"Sebelum aku menjawab, aku ingin balik bertanya. Apakah ini benar-benar yang kau inginkan? Untuk meninggalkan kehidupanmu?"
"Hmm tidak juga. Selama hidup, aku ingin menjadi anak yang normal, hidup dengan orangtuanya, pergi ke sekolah, dan bisa bermain sambil berlari dengan anak lainnya".
"Kau sebenarnya punya harapan. Lalu apa yang membuatmu ingin mengakhiri hidupmu sendiri, kawan kecilku?"
"Aku putus asa. Tidak ada perubahan yang terjadi hari demi hari. Bahkan, aku tahu kalau ada beberapa orang yang mengharapkan aku mati supaya tidak mengganggu pemandangan di jalan. Jadi kalau aku bisa mati saat ini juga, kenapa aku tidak mati saja? Setidaknya tidak ada yang merindukanku ketika aku mati"
Wanita itu membelai rambut anak itu perlahan. Sentuhan tangannya terasa seperti hembusan angin sejuk yang mengenai rambutnya.
"Hatimu sungguh baik, kawan kecilku. Baiklah. Waktumu di sini sekarang sudah hampir habis, kalau begitu".
Anak itu sedikit terkejut mendengarnya.
"Benarkah? Kenapa bisa begitu? Padahal aku belum lama menikmati keindahan tempat ini. Sayang sekali". Wajah anak itu sedikit muram.
"Tempat ini bukan untuk ditinggali selamanya, kawan kecilku".
"Lalu aku harus kemana? Kembali duduk di ujung jalan itu? Mengais-ngais sisa sampah untuk makan? Menahan dingin sepanjang malam?" jawab anak itu dengan suara yang berat dan air mata yang berlinang.
"Kawan kecilku, kadang ada kalanya kita berada di dalam kehidupan yang penuh dengan penderitaan. Namun kehidupan merupakan proses yang sangat panjang. Bahkan ketika kita meninggal pun, kita juga memasuki kehidupan di versi selanjutnya".