Mohon tunggu...
Tria Cahya Puspita
Tria Cahya Puspita Mohon Tunggu... Lainnya - -

Katakan yang benar itu benar dan yang salah itu salah. Lihat, dengar dan rasakan...menulis dengan hati.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Hukuman Bagi Pelaku Kejahatan Seksual Terhadap Anak

17 April 2014   22:20 Diperbarui: 4 April 2017   16:53 24262
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Siapa yang tidak geram mengetahui seorang anak berusia 5 tahun mendapat perlakuan pelecehan seksual? Bahkan saya sendiri pun ngeri membayangkannya.

Ingin rasanya menonjok si pelaku ketika mendengar kisah tragis seorang anak TK JIS. Tapi pukulan saya tentu tak berarti apa-apa baginya dan juga bagi siapa pun yang geram dengan tindakannya. Cukupkah bila dibandingkan dengan trauma/luka batin dan psikis yang tentunya akan membekas sepanjang hidup anak korban kejahatan seksual? Rasanya tak cukup hanya menghukum pelaku dengan memukulnya saja.

Kemarin sore seorang teman mengirimkan saya sebuah petisi melalui akun facebook. Petisi tersebut berisi untuk menggugat hukuman pelaku kejahatan seksual terhadap anak yang dinilai terlalu ringan. Fellma Panjaitan, salah seorang ibu yang prihatin dengan berita kejahatan seksual yang terjadi di Jakarta International School (JIS) meminta dukungan untuk mengajukan petisi kepada Komisi VIII DPR, penegak hukum, mahkamah konstitusi hukum untuk melakukan perubahan, menambah dan memberikan hukuman seberat-beratnya terhadap pelaku. Dapat dilihat di sini

Menurut pasal 81 dan 82 UU No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak bahwa hukuman bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak minimal 3 tahun dan maksimal 15 tahun penjara serta denda minimal sebesar Rp60 juta dan maksimal sebesar Rp 300 juta. Sedangkan hukuman lainnya menurut KUHP pasal 287 dan 292 menyebutkan bahwa masa hukuman terhadap pelaku pencabulan terhadap anak maksimal 9 tahun (pasal 287) dan maksimal 5 tahun (pasal 292).

Berikut isi pasal UU dan KUHP tersebut :

UU No.23 tahun 2002

Pasal 81

(1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).

(2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.

Pasal 82

Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

Pasal 287

(1) Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita di luar perkawinan, padahal diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa umumya belum lima belas tahun, atau kalau umurnya tidak jelas, bawa belum waktunya untuk dikawin, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.

(2) Penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan, kecuali jika umur wanita belum sampai dua belas tahun atau jika ada salah satu hal berdasarkan pasal 291 dan pasal 294.

Pasal 292

Orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sesama kelamin, yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.

Saya terhenyak menyadari bahwa besarnya masa hukuman antara UU dan KUHP yang terkait pencabulan terhadap anak berbeda satu sama lain. Saya tidak tahu dasar hukum mana yang dapat digunakan di persidangan untuk menghukum pelaku kejahatan seksual terhadap anak seberat-beratnya. Tidak sinkronnya kedua dasar hukum tersebut dapat menjadi celah pelaku kejahatan seksual tidak mendapatkan hukuman maksimal.

Hukuman penjara bagi pedofil di Indonesia yang kasusnya cukup menggemparkan adalah mantan diplomat Australia, William Stuart Brown atau Tony, mendapat hukuman 13 tahun penjara dan denda sebesar Rp150 juta. Namun sebelum menyelesaikan masa tahanannya, yang bersangkutan bunuh diri dalam penjara pada bulan Mei 2004. Ada pula pelaku yang mendapat hukuman ringan yaitu Jan Jacobus Vogel, tahun 2013 lalu divonis hukuman penjara 4 tahun dan denda sebesar Rp150 juta. Selain kedua orang tersebut, pedofil lainnya di Indonesia hanya mendapat hukuman di bawah 10 tahun bahkan ada yang hanya hitungan bulan. Sungguh menyedihkan wajah hukum di Indonesia terhadap anak.

Lantas hukuman apa yang pantas diberikan kepada pelaku?

Hukuman yang patut diberikan kepada pelaku adalah hukuman yang dapat membuat jera dan juga menjauhkan pelaku dari lingkungan anak-anak. Sebaiknya pelaku juga mendapatkan rehabilitasi terhadap kelainan seksualnya. Karena jika tidak, ada kemungkinan pelaku akan melakukan kembali aksinya setelah bebas dari masa hukuman. Selain itu pemerintah sebaiknya mengumumkan pada masyarakat saat pelaku akan dibebaskan dari tahanan dan menyebarkan informasi mengenai keberadaan pelaku. Hal ini dimaksudkan sebagai sangsi sosial dan juga agar masyarakat dapat waspada di kemudian hari.

Terkait dengan lamanya masa tahanan, minimal 3 tahun (UU No.23 tahun 2003) atau maksimal 5 tahun (KUHP pasal 292) adalah masa yang teramat singkat. Karena dampak dari perbuatan pelaku terhadap anak akan membekas dan membayangi seumur hidupnya. Tidak hanya luka secara fisik namun juga luka batin.

Menurut saya, setidaknya minimal hukuman 15 tahun diberikan kepada pelaku tindak kejahatan seksual terhadap anak. Dengan pemikiran, anak/korban dari perilaku menyimpang tersebut sudah tidak lagi dikategorikan sebagai anak-anak ketika pelaku selesai menjalani masa hukumannya. Atau mungkin hukuman cambuk dapat menjadikan pelaku jera?

Kepada yang memiliki kewenangan merevisi UU, KUHP maupun peraturan perundangan lainnya mengenai pencabulan terhadap anak, hendaknya dapat membuka mata dan hati terhadap persoalan ini. Demikian pula kepada para penegak hukum atau siapapun yang memiliki andil dalam pengadilan terhadap kasus pencabulan anak. Berikan sangsi atau ancaman hukuman yang dapat membuat pelaku jera dan tidak menertawakan hukum di Indonesia.

Seorang anak memiliki cita-cita dan harapan terhadap hidupnya di masa mendatang. Jangan nodai masa depannya dengan memberikan sangsi hukum yang ringan akan kejahatan seksual terhadapnya. Anak adalah masa depan bangsa yang kelak meneruskan tampuk-tampuk kepemimpinan di negara ini. Kita wajib menjaga dan melindungi anak-anak dari kejahatan seksual.

Tulisan lainnya :

Waspadai Pedofilia di Dunia Maya

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun