"Dengan perkembangan Kota Semarang hari ini, dibandingkan dengan kota lainnya di Jawa Tengah, trennya Kota Semarang hari ini masih tertinggal. Dan kalau kita bandingkan dengan kota-kota lainnya di Jawa Tengah, trennya hari ini Kota Semarang agak tertinggal"
ITU adalah sedikit kutipan kata-kata yang terekam oleh kamera wartawan dari anak muda asal Jakarta yang saat ini menjadi Bupati Kendal dan konon hendak maju sebagai calon wali kota Semarang. Peryantaan itu keluar saat dia dimintai komentar tentang niatnya maju dalam Pilwakot Semarang 2024 oleh beberapa media, belum lama ini.
Ya, statmen yang viral di media sosial tersebut memang menimbulkan banyak respons dari nitizen, ada yang tersinggung kotanya dianggap tertinggal, ada yang menganggap bahwa itu adalah pernyataan orang yang tak paham Kota Semarang, dan komentar lainnya.
Tapi sudahlah, bagi saya sebagai penulis yang tinggal dan lahir di Kota Semarang, meski agak 'nggonduk' daerahnya dibilang tertinggal, namun malas untuk membahas pernyataan anak muda (yang menurut saya) tak punya unggah ungguh tersebut.
Saya hanya ingin membaca dinamika politik jelang Pemilihan Wali Kota (Pilwakot) Semarang 2024 saat ini. Kota Semarang, sebagai ibu kota Provinsi Jawa Tengah, memiliki karakter masyarakat yang majemuk, berpendidikan, dan cenderung tidak pragmatis.
Dengan banyaknya universitas negeri dan swasta yang ada di Semarang, kota ini menunjukkan kemajuan yang lebih pesat dibandingkan dengan daerah penyangganya, semisal daerah yang saat ini dipimpin oleh anak muda ganteng dan gaul asal Jakarta tersebut.
Masyarakat Semarang memiliki latar belakang sosial dan budaya yang beragam. Keberagaman ini menciptakan dinamika yang kompleks dalam politik lokal. Masyarakat Semarang cenderung lebih kritis dan memiliki kesadaran politik yang tinggi, berkat tingkat pendidikan yang relatif lebih baik, (maaf-red) dibandingkan daerah lain di sekitarnya.Â
Dengan banyaknya fasilitas pendidikan di Kota Semarang, telah mencetak generasi muda yang tidak hanya terdidik, tetapi juga berpartisipasi aktif dalam berbagai isu sosial dan politik. Pendidikan yang baik mendorong masyarakat untuk berpikir analitis, sehingga mereka tidak mudah terpengaruh oleh politik uang atau janji-janji kosong.
Di sisi lain, di beberapa daerah penyangga yang terletak tidak jauh dari Semarang, menunjukkan karakteristik masyarakat yang berbeda. Dalam konteks pemilihan umum, masyarakat di sana masih terlihat pragmatis, di mana suara bisa 'dibeli' dengan imbalan material. Hal ini mencerminkan kesenjangan dalam pendidikan dan kesadaran politik yang masih perlu ditingkatkan. Masyarakat yang pragmatis cenderung memilih calon berdasarkan keuntungan langsung yang mereka dapatkan, bukan berdasarkan visi dan misi yang jelas untuk pembangunan daerah.
Hal itulah yang mungkin membuat seorang anak muda yang konon merupakan anak petinggi partai besar di Indonesia tersebut, dengan mudah merebut suara rakyat saat mengikuti kontestasi Pilkada beberapa waktu lalu, dan akhirnya menjadi Bupati.
Kini, sang bupati ingin "naik pangkat" dengan ikut meramaikan bursa calon wali kota Semarang. Dan menurut suami salah satu artis ibu kota tersebut, Kota Semarang saat ini masih tertinggal dibanding kota besar lain di Indonesia.
Menyakitkan memang mendengar kata-kata itu, tapi sudahlah. Saya kembali ke topik awal saja.
Dengan latar belakang tersebut, calon-calon yang akan bertarung dalam Pilwakot Semarang harus menyadari bahwa menaklukkan hati masyarakat Semarang tidak semudah yang dibayangkan.
Calon yang ingin memperoleh dukungan harus mampu menyampaikan visi yang jelas, relevan, dan dapat diterima oleh masyarakat.
Selain itu, mereka juga harus mampu menunjukkan integritas dan komitmen untuk memajukan kota, serta mampu berinteraksi dan berdialog dengan masyarakat secara langsung. Bukan malah 'teko-teko ngece kuwe kas'.
Kehadiran banyak kampus di Semarang juga berkontribusi pada perkembangan wacana politik di kalangan mahasiswa dan generasi muda. Mereka sering kali menjadi agen perubahan yang mendorong isu-isu sosial dan politik, serta aktif dalam berbagai kegiatan masyarakat. Keterlibatan mereka dalam politik lokal dapat memberikan warna baru dan membawa perspektif yang berbeda dalam menentukan arah kebijakan di Semarang.
Dari sudut pandang ini, calon yang berusaha menaklukkan Semarang harus siap dengan tantangan yang lebih besar. Mereka tidak hanya harus bersaing dengan calon lain, tetapi juga harus mampu menjawab kebutuhan dan harapan masyarakat yang berpendidikan dan kritis.
Calon yang mampu beradaptasi dengan dinamika ini, serta menunjukkan bukti nyata dari program-program yang ditawarkan, akan memiliki peluang lebih besar untuk meraih dukungan.
Kesimpulannya, tidak mudah menaklukkan Semarang. Karakter masyarakat yang majemuk dan berpendidikan, ditambah dengan kesadaran politik yang tinggi, menjadikan Kota Semarang sebagai arena politik yang menantang. Dalam konteks Pilwakot Semarang, calon wali kota harus mampu memahami dan menghargai keberagaman ini, serta menawarkan solusi yang realistis dan berkelanjutan untuk kemajuan kota. Hanya dengan pendekatan yang tepat dan komitmen untuk menghadirkan perubahan, calon-calon tersebut dapat meraih kepercayaan masyarakat dan memenangkan hati pemilih di Kota Semarang.
Sekali lagi, tidak mudah menaklukkan Semarang ndes.. gondes... yen aku tak milih calon seng paham Kota Semarang wae, yoh iso yoh...(*)
Semarang, 2 Agustus 2024.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H