Mohon tunggu...
Totok Siswantara
Totok Siswantara Mohon Tunggu... Freelancer - Menulis, memuliakan tanaman dan berbagi kasih dengan hewan. Pernah bekerja di industri penerbangan.

Pembaca semangat zaman dan ikhlas memeluk takdir

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Keberanian Tembus Mara Bahaya dan Kewajiban Profesi Jurnalis

1 Juli 2024   23:43 Diperbarui: 2 Juli 2024   17:43 241
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Rumah jurnalis Tribrata  TV yang terbakar di Karo, Sumut (foto : Kompas.com ) 

Matinya seorang wartawan
Bukan matinya kebenaran
Tercatat dengan kata sakti
Menjadi benih yang murni

(Lagu Buat Penyaksi - Iwan Fals)

Kematian jurnalis Tribrata TV, Sempurna Pasaribu (47) dan keluarganya akibat rumahnya yang diduga dibakar oleh orang tak dikenal perlu dilakukan investigasi yang mendalam. 

Pasalnya jurnalis yang bertempat tinggal di Kabupaten Karo, Sumatera Utara (Sumut) sebelum meninggal dunia getol memberitakan masalah perjudian di wilayah Karo.

Kasus tragis Sempurna Pasaribu mengingatkan kita kepada kematian jurnalis harian Bernas bernama Udin yang diabadikan oleh Iwan fals dalam Lagu Buat Penyaksi. Udin meninggal dunia setelah dianiaya akibat berita yang ditulisnya.

Risiko jurnalis yang memenuhi tugas profesinya dengan risiko menantang bahaya sering terjadi dari waktu ke waktu. Masih hangat dalam ingatan publik, peristiwa tewasnya wartawan bersama dengan kuncen gunung Merapi yakni Mbah Maridjan.

Letusan Merapi yang waktu itu menelan puluhan korban jiwa mencuatkan kisah dramatik terkait dengan pengabdian seseorang yang teguh dalam menjalankan profesinya. 

Mbah Maridjan sang tokoh indigenous (kearifan lokal) kuncen Gunung Merapi dan sang wartawan Yuniawan Nugroho tewas saat menjalani profesinya. 

Keduanya telah menjadi buah bibir masyarakat. Sekaligus menimbulkan polemik terkait semangat dan tekadnya menghadapi letusan Merapi. Mbah Maridjan yang telah menjadi ikon keperkasaan boleh dikatakan sebagai pemimpin sejati dengan tafsirnya sendiri. Selama ini rasa tanggung jawabnya terhadap alam, sosial dan spiritual melebihi peran pejabat formal. 

Di sisi lain wartawan Yuniawan Nugroho merupakan sosok profesional yang luar biasa sehingga berani menerobos bahaya demi menjemput dan meliput Mbah Maridjan dan sanak keluarganya. 

Antara Mbah Maridjan dan wartawan itu sama sama sama memiliki deposit nyala segudang. Ditengah usaha mitigasi setengah hati yang dilakukan pemerintah, keduanya menunjukkan totalitas dalam menghadapi krisis.

Risiko jurnalis yang merenggut nyawa juga terjadi saat kecelakaan pesawat terbang jenis Sukhoi Superjet 100 ( SSJ-100 ) saat demo terbang. Demo terbang pesawat SSJ-100 yang mengalami kecelakaan dinyatakan telah melanggar UU No.1 tahun 2009 tentang Penerbangan. 

Sesuai dengan pasal 38 UU Penerbangan, semua pesawat yang akan melakukan uji terbang harus mendapatkan izin dan sertifikat kelaikudaraan dari pemerintah. Pernyataan Kemenhub yang menegaskan belum mengeluarkan sertifikat layak terbang standar Indonesia bagi pesawat Sukhoi Superjet 100 membuktikan adanya pelanggaran.

Selain itu juga ada keteledoran dari otoritas bandara dan pihak penyelenggara demo terbang pesawat SSJ-100 terkait dengan manifes penumpang yang ikut demo terbang.

Sungguh mengherankan jika kita melihat status pesawat SSJ-100 yang dipakai demo terbang di negeri ini. Apakah dengan status seperti itu dibolehkan mengangkut penumpang umum yang terdiri dari para jurnalis hingga pegawai biasa industri penerbangan. 

Mestinya misi demo atau uji terbang hanya boleh diikuti oleh pilot, kopilot, dan flight test engineer saja. Anehnya, SSJ 100 yang masih dipenuhi dengan instrumen flight test system, juga dipenuhi dengan penumpang umum yang begitu leluasanya memenuhi kabin dengan membawa gadget, kamera dan peralatan pribadi. 

Kenapa hal ini tidak dilarang oleh otoritas bandara.Tewasnya beberapa wartawan media massa cetak dan elektronik dalam mengikuti joy flight SSJ-2011 merupakan tragedi tugas profesi.

Karena media massa tergolong entitas industri maka kematian diatas merupakan kecelakaan kerja. Selama ini para jurnalis dihinggapi dilema, yakni antara kewajiban profesi dengan faktor keselamatan kerja. Padahal, faktor keselamatan kerja merupakan keharusan manusiawi sekaligus aturan yang tidak boleh diabaikan oleh segenap pekerja media masa.

Berbagai peristiwa yang terjadi, seperti bencana alam, musibah kecelakaan transportasi dan peristiwa di daerah konflik bersenjata membuat naluri jurnalistik sulit dipadamkan. 

Lalu, merangsang keberanian untuk menembus mara bahaya yang jelas-jelas terlihat maupun yang sedang mengintip. Dengan peralatan jurnalistiknya mereka berburu berita dan gambar eksklusif. Apa yang telah dilakukan para jurnalis di atas memiliki dua sisi nilai sekaligus, yaitu heroik dan tragis. 

Dikatakan tragis karena kurang menyadari dan begitu saja mengabaikan aspek keselamatan kerja. Padahal, masalah keselamatan kerja jurnalis sudah dipikirkan dan diatur sedemikian rupa. Para jurnalis sebenarnya sudah mendapatkan perlakuan dan perlindungan keselamatan yang baku sejak dulu.

Dari sisi etika yang berkaitan dengan pekerjaan jurnalistik, terdapat dua pendirian untuk menjelaskan situasi dilematis yang dihadapi kalangan jurnalis. 

Sebagaimana yang dikemukakan oleh John C. Merril dalam bukunya yang berjudul Controversies in Media Ethics. Dua hal tersebut adalah; pertama, apa yang dinamakan sebagai pendirian profesional. 

Pendirian ini menyatakan bahwa jurnalis harus mengutamakan kewajiban profesinya serta mengalahkan pertimbangan-pertimbangan lain yang dianggap menghambat dan menggugurkan profesionalitasnya, termasuk di dalamnya adalah pertimbangan yang bersifat manusiawi.

Kedua, adalah apa yang disebut sebagai pendirian kemanusiaan. Pendirian ini mengemukakan bahwa jurnalis sebaiknya lebih mempertimbangkan dampak atau konsekuensi yang muncul saat mencari berita maupun dampak pemberitaannya. Sepenting apapun kewajiban profesional itu dapat digugurkan dengan alasan kemanusiaan. 

Antara pendirian profesional yang bersifat absolut serta pendirian humanistik yang bercorak relativistik, tampaknya, sangatlah bertentangan.

Pada prinsipnya Jurnalis juga merupakan pekerja industri. Implikasinya sama dengan para pekerja industri di Indonesia lainnya yang mana sekarang ini juga masih dililit dengan berbagai persoalan keselamatan kerja. 

Laporan ILO sering menyatakan bahwa standar keselamatan kerja di Indonesia masuk dalam peringkat yang kurang baik. (TS)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun