Selama sistem pengupahan masih seperti kuli kontrak dan pekerja/buruh posisinya terus dilemahkan dengan UU dan peraturan, maka daya beli bangsa akan terus nyungsep,Â
Sungguh menyedihkan dalam situasi negara yang sedang memasuki era bonus demografi, namun besaran upah pekerja kaum muda justru banyak yang tidak layak.
Daya beli yang terus merosot juga disebabkan oleh pola konsumsi masyarakat. Kini masyarakat lebih memilih kegiatan rekreasi atau berwisata (leisure) menuju destinasi yang murah meriah ketimbang menggunakan uangnya untuk berbelanja di mall, pasar maupun berbelanja kepada UMKM.Â
Fenomena itu menyebabkan sepinya pengunjung pada pusat perbelanjaan ritel hingga kios di pasar tradisional. Untuk menghadapi bergesernya pola konsumsi perlu transformasi dan meningkatkan daya tarik pusat perdagangan. Serta membenahi aspek komunikasi pasar.
Daya beli turun juga linier dengan indeks produktivitas suatu bangsa. Dari sisi produktivitas jika diukur dengan GDP per worker employed, Indonesia masih relatif tertinggal dari negara tetangga.Â
Wajar jika krisis daya beli terus mengancam negeri ini. Apalagi kekuatan perekonomian Indonesia terletak pada sektor konsumsi dalam negeri, bukan pada sektor pengolahan atau manufacturing.
Jika melihat mayoritas tenaga kerja Indonesia saat ini, 60 persen pekerja di Indonesia masih lulusan pendidikan rendah yaitu, SMP ke bawah.Â
Mereka memiliki keterbatasan skill, sehingga akan sulit untuk meningkatkan produktivitas dan bersaing. Perlu terobosan untuk mengatasi segmen pekerja tersebut.Â
Sementara itu, industrialisasi dan digitalisasi tentunya memerlukan tingkat keahlian dan produktivitas yang lebih baik.
Hakikat produktivitas ketenagakerjaan adalah tingkat kemampuan pekerja menghasilkan produk dan jasa. Berbagai faktor mempengaruhi produktivitas tenaga kerja, termasuk juga faktor kesejahteraan sosial pekerja.Â