Pelanggaran Prosedur PHK, Bagaimana Cara Menghadapi?
Sering kali terjadi karyawan menghadapi kasus pemutusan hubungan kerja (PHK) sepihak tanpa prosedur yang benar. Apalagi di era pemerintahan Jokowi kondisi ketenagakerjaan diwarnai dengan keberpihakan kepada pengusaha atau investor jika terjadi perselisihan yang diakhiri dengan PHK. Terlebih keberadaan Perppu Cipta Kerja memberikan keleluasaan bagi pengusaha untuk melakukan PHK kepada karyawannya dengan cara seenak udelnya sendiri.
Pengusaha bisa saja mengarang atau merekayasa dalih untuk menjatuhkan keputusan PHK terhadap pekerjanya. Banyak kasus pelanggaran prosedur PHK yang tidak dimengerti oleh karyawan dan diterima begitu saja tanpa perlawanan.Â
Apalagi jika perusahaan menggunakan pengacara dan sang karyawan di tempat kerjanya tidak ada organisasi serikat pekerja atau serikat buruh. Yang bisa menjadi pendamping menghadapi keputusan tersebut.
Banyak kasus PHK sewenang-wenang yang dilakukan oleh oknum manajemen perusahaan yang ternyata bertentangan dengan kebijakan kantor pusat. Tidak jarang kasus PHK di kantor cabang ternyata bertentangan dengan filosofi pendiri perusahaan.
Salah satu contohnya adalah filosofi pendiri Yamaha yang selama ini sangat berhati-hati dan berusaha keras menghindari perselisihan dengan pekerjanya. Sehingga keputusan PT Yamaha Indonesia atau di negara lain mesti sesuai dengan filosofi dan nilai dasar korporasi Yamaha itu sendiri yang telah digariskan oleh perintis dan pendiri perusahaan berskala global PT Yamaha, yakni Torakusu Yamaha. Torakusu Yamaha sebenarnya adalah seorang pekerja yang ulet dan sangat humanis serta menjunjung tinggi keharmonisan dalam hubungan antar manusia.
Pada awal usahanya Torakusu Yamaha melakukan pekerjaan reparasi alat musik organ. Inilah yang menginspirasi dia tentang merek dan logo Yamaha. Tiga buah gambar garputala pada logo Yamaha menggambarkan hubungan kerjasama dalam korporasi. Tiga garpu tala tersebut melambangkan tiga elemen penting musik yakni : melodi, harmoni, dan irama.
Menyimak filosofi dan nilai-nilai korporasi diatas mestinya pihak manajemen Yamaha Indonesia mesti menghindari segala bentuk konfrontasi yang kontraproduktif dengan pihak pekerja yang berhimpun dalam serikat pekerja.
Tak kurang dari Profesor Kosuke Mizuno dari Center for Southeast Asian Studies Kyoto University Jepang, menyatakan bahwa tradisi hubungan industrial di Jepang dari dulu hingga kini cenderung menempuh penyelesaian perselisihan secara informal atau jalan perdamaian. Dialog dari hati-kehati demi untuk harmonisasi pekerja dan pengusaha untuk meraih kesejahteraan bersama.
Langkah Hadapi PHK
Perlu langkah dasar untuk menghadapi kesewenang-wenangan oknum perusahaan yang melakukan pelanggaran prosedur PHK. Pekerja yang terkena PHK secara sewenang-wenang perlu melakukan langkah dasar yakni membuat kronologis kasus PHK yang disertai dengan lampiran seperti surat PHK resmi dari perusahaan, surat perjanjian kerja, slip gaji, dan dokumen lain terkait dengan ketenagakerjaan seperti bukti iuran BPJS Kesehatan, iuran BP Jamsostek, dana pensiun dan lain-lain.
Langkah dasar tersebut dilanjutkan dengan langkah advokasi dan gugatan. Langkah lanjutan ini bisa melibatkan organisasi serikat pekerja/buruh, atau lewat lembaga bantuan hukum (LBH) setempat.
Jangan sampai setelah mendapatkan Surat Peringatan 3 (SP3) dan Surat Keputusan Pemutusan Hubungan Kerja (SK PHK) yang ditandatangani oleh manajemen perusahaan tidak ada perjuangan atau pasrah begitu saja. Apalagi setelah keluarnya surat PHK maka karyawan tersebut dilarang masuk perusahaan untuk alasan apapun. Selain itu gajinya pun sudah tidak diberikan lagi.Â
Biasanya setelah mendapatkan surat PHK karyawan ditekan untuk melakukan perundingan bipartit oleh perusahaan lewat pengacara perusahaan. Dalam bipartit inilah karyawan akan mendapatkan tekanan yang luar biasa supaya tidak melawan lebih lanjut dalam pengadilan perselisihan hubungan kerja/industrial.
Menghadapi kasus PHK, terutama jika terjadi PHK massal di perusahaan, perlu langkah dasar yang disertai dengan analisa hukum ketenagakerjaan.
Analisa Hukum tersebut setidaknya mencakup beberapa hal antara lain :
1. Sesuai dengan UU 13 Tahun 2003 pasal 151 ayat 1 yang berbunyi, " Pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah, dengan segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja." Sehingga sudah sangat jelas bahwa pengusaha harus berusaha secara maksimal menghindari PHK, apakah amanah undang-undang tersebut telah dijalankan oleh perusahaan.
Apabila melihat dari kronologis kejadiannya, tidak dan/atau belum bahkan mengabaikan perintah undang-undang tersebut, pantas kalau disebut oknum manajemen perusahaan melakukannya dengan cara arogan. Apalagi dengan langsung dan sekaligus secara bersamaan memberikan Surat Peringatan 3 (SP3) dan Surat PHK kepada pihak karyawan.
2. Filosofi UU 13 Tahun 2003 pasal 151 ayat 1. Filosofi dari isi pasal tersebut sebenarnya terkandung semangat kemanusiaan, kebersamaan, saling menjaga, saling mengingatkan, kejujuran, keadilan, yang pada prinsipnya semangat untuk membangun perusahaan agar tumbuh berkembang dan apabila usaha dalam kondisi yang kurang baik seluruh stakeholder bersama-sama mencari solusi yang terbaik buat perusahaan.Â
Dalam hal ini biasanya/seharusnya orang yang mempunyai wawasan dan pengetahuan lebih haruslah bertindak bijak dan mengayomi, dengan demikian direksi/manajemen dalam komunitas terkecil di lingkungan perusahaan mempunyai perangkat dengan personil yang lebih lengkap dan lebih detail dalam mengelola perusahaan termasuk dalam menghadapi serikat pekerja di tingkat perusahaan.
Itulah mengapa, perusahaanlah yang diwajibkan untuk membentuk lembaga kerjasama bipartit (LKS Bipartit) dalam perusahaan sebagaimana diamanatkan dalam UU No. 13 Tahun 2003 pasal 106 yang berbunyi :
- Ayat (1) Setiap perusahaan yang mempekerjakan 50 (lima puluh) orang pekerja/ buruh atau lebih wajib membentuk lembaga kerja sama bipartit.
- Ayat (2) Lembaga kerja sama bipartit sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berfungsi sebagai forum komunikasi, dan konsultasi mengenai hal ketenagakerjaan di perusahaan.
- Ayat (3) Susunan keanggotaan lembaga kerja sama bipartit sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) terdiri dari unsur pengusaha dan unsur pekerja/buruh yang ditunjuk oleh pekerja/buruh secara demokratis untuk mewakili kepentingan pekerja/buruh di perusahaan yang bersangkutan.
- Ayat (4) Ketentuan mengenai tata cara pembentukan dan susunan keanggotaan lembaga kerja sama bipartit sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (3) diatur dengan Keputusan Menteri.
Frasa kata "wajib" dalam ayat (1) tersebut menunjukkan bahwa ada hal lain selain kewajiban membentuk LKS Bipartit yaitu perusahaan mempunyai kewajiban untuk memelihara hubungan industrial yang harmonis di dalam perusahaan bahkan ketika di perusahaan tersebut tidak ada serikat pekerja, perusahaan tetap wajib membentuk LKS Bipartit yang anggotanya dipilih secara demokratis, kemudian siapa yang harus berinisiatif menyelenggarakan pemilihan wakil pekerja untuk duduk dalam lembaga tersebut, jawabannya adalah perusahaan sesuai dengan perintah dari ayat tersebut, dan ada sanksi administrasi dari yang paling ringan berupa teguran sampai yang terberat berupa pencabutan izin usaha apabila perusahaan tidak melaksanakan ayat (1) tersebut sebagaimana yang tercantum dalam UU 13 Tahun 2003 pasal 190.
Apabila manajemen merasa karyawan yang di PHK tersebut melakukan pelanggaran seperti yang dituduhkan dalam SK PHK, hal itu masih membutuhkan pembuktian dan masih masuk dalam kategori perselisihan hubungan industrial yang penyelesaiannya harus dilakukan sesuai dengan UU Nomor 2 Tahun 2004 Tentang PPHI pasal 3 ayat (1) yang berbunyi "Perselisihan hubungan industrial wajib diupayakan penyelesaiannya terlebih dahulu melalui perundingan bipartit secara musyawarah untuk mencapai mufakat" dan Permen Nomor Per.31/Men/XII/2008 Pedoman Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Melalui Perundingan Bipartit pasal 2 yang berbunyi, "Setiap terjadi perselisihan hubungan industrial wajib dilakukan perundingan penyelesaian perselisihan secara bipartit sebelum diselesaikan melalui mediasi atau konsiliasi maupun arbitrase". Â
Sedangkan pada kasus PHK kebanyakan masuk kedalam kategori perselisihan PHK yang termasuk ke dalam perselisihan hubungan industrial (UU 2 Tahun 2004 Tentang PPHI pasal 2 poin c) yang wajib diselesaikan melalui perundingan bipartit. (TS)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H