Dilanjut dengan menari ritmik dan tanpa pola, lambat dan kemudian perlahan-lahan naik turun, sebelum kemudian memasuki adegan "mengejar penonton" biasanya yang dikejar adalah anak-anak. Adegan ini dianggap sangat menghibur karena diramaikan dengan gelak tawa dan juga ada perasaan takut bagi penonton atau yang dikejarnya.
Jika dikehendaki oleh penanggap (pemangku hajat) sebelum adegan penutup, maka dilakukan adegan tambahan namun tidak terpisahkan secara struktur, yaitu melakukan adegan "kirab sawan", yakni ritual penyembuhan atau untuk keselamatan dan keberkahan. Dalam adegan ini disimbolkan dengan berokan memasuki kamar dan mengambil bantal dengan mulutnya, lalu melemparkannya ke atas genting.
Alat penunjang musiknya terdiri dari: Trebang atau blangber, kendang, kecrek, dan bende (kemung). Pemusik biasanya terdiri dari enam orang. Sekalipun musiknya terdengar monoton ciri dari jenis kesenian rakyat, namun dengan kelincahan dan integralitiknya pelaku yang memainkan Berokan membuat pertunjukan tersebut terasa dinamis, apalagi pada saat adegan mengejar penonton.
Selain sebagai hiburan, penolak bala, dan makna artifisial dalam konteks seni rupa, pada masa penyebaran agama Islam berokan dijadikan pula sebagai media dakwah, itulah mengapa ada istilah bahwa nama berokan berasal dari kata barokah.
Berokan dimainkan oleh sang Dalang. Antara Berokan dengan yang memainkannya disimbolkan antara jasad dan ruh; berokan sebagai jasad, dan dalang sebagai ruhnya. Manakala dalang masih dalam jasad, maka Berokan akan selalu bergerak ke sana-kemari. Lain halnya jika ruh tersebut keluar dari jasad, maka jasad atau berokan tersebut tidak berdaya sama sekali.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H