dan DPR tidak sepenuhnya benar secara formal dan substantif. di Indonesia hanya diketahui secara hukum diidentifikasi saat basah dalam kata hukum Indonesia lain itu Presiden memutuskan dan menyetujui DPR setara secara hukum DPR setara secara hukum formal atau material dan faktual secara umum. kaitannya dengan hukum Terutama tidak dikenal dalam sistem hukum Indonesia. Berdasarkan UUD 1945 Konstitusi Negara Indonesia. Pasal 5 ayat 1 menunjukkan semuanya Hukum Indonesia adalah persamaan hukum yang paling penting dan termasuk dalam hirarki norma hukum dan UUD 1945. Atas dasar itu maka anda dapat memahami bahwa hukum Konstitusi (UUD) berbeda secara signifikan dari undang-undang. Selain itu, ada berbagai undang-undang di negara ini Indonesia dalam tatanan hirarki juga menimbulkan perbedaan fungsi dan isi yang berbeda jenis perundang-undangan. Secara umum, fungsi dan hukumnya adalah: Pertama: mengatur Perjanjian tambahan tunduk pada syarat dan ketentuan khususnya dalam UUD 1945; Kedua,lebih banyak pengaturan secara umum pernyataan dalam tubuh UUD 1945; Ketiga, lebih  banyak pengaturan lebih lanjut tentang konfigurasi MPR; dan keempat, di bidang materi ketatanegaraan.[v]
Melihat lebih dekat pada kekhasan undang-undang dan peraturan lainnya, terungkap bahwa undang-undang dibuat dan dilaksanakan oleh Presiden dengan persetujuan DPR. Jadi, muatan hukum-substantif undang-undang menjadi pedoman bagi ketentuan-ketentuan undang-undang lainnya. Pedoman untuk mengetahui isi undang-undang dapat ditentukan dengan menggunakan tiga pedoman, yaitu:
Pertama, ketentuan UUD Batang Tuhuh 1945 memuat kurang lebih 18 butir (18 pasal) yang mengatur tentang hak asasi manusia, pemisahan kekuasaan negara dan pengertian organisasi dan perangkat negara; Kedua, berdasarkan perspektif negara hukum, dimulai dari kekuasaan mutlak negara (policestatit), kemudian ke hukum sempit/liberal (narrow/liberal Rechtstciat), pembentukan negara berdasarkan hukum formal (formal Rechtsstaat) dan hukum substantif/sosial modern (rechtstaat social material) berdasarkan negara dan ketiga pada sistem berdasarkan sudut pandang konstitusional, di mana kekuasaan negara dan penyelenggaraan hukum dll harus terkait dengan norma-norma dasar ( norma tanah) dan konstitusi (Al-ahkam fi al-nash al-taqnin) memiliki kewajiban untuk mengikuti prosedur konstitusional dan berpegang pada norma hukum dan cita-cita hukum. Di Indonesia, kodifikasi dan standardisasi hukum Islam serta penyusunan undang-undang baru bertujuan untuk menjamin kepastian hukum (penuntutan pidana) di masyarakat.
Produk hukum Islam negara Indonesia. Sebelum Indonesia mendeklarasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus Terjadi perselisihan sejak tahun 1945 ideologi yang akan dianut oleh negara Indonesia. Pertama, Badan Intelijen Bisnis Mempersiapkan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang beranggotakan 62 orang. Mereka berjuang untuk mendirikan negara Islam. Tapi hanya 15 dari mereka yang menjadi anggota mewakili kelompok nasionalis Islam, bersepakat atas dasar negara Islam dan berakal sehat mayoritas (45 suara) memilih untuk mendirikan negara kebangsaan.[i]
Setelah itu, panitia 9 BPUPKI berhasil mencapai kompromi yang terkenal dengan Piagam Jakarta, yang mencantumkan kata tambahan: "Ketuhanan Yang Maha Esa mengikat hukum Islam bagi pemeluknya." Pencantuman tujuh kata dalam Piagam Jakarta sama sekali tidak mengisyaratkan terbentuknya negara Islam. Oleh karena itu, gagasan dasar negara Islam ditinggalkan, namun 7 kata tersebut dapat diartikan bahwa hukum Islam berlaku bagi pemeluk Islam, seperti dalam politik hukum Hindia Belanda sebelum tahun 1929. Dengan Traktat Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai ideologi negara, kemudian disepakati sebagai landasan ideologis dan landasan struktural bagi negara kesatuan Republik Indonesia. Konsekuensi hukumnya adalah setiap peraturan perundang-undangan harus lebih luas dan memperhatikan kepentingan umum rakyat Indonesia. Hal ini pada gilirannya menimbulkan konflik ideologis antara Islam dan negara. Dalam Dekrit Presiden 5 Juli 1959, UUD 1945 tidak hanya dikukuhkan dalam Pembukaan Piagam Jakarta, tetapi juga diwajibkan oleh suatu undang-undang (badan) yang dibentuk dalam undang-undang yang disebut "Dekrit Presiden". Keduanya memiliki kekuatan hukum yang sama. Oleh karena itu, Presiden Republik Indonesia memandang bahwa Piagam Jakarta merevitalisasi UUD 1945 dan merupakan himpunan kesatuan dalam UUD, dan karena perbedaan antara Piagam Jakarta dengan pembukaan UUD 1945 hanya tujuh kata, artinya bahwa ketujuh kata tersebut memeriahkan UUD 1945 dan merupakan satu kesatuan dalam UUD 1945 yang berbadan. Kata "animoi" bisa diartikan negatif dan artinya di negara Republik Indonesia tidak boleh membuat undang-undang yang bertentangan dengan syariat Islam dan dalam arti positif, berarti pemeluk Islam wajib menjalankan syariat Islam, oleh karena itu perlu disusun undang-undang tentang syariat Islam dalam perundang-undangan nasional. Pandangan ini sejalan dengan pernyataan Perdana Menteri Juanda pada tahun 1959: "Pengakuan Piagam Jakarta sebagai dokumen sejarah UUD 1945. Jadi pengakuan ini bukan hanya tentang pembukaan UUD 1945; itu juga harus menjadi dasar kehidupan beragama."[ii]
Kebijakan hukum ini juga terlihat pada TAP MPRS No. II Tahun 1960 tentang perbaikan Undang-Undang Hukum perkawinan dan waris harus diperhatikan juga, perhatikan faktor agama. 27 Maret 1968 TAP MPRS No. II Tahun 1960 tidak berlaku lagi, tidak ada hukum yang terlihat di bidang hukum perkawinan dan hukum waris, bahkan lembaga pembangunan Undang-undang negara bagian menyiapkan RUU tersebut ketentuan tambahan dari pendaftar, hukum perkawinan dan kode warisan. Sebaliknya, di bidang hukum dimulai dari keputusan Mahkamah Agung pada tahun 1959 beberapa keputusan dibuat dalam bidang hukum waris nasional sistem bilateral menurut hukum hakim. Itu dia dalam bidang hukum waris nasional bilateral lebih dekat dengan hukum Islam sebagai hukum umum.
Dihitung dari tahun 1970-an sekarang arah dinamika hukum Islam dan proses perubahan hukum Islam berlangsung bergerak secara sinergis menuju dinamika politik di Indonesia. Tiga fase dalam sebuah hubungan antara Islam dan negara pada masa ksatria yaitu fase yang bernuansa antagonis konflik, fase kritis perubahan yang berbeda fase struktural dan penyesuaian Islam harmonisasi Islam yang berbeda dan di pedesaan pintu terbuka lebar Islamisasi institusi sosial, budaya dan politikdan Hukum Islam di Indonesia. Tentang itu, lalu konsepnya perkembangan Hukum Islam jumlah tersebut berdampak besar pada pesanan sosial budaya, politik dan hukum di hadirin, kemudian ubah arah yaitu terintegrasi secara kualitatif ke dalam berbagai aturan dan hukum yang diterapkan oleh lembaga pemerintah dan negara. Konkretisasi pandangan ini dirujuk di bawah ini upaya perubahan hukum Islam (taqnin) dalam bentuk undang-undang.
Di antara produk legislasi dan aturan berdasarkan hukum Islam umumnya ada tiga bentuk: Pertama, hukum Islam, baik formal maupun bahan menggunakan gaya dan pendekatan Islam; Kedua, hukum Islam sedang dalam perjalanan taqnin bermanifestasi sebagai bulu materi konten hukum di mana prinsip-prinsip dan prinsip-prinsipnya menjiwai setiap produk hukum dan kebijakan; ketiga, hukum Islam formal dan substantif diubah menjadi sumber yang kredibel dan sumber resmi.Â
Status hukum sebelumnya Islam dalam sistem hukum Indonesia untuk mendapatkan pengakuan hukum. Pengakuan berlakunya hukum Islam di bentuk peraturan perundang-undangan Hal ini berimplikasi pada keberadaan pranata sosial, budaya, politik dan hukum. Abdul Ghani Abdullah hadir penerapan syariat Islam di Indonesia mempertahankan tempat konstitusionalnya karena tiga alasan, yaitu: Pertama, Ajaran Islam berlaku karena alasan filosofis pandangan hidup, cita-cita moral dan cita-cita hukum mayoritas umat Islam Indonesia dan sebagainya memegang peranan penting dalam pembentukannya Standar Dasar Negara Pancasila); Kedua, alasan sosiologis. Perkembangan sejarah Perwakilan Masyarakat Islam Indonesia yaitu cita-cita hukum dan kesadaran hukum Tingkatan berdasarkan ajaran Islam realitas terus menerus; dan ketiga, Alasan hukum yang disebutkan dalam Pasal 24, Pasal 25 dan 29 UUD 1945 menjadi tempat pelaksanaannya penerapan hukum syariat Islam secara formal.[i]
Dalam kenyataan lebih konkret, terdapat beberapa produk peraturan perundang-undangan yang secara formil maupun material tegas memiliki muatan yuridis hukum Islam, di antaranya :
1. UU No. 1/1974 tentang Hukum Perkawinan Politik memberlakukan hukum islam bagi pemeluknya 2. UU No. 7/ 1989 tentang Peradilan Agarna (Kini UU No. 3/2006) Diperbahrui dengan UU nomor 50 tahun 2009.
3. UU No. 7/1992 tentang Perbankan Syari'ah (Kini UU No. 10/1998)
4. UU No. 17/1999 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji
 5. UU No. 38/ 1999 tentang Pangelo!aan Zakat, Infak dan Shadaqah (ZIS) Diperbahrui dengan UU nomor 23 tahun 2011.
6. UU No. 44/1999 tentang Penyelenggaraan Otonomi Khusus Nangroe Aceh Darussalam
7. UU Politik Tahun 1999 yang mengatur ketentuan partai Islam
8. UU No. 41/2004 tentang wakaf
Di samping tingkatannya yang berupa Undang-undang, juga terdapat peraturan-peraturan lain yang berada di bawah Undang-undang, di antaranya:Â
1. PP No.9/1975 tentang Petunjuk Pelaksanaan UU Hukum Perkawinan
2. PP No.28/1977 tentang Perwakafan Tanah Milik
 3. PP No.72/1992 tentang Penyelenggaraan Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil
4. Inpres No.1/ 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam
5. Inpres No.4/2000 tentang Penanganan Masalah Otonomi Khusus di NAD
Dan begitu banyak produk hukum yang mengandung bahan hukum Islam adalah peristiwa yang paling fenomenal Pengesahan UU No. 7 Tahun 1989 tentang Hidangan religius. Mengapa tidak, Keadilan Agama sebenarnya sudah dikenal sejak lama sejak zaman kolonial (Mahkamah Syar'iyyah) sampai kemerdekaan dari Ordo Kerinduan akan tatanan baru, hanya setelah jangka waktu tertentu Menerima UUPA No. 7/1980 dari akhir 1980-an disahkan oleh undang-undang. Sebaliknya UU No. 14/1970 dalam pasal 10-12 sangat mengakui posisi pengadilan agama dengan keberadaan dan otoritasnya. Keberadaan UU No.7/1989 Peradilan Agama dan Keputusan Presiden No. 1 Tahun 1991 juga untuk penciptaan hukum Islam merupakan dasar hukum umat Islam untuk menyelesaikan urusan sipil.Â
Meskipun ada pertempuran di zaman Islam 45 tahun orde lama dan 15 tahun Ini perjuangan sejak era Orde Baru jalan panjang yang membutuhkan kesabaran dan kerja keras sampai ditetapkannya UU No. 7 Tahun 1989,29 Desember 1989. Sejalan dengan perubahan iklim politik dan demokratisasi di awal: pada 1980-an Sejauh ini ada tanda-tanda positif Kemajuan dalam Perkembangan Hukum Islam semua dimensi kehidupan sosial. Pendekatan struktural dan keselarasan internal sosial, budaya, politik, Bisnis dan peradilan semakin terbuka Pintu terbuka untuk mengubah upaya hukum Islam dalam sistem hukum nasional. Seperti status politik umat Islam tidak luntur dan kehilangan arah sehingga ia : pemandangan ada dan berperan lebih besar membangun dan memajukan Indonesia baruadil dan makmur. Kehadiran ICMI di awal tahun 1990-an sebenarnya adalah realitas sosial dan politik yang tak terhindarkan. Di dalam di mana memainkan peran besar Elit politik muslim di lingkungan birokrasi, dan peran kepribadian Muslim yang aktif di berbagai organisasi sosial Islam dianggap sangat penting sebagai jawaban atas keinginan kaum muslimin bersama Dengan kata lain, ada berbagai produk hukum dan Aturan menurut hukum Islam, no hal sederhana seperti pembatalan kedua telapak tangan, tapi itu saja melalui proses politik internal periode sejarah yang panjang. Â
Referensi:
[1] Taufiq Abdullah, Sejarah dan Masyarakat, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1987), h. 104-127
[1] Bustanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Gema Insani Pers, 1996) h.78.
[1] Idris Ramulyo, Azas Azas Hukum Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 1997) h.12.
[1] Bustanul Arifin, Dimensi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta: Gema Insani Pers, 1996), h. 4
[1] S. Lev, Hukum dan Politik di Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 1990), h 424-438 Â Â Â
[1] Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang Undangan: Dasar-dasar dan Pembentukannya, (Yogyakarta: Kanisius, 1998), h. 64-65.
[1] 9 Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang Undangan: Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan (Yogyakarta: Kanisius, 1998), h. 120
[1] Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang Undangan, h.93-95
[1] Soeprapto, Ilmu Perundang Undangan, h. 113-115
[1] Endang Saifudin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945, (Bandung: Pustaka Perpustakaan Salman ITB, 1981), h. 14
[1] Departemen Penerangan RI, Kembali ke UUD 1945, (Jakarta: 1959), h.85
[1]Abdul Ghani Abdullah, Peradilan Agama Pasca UU No.7/1989 dan Perkembangan Studi Hukum Islam di Indonesia
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H