Mohon tunggu...
Totok Siswantara
Totok Siswantara Mohon Tunggu... Freelancer - Menulis, memuliakan tanaman dan berbagi kasih dengan hewan. Pernah bekerja di industri penerbangan.

Pembaca semangat zaman dan ikhlas memeluk takdir

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Artikel Utama

Fenomena Daya Beli Turun dan Derita Upah Tak Layak

11 Agustus 2023   13:22 Diperbarui: 17 Agustus 2023   02:00 840
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi upah rendah. (Sumber: KOMPAS/DIDIE SW)

Fenomena daya beli masyarakat yang kian menurun sangat mencemaskan. Indikasi daya beli masyarakat Indonesia yang melemah akibat beberapa faktor seperti besaran upah kaum pekerja/buruh yang semakin menyusut akibat inflasi. 

Sebagian besar profesi rakyat Indonesia adalah pekerja/buruh. Sementara itu sistem pengupahan di negeri ini sebagian besar tidak layak untuk memenuhi kebutuhan hidup yang semakin tinggi.

Sederet dusta pembangunan sudah sangat akrab di mata dan telinga buruh. Berbagai program pembangunan yang bersifat populis ternyata jarang sekali menyentuh kehidupan kaum buruh yang notabene adalah pahlawan produktivitas. 

Seperti program beras miskin atau raskin kurang menyentuh buruh. Begitu juga dengan program populis lainnya seperti program keluarga harapan (PKM) dan program kredit usaha rakyat (KUR), program subsidi energi jarang mampir di kalangan buruh.

Selain itu juga program-program seperti transportasi massal dan program lain yang didanai oleh Dana Alokasi Khusus (DAK) ternyata juga masih jauh panggang dari api bagi kaum buruh. Mestinya pemerintah pusat dan daerah tidak lagi memunculkan dusta pembangunan terhadap kaum buruh. 

Pemerintah harusnya berpikir keras untuk meringankan beban kaum buruh agar upah buruh tidak semakin rawan daya beli.

Selama ini ada dana alokasi khusus sektor perhubungan kepada pemerintah daerah. Namun hal itu peruntukannya tidak efektif dan salah sasaran. Sebaiknya alokasi semacam itu diberikan untuk pelayanan transportasi kaum buruh. 

Oleh karena itu pelayanan angkutan buruh perlu segera dipadukan dengan menyempurnakan pelayanan transportasi massal. Hal ini sesuai dengan amanah pasal 158 ayat 1 UU 22/2009 bahwa pemerintah bertanggung jawab untuk menyelenggarakan angkutan massal berbasis jalan.

Perlu mengalihkan DAK untuk membantu melayani kaum buruh secara gratis. Selama ini kaum buruh cukup menderita karena tinggal di kontrakan yang kumuh. Hingga kini mereka tidak punya daya beli untuk mendapatkan rumah yang layak huni.

Melihat kondisi ini perlu pengadaan rumah bagi para pekerja dalam jumlah yang cukup dengan skema pembiayaan yang bisa digapai. Harapan para pekerja berpenghasilan rendah untuk memiliki rumah perlu diwujudkan.

Selama sistem pengupahan masih seperti kuli kontrak dan pekerja/buruh posisinya terus dilemahkan dengan UU dan peraturan, maka daya beli bangsa akan terus nyungsep, 

Sungguh menyedihkan dalam situasi negara yang sedang memasuki era bonus demografi, namun besaran upah pekerja kaum muda justru banyak yang tidak layak.

Daya beli yang terus merosot juga disebabkan oleh pola konsumsi masyarakat. Kini masyarakat lebih memilih kegiatan rekreasi atau berwisata (leisure) menuju destinasi yang murah meriah ketimbang menggunakan uangnya untuk berbelanja di mall, pasar maupun berbelanja kepada UMKM. 

Ilustrasi tentang upah layak. (Foto: KOMPAS.com/MEI LEANDHA)
Ilustrasi tentang upah layak. (Foto: KOMPAS.com/MEI LEANDHA)

Fenomena itu menyebabkan sepinya pengunjung pada pusat perbelanjaan ritel hingga kios di pasar tradisional. Untuk menghadapi bergesernya pola konsumsi perlu transformasi dan meningkatkan daya tarik pusat perdagangan. Serta membenahi aspek komunikasi pasar.

Daya beli turun juga linier dengan indeks produktivitas suatu bangsa. Dari sisi produktivitas jika diukur dengan GDP per worker employed, Indonesia masih relatif tertinggal dari negara tetangga. 

Wajar jika krisis daya beli terus mengancam negeri ini. Apalagi kekuatan perekonomian Indonesia terletak pada sektor konsumsi dalam negeri, bukan pada sektor pengolahan atau manufacturing.

Jika melihat mayoritas tenaga kerja Indonesia saat ini, 60 persen pekerja di Indonesia masih lulusan pendidikan rendah yaitu, SMP ke bawah. 

Mereka memiliki keterbatasan skill, sehingga akan sulit untuk meningkatkan produktivitas dan bersaing. Perlu terobosan untuk mengatasi segmen pekerja tersebut. 

Sementara itu, industrialisasi dan digitalisasi tentunya memerlukan tingkat keahlian dan produktivitas yang lebih baik.

Hakikat produktivitas ketenagakerjaan adalah tingkat kemampuan pekerja menghasilkan produk dan jasa. Berbagai faktor mempengaruhi produktivitas tenaga kerja, termasuk juga faktor kesejahteraan sosial pekerja. 

Dibandingkan dengan negara lain, produktivitas tenaga kerja Indonesia masih lebih rendah dari rata-rata negara anggota Organisasi Produktivitas Asia.

Eksistensi UMKM mestinya bisa menjadi penguat daya beli masyarakat. Eksistensi Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) telah menyerap tenaga kerja nasional sekitar 95 persen. Tidak hanya menyerap tenaga kerja, UMKM juga memberikan kontribusi pada PDB sebesar 62,58 persen.

Sebaiknya kita belajar dari Jerman terkait dengan pengembangan UMKM di sana. Kontribusi luar biasa dari UMKM Jerman terhadap ekonomi negaranya telah diteliti oleh Profesor Hermann Simon. 

Hermann Simon adalah pemikir manajemen yang sangat berpengaruh setelah Peter Drucker. Pernah menjabat kepala European Marketing Academy (EMAC). 

Ternyata eksportir Jerman tidak hanya terpaku oleh perusahaan besar. Tetapi justru dipacu oleh UMKM di sana. Patut dicatat, setengah dari UMKM yang unggul di dunia adalah berasal dari Jerman. 

Data demografi menunjukkan bahwa ada 20 UMKM per-seribu penduduk di Jerman. Itulah mengapa Jerman memiliki tingkat pengangguran pemuda yang rendah dibawah rata-rata negara maju di dunia. 

Oleh sebab itu pemerintah Jerman dari waktu ke waktu menempuh kebijakan pasar kerja yang memperkuat posisi UMKM. Keuletan dan daya inovasi UMKM di Jerman membuat negeri itu sangat kompetitif. Terbukti Jerman tetap konsisten menduduki 10 besar dalam Indeks Daya Saing Global.

UMKM jangan hanya diguyur berbagai pinjaman berbunga rendah dan bantuan usaha non tunai. Perlu juga pembinaan mentalitas entrepreneurship dan aspek daya juang atau adversity quotient (AQ) bagi pelaku UMKM. 

Pelaku UMKM perlu revolusi mental yang sebenarnya serta pengembangan untuk menembus persaingan yang semakin sengit. Kini UMKM telah menjadi jargon pembangunan yang sarat hiruk pikuk. 

Terlalu banyak seminar dan rapat-rapat yang membahas UMKM. Sederet program lintas kementerian dan pemerintah daerah telah dibuat, namun biasanya masih copy paste dan tumpang tindih. 

Realitasnya UMKM masih banyak yang tidak mampu melunasi pinjaman alias kredit macet dan tetap terpuruk daya saingnya. Mereka sedang menunggu bantuan lagi, apalagi di tahun politik. (TS)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun