Mentari berjalan dengan lunglai dan gontai. Tubuhnya setengah terhuyung menahan panasnya sengatan terik matahari dikala siang itu. Tempat itu tidak terlalu jauh lagi harusnya. Ingin sekali dia bertanya dengan orang-orang di sekitar komplek, namun keraguan kembali melanda pikirannya. Dia sungguh malu terhadap orang lain, maupun dirinya sendiri. Tidak ada orang yang boleh tahu. Mentari harus menemukan tempat itu sendiri.Â
Dia kembali melihat ke secarik kertas di genggamannya. Pikirnya mungkin sebentar lagi dia tiba di tempat tujuannya. Tidak tampak satu pun kendaraan ojek atau angkutan umum di sekitar sini. Sungguh suatu lingkungan yang sepi dan gersang, seperti diabaikan oleh penduduknya sendiri. Komplek yang tidak terlalu ramai ini membuat Mentari masih harus melangkahkan kakinya sebanyak beberapa ratus meter untuk mencapai tempat itu sendiri.Â
Sebenarnya dia tahu kalau keraguan kembali mengusik sanubarinya. Kata hatinya kini terdengar seperti terbagi dua, yang mencoba untuk mencegah dirinya dan yang terus mendorongnya. Tetapi, tidak ada cara lain untuk mengatasi kerunyaman situasi yang dihadapinya saat ini. Calon bayi yang bersemayam di dalam rahimnya harus segera digugurkan, sebelum tumbuh semakin besar. Sungguh, ia sangat malu apabila membayangkan orang-orang di sekitarnya mengetahui hal ini. Apa yang akan terjadi? Membayangkannya saja membuat ulu hatinya terasa seperti dihantam dengan godam besar, nyeri sekaligus mual. Nafasnya juga terasa semakin berat. Apalagi mengahadapi kenyataannya? Mentari sendiri meragukan dirinya akan sanggup berada dalam kepahitan realita tersebut. Â
Sambil terus berjalan, pikiran Mentari melayang ke berbagai tempat dan waktu yang telah dilalui sepanjang hidupnya. Terlintas dalam benaknya mengenai penyesalan terbesar yang pernah ia rasakan. Terbayang juga beberapa wajah dan nama yang selalu menghantui pikirannya belakangan ini. Mentari menyadari ia pernah salah memahami makna cinta dan apapun yang dilakukan untuk mewujudkannya.Â
Mengingat wajah Argo saja, kaki Mentari menjadi terasa semakin lemas untuk melangkah. Seandainya saja dia tidak menuruti kemauan Argo semudah itu. Betapa lemah pendiriannya kalau sudah berhadapan dengan Argo setiap kata-katanya selalu berhasil meruntuhkan prinsipnya. Argo selalu terdengar sangat meyakinkan dalam berbicara, sehingga Mentari merasa tidak perlu bersandar pada logikanya sendiri lagi. Entah kenapa rasanya begitu mudah percaya dengan setiap kata yang terlontar dari mulutnya.Â
Tetapi saat ini nasi sudah terlanjur menjadi bubur. Sudah hampir tiga minggu menurut dokter kandungan yang terakhir ia datangi. Itupun dia datangi sendiri tanpa didampingi oleh Argo. Memberitahukan hal ini kepadanya juga bukan salah satu peristiwa yang terbaik dalam hidup Mentari. Ketika mengetahui kehamilannya, Argo hanya berespon acuh, menyisakan kesedihan dan penyesalan yang mendalam di hidup Mentari. Kembali terbayang di benak Mentari apa yang dikatakan Argo dalam menanggapi hal ini, baik setiap kata-kata yang terlontar dari mulutnya.Â
 "Kenapa sih kamu bisa sampe hamil, duh...ceroboh banget sih! Yaudah, gugurin saja janinnya. Kalo dilahirin malah bikin repot kan." kata Argo pada saat itu. Dia mengatakannya dengan acuh tanpa melihat mata Mentari.Â
Masih terasa begitu menyakitkan ketika mengingat kata-kata Argo tersebut. Baik saat pertama mendengarnya ataupun sampat saat ini hatinya terasa seperti disayat-sayat, sungguh perih. Nafasnya menjadi begitu berat, dadanya juga serasa penuh, seakan rongga dadanya tidak mampu menahan desakan kesedihan dan kekecewaan yang ia rasakan saat ini.Â
Fokusnya untuk mencari klinik tersebut juga menjadi kacau. Dengan berusaha sekuatnya, ia kembalikan lagi jiwa dan raganya pada tempatnya setelah pikirannya menerawang kemana-mana. Aneh pikirnya, sulit sekali untuk mencapai tempat yang dimaksudkan. Mentari bingung, katanya tempat itu memang tidak seperti klinik yang resmi dan dari luar terlihat seperti rumah biasa. Â
Sengatan matahari terasa semakin panas setiap menitnya bagaikan memanggang tubuhnya hanya dari jarak satu meter diatasnya. Tiba-tiba kepalanya semakin pusing dan tubuhnya terasa lemah. Rasanya berat sekali untuk berjalan beberapa meter ke depan saja. Tenggorokannya juga terasa sangat kering. Tubuhnya butuh beristirahat. Setelah melihat-lihat lingkungan sekitar, untung saja tidak jauh dari tempatnya ada kedai makanan kecil. Mentari menghembuskan nafas dan sedikit lega, lalu dengan berusah payah dia berjalan ke kedai tersebut.Â
Di sana, dia memesan minuman dingin dan membeli dua bungkus roti. Betapa sejuknya minuman dingin itu mengguyur tenggorokannya yang sekering abu vulkanik. Mentari baru ingat kalau dia belum makan apapun dari semalam. Beginilah dirinya saat dilanda tekanan batin dan pikiran yang berat. Seluruh pikirannya hanya bisa berkutat pada masalah yang dihadapinya saja. Tubuhnya lalu ia abaikan. Merasa laparpun tidak. Sambil beristirahat sejenak sambil mengunyah roti yang baru saja ia beli, Mentari menghela nafas panjang dan kembali meratapi nasibnya. Ia merasa lebih dari lemah untuk saat ini, lahir dan batin. Kembali terpikirkan mengapa semua ini harus menimpa dirinya. Pikiran-pikiran buruk mulai membayang-bayangi dirinya lagi, membayangkan bagaimana kehidupannya akan menjadi semakin suram setelah ini.Â