Mohon tunggu...
Totok Siswantara
Totok Siswantara Mohon Tunggu... Freelancer - Menulis, memuliakan tanaman dan berbagi kasih dengan hewan

Pembaca semangat zaman dan ikhlas memeluk takdir

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Koalisi Nasi Liwet dan Bisikan Darwin kepada Bu Mega

21 Juni 2023   07:52 Diperbarui: 21 Juni 2023   13:57 315
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Koalisi 2024 tak ubahnya seperti bau terasi. Sekali-kali mencium bau terasi boleh juga, bisa merangsang selera. Namun jika bau itu terus menerus disajikan dan diberitakan berulang-ulang oleh media massa, akibatnya rakyat bisa "mblenger" alias muak.

Gerak-gerik, manuver dan sepak terjang untuk membentuk koalisi parpol untuk menghadapi Pemilu 2024 menyebabkan perasaan rakyat diaduk-aduk dan sangat membosankan. 

Padahal rasionalitas rakyat menyatakan bahwa apapun gerak-gerik pembentukan koalisi simpulnya ada di Ketum PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri. 

Bahkan kehendak Presiden Jokowi terkait postur koalisi capres sekalipun tak mampu melawan kehendak simpul koalisi. Bu Mega sangat teguh dan perkasa terkait dengan penentuan capres dan cawapres. Rumus dasar Bu Mega sangat filosofis dan menggenggam legal formal.

Dalam bacaan penulis, rumusan koalisi Bu Mega mengacu kepada nilai tradisi keIndonesiaan yang telah membumi berabad-abad, esensi koalisi adalah "holopis kuntul baris" yang identik dengan perilaku gotong royong ajaran nenek moyang negeri ini yang telah diformulasikan secara ideologis oleh Bung Karno. 

Koalisi mesti tulus memikul beban bersama, menikmati bersama secara murah meriah dan guyub seperti nikmatnya santap menu rakyat nasi liwet.

Koalisi model nasi liwet Bu Mega membuat cukong-cukong politik yang sedang bergentayangan tidak berkutik. Koalisi tidak perlu dibungkus dengan teori-teori yang rumit. 

Juga tidak elok jika terlalu transaksional seperti gembong mafia yang tengah bagi-bagi daerah kekuasaan. Untuk merumuskan arah dan platform koalisi pun sebaiknya menggunakan bahasa rakyat. Agar energi kolektif kebangsaan untuk bergotong royong bisa terakselerasi dengan baik untuk hadapi persaingan global yang semakin sengit.

Koalisi nasi liwet adalah koalisi rakyat yang bermaksud memilih sosok pemimpin yang berkarakter walk the talk alias satunya kata dengan perbuatan. Karakter tersebut akan memperhebat jiwa gotong royong. 

Gotong-royong yang telah digali oleh para founding father bangsa Indonesia menggambarkan satu usaha, satu amal, satu karya, satu gawe. 

Menurut Bung Karno gotong-royong merupakan pembantingan tulang bersama, pemerasan keringat bersama, perjuangan bantu-membantu bersama. Amal semua buat kepentingan semua. 

Jika model koalisi yang disodorkan sarat nafsu kemenangan yang didukung oleh tukang survei bayaran akibatnya efektivitas pemerintahan baru hasil pemilu nantinya sulit terwujud. 

Negeri ini bisa jadi akan terpelosok kembali dalam situasi dimana kepemimpinan nasional sibuk mengakomodasikan tuntutan sektarian elit parpol pendukung dan cukong-cukong politik.

Sejak reformasi, kepemimpinan nasional di negeri ini penuh dengan hiruk pikuk dagang sapi. Padahal, sejarah telah menunjukkan bahwa memimpin itu sepi. Karena semua tanggung jawab akan berhenti di tangannya. 

Namun, dalam kesepian itu dirinya bisa lebih efektif menyelesaikan pilihan yang sulit serta menghasilkan kerja detail sebaik mungkin bagi negerinya. 

Sungguh menyedihkan jika para pemimpin di negeri ini tidak bisa mengatasi kesepian politik. Padahal, kerja detail berteman sepi dan mencari solusi jitu menghadapi ekonomi dunia yang fluktuatif merupakan prestasi dan bisa membuahkan simpati rakyat.

Keterlibatan langsung kepala negara dan kabinet serta para kepala daerah dalam tarik menarik dan dagang sapi politik dalam pemilu atau pilkada justru membuat pemerintahan dalam berbagai tingkatan kehilangan efektivitasnya. Akibatnya, negeri ini tenggelam dalam situasi disinfluencing. 

Dalam persaingan global sekarang ini pemimpin pemerintahan mestinya sekuat daya mencegah hal-hal yang mengakibatkan situasi disinfluencing. 

Situasi itu dalam bahasa sederhana berarti kegagalan memberikan motivasi kebangsaan menghadapi masalah pelik. Serta memburuknya komunikasi yang tulus dengan rakyat yang sedang apatis. Celakanya lagi situasi buruk di atas langsung bersenyawa dengan situasi pemerintahan yang lemah alias mudah goyah karena model koalisi yang rapuh.

Hiruk pikuk seputar koalisi membuat elite politik tubuhnya meriang, tidak enak makan dan kurang tidur. Perkara koalisi tidak kalah mendebarkan dibandingkan dengan menunggu kelahiran anak pertama. Tidak ada format yang ideal dalam berkoalisi, karena semuanya membawa cacat bawaan dan mengandung resistensi.

Manis getirnya berkoalisi telah dialami oleh Presiden SBY dalam dua periode pemerintahannya. Dialektika berkoalisi yang dilakoni oleh SBY berakhir dengan sedu sedan dan sirnanya kemesraan. 

Koalisi itu memang bukan selalu dipayungi "bulan purnama" seperti dalam puisi yang pernah ditulis oleh Presiden SBY. Juga tidak pernah ada langkah kebijakan yang bisa memuaskan semua pihak.

Sejatinya perkara koalisi itu hanya sebatas elit politik, belum ada koalisi yang benar-benar meresap hebat ditengah rakyat. Belum tentu rakyat mengamini koalisi semusim yang sarat kepentingan elite tetapi miskin solusi keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

 Selama ini koalisi menyebabkan kabinet bisa dianalogikan seperti kerajaan Mataram pasca Perjanjian Giyanti yang terpecah belah menjadi banyak interes dan sarat perselingkuhan elite politik.

Berbagai konsep dan teori dicomot dari sana sini untuk merumuskan arah dan platform koalisi. Namun, kebanyakan hanya indah didengar. Yang terpenting dalam koalisi sejatinya adalah pentingnya menemukan sosok yang berkarakter "Walk the Talk" alias satunya kata dengan perbuatan. 

Hal ini penting karena bangsa ini sering terganggu memorinya sehingga perlu gerakan masal melawan lupa. Para penyelenggara negara belum sepenuh hati menjalankan apa yang sering mereka serukan. 

Rakyat sering mendengar kata-kata indah tentang pemihakan pemerintah terhadap hajat hidup rakyat luas, nyatanya pemihakan itu baru sebatas lips service.

Demokrasi di Indonesia sejak gerakan reformasi bagaikan proses evolusi yang dipercepat. Penulis bermimpi, tetapi mimpi saya tidak sebangun dengan mimpinya Pak SBY yang ingin naik kereta api Gajayana dari Stasiun Gambir. 

Mimpi saya berada di kediaman Bu Mega. Saya melihat beliau tengah berkontemplasi sembari melakukan diskusi dengan bapak evolusi dunia Charles Darwin. 

Dalam diskusi itu, saya melihat ilmuwan besar dibidang ilmu hayat pengarang buku terkenal "Origin of Species" mengatakan sesuatu kepada Bu Mega. 

Darwin berpesan agar Bu Mega semakin percaya diri untuk tidak perlu repot-repot kontrak politik irasional dengan elite parpol yang disokong oleh cukong politik. 

Sebaiknya Bu Mega dan jajarannya lebih fokus untuk menjalin hubungan yang lebih tulus dan efektif kepada rakyat semesta. Biarkan saja para elite politik "nggege mongso" dan runtang runtung mirip primata kebakaran ekor yang berlompatan kesana kemari membawa rumusan koalisi.

Bisikan Darwin kepada Bu Mega tentunya membuat rakyat tertawa geli namun membuat elite parpol merah telinganya. Darwin yang merupakan bapak teori evolusi dalam ekspedisi imajiner lintas sejarah setelah ekspedisinya ke pulau Galapagos, kini menemukan banyak "fosil" berserakan di bumi Nusantara. 

Setelah diteliti, ternyata fosil-fosil itu adalah fosil politisi yang baru saja mati karena melawan hukum alam dan minum racun perselingkuhan dengan konstituennya.

Konklusi bisikan Darwin diatas adalah sebentar lagi di negeri ini akan terjadi regenerasi politik secara alamiah. Sebelum meninggalkan Nusantara, Darwin juga sempat membisikkan teori "seleksi alam" kepada Bu Mega tentang premis bahwa perkara regenerasi adalah menyangkut derajat kemajuan sebuah bangsa. Regenerasi mandek, bangsa akan "nyungsep" alias terpuruk dalam persaingan global. (*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun