Teknologi dan investasi untuk membangun infrastruktur distribusi gas alam sebenarnya tidak terlalu sulit. Sebagai gambaran, total biaya investasi yang dibutuhkan untuk pembangunan pipa transmisi dan distribusi gas alam dari sumur-sumur Semanggi milik PT Pertamina yang dialirkan untuk mencukupi kebutuhan warga kota Blora waktu itu hanya membutuhkan investasi sekitar Rp 30 miliar.Â
Seperti diketahui, lapangan minyak Semanggi adalah salah satu lapangan minyak tua di daerah Blok Cepu. Gas alam itu telah dialirkan melalui pipa transmisi sepanjang 35 kilometer dengan tingkat pemakaian gas bumi rata-rata per rumah tangga berkisar antara 35 meter kubik per bulan.
Pentingnya totalitas untuk membangun infrastruktur distribusi gas alam untuk rumah tangga dan industri dalam negeri. Sungguh ironis ketika kita melihat gas alam dari pulau Sumatera begitu lancarnya mengalir ke Singapura melalui pipanisasi. Selain itu PGN juga mau repot membangun instalasi gas compressor di pulau Batam agar suplai gas ke Singapura volumenya semakin besar.Â
Padahal gas alam yang dijual kesana jauh lebih murah dari minyak dan tentu saja lebih bersih dan ramah lingkungan. Mereka menggunakan gas alam kita untuk bahan bakar pembangkit listrik dan untuk keperluan dapur rakyat Singapura.
Ironisnya, rakyat Indonesia dipaksa pakai elpiji non subsidi yang harganya empat kali lebih mahal dari gas alam dengan pipanisasi langsung. Bayangkan bila harga gas alam itu hanya dijual 5 dollar AS / MMBTU ke negara tetangga. Berarti harga tersebut setara dengan seperlima dari harga solar. Ironisme itu semakin terlihat ketika pabrik pupuk dan industri yang berbasis gas kurang mendapatkan pasokan gas.
Pemanfaatan Gas Alam secara garis besar dibagi menjadi tiga kelompok. Kelompok pertama, sebagai bahan bakar. Antara lain sebagai bahan bakar Pembangkit Listrik Tenaga Gas, bahan bakar industri, bahan bakar kendaraan bermotor, sebagai gas kota untuk kebutuhan rumah tangga, hotel, restoran dan sebagainya. Kelompok kedua, sebagai bahan baku. Antara lain bahan baku pabrik pupuk, petrokimia, metanol, bahan baku plastik beserta derivatifnya, dll. Kelompok ketiga, sebagai komoditas energi untuk ekspor, yakni Liquefied Natural Gas (LNG).
Langkah banting setir politik gas alam nasional difokuskan kepada pembangunan infrastruktur jaringan pipa transmisi, distribusi, stasiun pengisian bahan bakar gas (SPBG), dan terminal regasifikasi gas. Langkah itu berdasarkan volume permintaan yang sebagian besar masih terpusat di pulau Jawa.
Disisi lain deposit gas alam sebagian besar berada di luar Pulau Jawa, yakni di pulau Natuna 54,2 TSCF, Kalimantan Timur 47,4 TSCF, dan Papua 24,1 TSCF. Dengan kondisi deposit seperti diatas diperlukan strategi teknologi yang lebih murah dan efektif. Pada dasarnya sistem transportasi gas alam meliputi transportasi melalui pipa salur, transportasi dalam bentuk LNG dengan kapal tanker untuk pengangkutan jarak jauh dan transportasi dalam bentuk Compressed Natural Gas (CNG), baik di daratan dengan road tanker maupun dengan kapal tanker CNG di laut untuk jarak dekat dan menengah.
Hingga saat ini pemerintah masih mengabaikan cadangan gas alam dalam skala kecil atau sumur-sumur gas marjinal (stranded gas). Padahal, sumur gas marjinal dengan cadangan 1-3 TCF (Trillion Cubic Feet) itu bisa diaplikasikan teknologi GTL ( Gas To Liquid ). Bandingkan dengan LNG yang membutuhkan sumur gas dengan cadangan 6-8 TCF.
Dengan biaya investasi yang relatif sama dengan pembangunan kilang lainnya, kilang GTL mampu memberikan pendapatan yang relatif lebih besar per tahunnya. Perkembangan teknologi GTL di dunia pada saat ini telah mencapai tahap komersial. Beberapa pemegang paten seperti Sasol Ltd., Shell, ExxonMobil, dll, telah berhasil mengoperasikan kilang-kilang GTL di berbagai penjuru dunia.Â
Produk yang dihasilkan dari teknologi GTL meliputi : naphtha, middle distillates, dan lilin. Selain itu juga dapat juga diarahkan ke produk dimetil eter (DME), dan metanol. Dengan teknologi GTL, cadangan gas sebesar 1 TCF saja dapat menghasilkan produk GTL berupa bahan bakar sintetis (diesel dan naphtha) sekitar sepuluh ribu barel/hari selama tiga puluh tahun, dengan asumsi laju alir umpan gas alam sebesar 100 MMSCFD (Million Standard Cubic Feet per Day).