Mohon tunggu...
Totok Siswantara
Totok Siswantara Mohon Tunggu... Freelancer - Menulis, memuliakan tanaman dan berbagi kasih dengan hewan. Pernah bekerja di industri penerbangan.

Pembaca semangat zaman dan ikhlas memeluk takdir

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Harlah Pancasila, Saatnya Banting Setir Penggunaan Gas Alam

1 Juni 2024   16:11 Diperbarui: 1 Juni 2024   16:20 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Petugas mengawasi jaringan pipa gas bumi atau gas alam milik PT Perusahaan Gas Negara.(Dok. Humas PGN via KOMPAS.com)

Harlah Pancasila, Saatnya Banting Setir Penggunaan Gas Alam

Peringatan Hari lahir Pancasila 2024 kali ini istimewa. Presiden Jokowi memimpin upacara peringatan yang dipusatkan di Blok Rokan. Upacara yang dihadiri ribuan peserta ini dilaksanakan di Lapangan Garuda Pertamina Hulu Rokan di Dumai, Sabtu (1/6/2024).

Blok Rokan bisa dibilang sebagai simbol pengadaan energi nasional dan memiliki peran penting dalam kebutuhan energi. Jokowi dalam sambutannya mengatakan kita harus aktif mengambil alih kembali aset-aset strategis bangsa, kita kelola dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat, salah satunya adalah Blok Rokan di Riau, tempat yang digunakan untuk upacara peringatan Hari Lahir Pancasila 2024.

Tekad Jokowi mesti dibuktikan dengan keberanian untuk banting setir politik untuk penggunaan gas alam nasional. Masalah gas saat ini makin rumit, padahal Indonesia punya deposit cadangan gas alam atau disebut gas bumi dalam jumlah yang besar. Namun, belum dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat Indonesia. Ironisnya gas alam dari Indonesia justru dinikmati oleh rakyat Singapura sejak lama, yakni saat pemerintahan orde-baru. 

Jaringan pipa gas raksasa dari Pulau Sumatera melintasi laut menuju Singapura. Pipa tersebut berisi gas alam dari Indonesia yang dibeli dengan kontrak jangka panjang dengan harga yang murah. Gas alam inilah yang dipergunakan untuk keperluan rumah tangga dan industri di Singapura.

Dilain pihak untuk dalam negeri Indonesia sendiri, masalah gas masih sering bermasalah. Antara lain masalah gas elpiji ( LPG ) yang masih diimpor dalam jumlah besar dan jumlah subsidi untuk kebutuhan LPG untuk tabung gas melon semakin membengkak karena salah sasaran dan modus lainnya.

Krisis gas akan terus terjadi jika negeri ini tidak berani merombak total kebijakan gas alamnya. Politik gas alam dari suatu rezim jangan seperti peribahasa anak dipangkuan dicampakkan, beruk di rimba disusui. Bahaya laten kelangkaan gas di masa mendatang bisa terjadi jika negara tidak berani banting setir politik gas alamnya.

Saatnya pemerintah totalitas membangun infrastruktur jaringan pipa distribusi gas alam untuk keperluan rumah tangga dan industri berbasis lokal. Langkah itu merupakan solusi mendasar. Beberapa kota di tanah air seperti di Sumsel dan Jatim telah berhasil melakukan program penyaluran gas alam untuk rumah tangga. 

Ternyata, gas alam itu bisa mengalir ke dapur rakyat secara praktis dan lebih efektif serta lebih murah ketimbang elpiji. Bahkan, harga gas yang dialirkan itu kalau dihitung-hitung hanya sepertiga dari harga gas tabung. Begitupun investasi pembangunan infrastrukturnya juga lebih murah jika dibandingkan dengan memproduksi jutaan tabung elpiji berbagai ukuran.

Kendaraan tempat berjualan gas bumi di stasiun pengisian bahan bakar gas di Semarang (KOMPAS/P RADITYA MAHE
Kendaraan tempat berjualan gas bumi di stasiun pengisian bahan bakar gas di Semarang (KOMPAS/P RADITYA MAHE

Teknologi dan investasi untuk membangun infrastruktur distribusi gas alam sebenarnya tidak terlalu sulit. Sebagai gambaran, total biaya investasi yang dibutuhkan untuk pembangunan pipa transmisi dan distribusi gas alam dari sumur-sumur Semanggi milik PT Pertamina yang dialirkan untuk mencukupi kebutuhan warga kota Blora waktu itu hanya membutuhkan investasi sekitar Rp 30 miliar. 

Seperti diketahui, lapangan minyak Semanggi adalah salah satu lapangan minyak tua di daerah Blok Cepu. Gas alam itu telah dialirkan melalui pipa transmisi sepanjang 35 kilometer dengan tingkat pemakaian gas bumi rata-rata per rumah tangga berkisar antara 35 meter kubik per bulan.

Pentingnya totalitas untuk membangun infrastruktur distribusi gas alam untuk rumah tangga dan industri dalam negeri. Sungguh ironis ketika kita melihat gas alam dari pulau Sumatera begitu lancarnya mengalir ke Singapura melalui pipanisasi. Selain itu PGN juga mau repot membangun instalasi gas compressor di pulau Batam agar suplai gas ke Singapura volumenya semakin besar. 

Padahal gas alam yang dijual kesana jauh lebih murah dari minyak dan tentu saja lebih bersih dan ramah lingkungan. Mereka menggunakan gas alam kita untuk bahan bakar pembangkit listrik dan untuk keperluan dapur rakyat Singapura.

Ironisnya, rakyat Indonesia dipaksa pakai elpiji non subsidi yang harganya empat kali lebih mahal dari gas alam dengan pipanisasi langsung. Bayangkan bila harga gas alam itu hanya dijual 5 dollar AS / MMBTU ke negara tetangga. Berarti harga tersebut setara dengan seperlima dari harga solar. Ironisme itu semakin terlihat ketika pabrik pupuk dan industri yang berbasis gas kurang mendapatkan pasokan gas.

Pemanfaatan Gas Alam secara garis besar dibagi menjadi tiga kelompok. Kelompok pertama, sebagai bahan bakar. Antara lain sebagai bahan bakar Pembangkit Listrik Tenaga Gas, bahan bakar industri, bahan bakar kendaraan bermotor, sebagai gas kota untuk kebutuhan rumah tangga, hotel, restoran dan sebagainya. Kelompok kedua, sebagai bahan baku. Antara lain bahan baku pabrik pupuk, petrokimia, metanol, bahan baku plastik beserta derivatifnya, dll. Kelompok ketiga, sebagai komoditas energi untuk ekspor, yakni Liquefied Natural Gas (LNG).

Langkah banting setir politik gas alam nasional difokuskan kepada pembangunan infrastruktur jaringan pipa transmisi, distribusi, stasiun pengisian bahan bakar gas (SPBG), dan terminal regasifikasi gas. Langkah itu berdasarkan volume permintaan yang sebagian besar masih terpusat di pulau Jawa.

Disisi lain deposit gas alam sebagian besar berada di luar Pulau Jawa, yakni di pulau Natuna 54,2 TSCF, Kalimantan Timur 47,4 TSCF, dan Papua 24,1 TSCF. Dengan kondisi deposit seperti diatas diperlukan strategi teknologi yang lebih murah dan efektif. Pada dasarnya sistem transportasi gas alam meliputi transportasi melalui pipa salur, transportasi dalam bentuk LNG dengan kapal tanker untuk pengangkutan jarak jauh dan transportasi dalam bentuk Compressed Natural Gas (CNG), baik di daratan dengan road tanker maupun dengan kapal tanker CNG di laut untuk jarak dekat dan menengah.

Hingga saat ini pemerintah masih mengabaikan cadangan gas alam dalam skala kecil atau sumur-sumur gas marjinal (stranded gas). Padahal, sumur gas marjinal dengan cadangan 1-3 TCF (Trillion Cubic Feet) itu bisa diaplikasikan teknologi GTL ( Gas To Liquid ). Bandingkan dengan LNG yang membutuhkan sumur gas dengan cadangan 6-8 TCF.

Dengan biaya investasi yang relatif sama dengan pembangunan kilang lainnya, kilang GTL mampu memberikan pendapatan yang relatif lebih besar per tahunnya. Perkembangan teknologi GTL di dunia pada saat ini telah mencapai tahap komersial. Beberapa pemegang paten seperti Sasol Ltd., Shell, ExxonMobil, dll, telah berhasil mengoperasikan kilang-kilang GTL di berbagai penjuru dunia. 

Produk yang dihasilkan dari teknologi GTL meliputi : naphtha, middle distillates, dan lilin. Selain itu juga dapat juga diarahkan ke produk dimetil eter (DME), dan metanol. Dengan teknologi GTL, cadangan gas sebesar 1 TCF saja dapat menghasilkan produk GTL berupa bahan bakar sintetis (diesel dan naphtha) sekitar sepuluh ribu barel/hari selama tiga puluh tahun, dengan asumsi laju alir umpan gas alam sebesar 100 MMSCFD (Million Standard Cubic Feet per Day).

Kita bisa menyimak pengalaman transformasi teknologi dan industri di Eropa dan Amerika yang diawali dengan penguatan infrastruktur energi dan pembangkit listrik. Dengan memfokuskan pembangunan jalur pipa gas alam sepanjang ribuan kilometer beserta puluhan stasiun kompresor untuk pembangkit listrik. Yang mana untuk setiap stasiun bisa dibangun instalasi turbin gas yang mampu membangkitkan daya yang sangat besar tanpa merusak lingkungan.

Sejarah membuktikan sungguh tepat pembangunan pembangkit listrik dan jalur gas alam sepanjang 5.000 km yang membentang dari laut Utara dan Rusia hingga Swiss. Dengan adanya jalur pipa itu maka negara-negara di Eropa memiliki suplai energi yang cukup untuk pembangunan berkelanjutan. 

Hal serupa juga terjadi di Amerika, dengan dibangunnya jalur gas bumi Transcanada-Pipeline lebih dari 6.000 km beserta ratusan buah stasiun kompresor. Perlu digaris bawahi bahwa proses kerja mengalirkan gas alam disana sangat sulit karena dihadang oleh kondisi alam yang sangat ganas dan cuaca yang ekstrem. Dilain pihak gas alam milik bangsa Indonesia yang melimpah bisa diambil dengan cara yang lebih mudah. (TS)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun